Bab 6 Keibuan

11 2 0
                                    

Aku merasa diperhatikannya. Aku ragu. Dan aku merasa bersalah meragukan hal itu.
-Baso Rahmat Hasyim-

Baso berjalan kembali ke tempat yang disebutnya rumah. Ia tampak begitu murung,
menggambarkan bahwa suasana hatinya benar-benar kacau. Di perempatan jalan, saat ia hendak
menyeberang, ia hampir ditabrak seorang pengendara motor gara-gara tidak memperhatikan lalu
lalang kendaraan. Ia masih memikirkan apa yang terjadi di laboratorium Bahasa tadi semasa
istirahat.
Saat jam istirahat tiba, Baso segera bergegas menuju kantor, hendak mengembalikan pulpen
milik Ibu Hasrianah, sesuai janji. Namun ia tak sedang di kantor saat itu. Ditanyanya petugas piket
siswa dan mereka menunjuk laboratorium bahasa.
Langkah kakinya penuh keraguan dan kekhawatiran. Ia tak tahu apa yang akan Ibu Hasrianah
katakan padanya. Sungguh, Baso adalah sosok paling rapuh dihadapan wanita paruh baya itu.
Pintu laboratorium tertutup, tapi ia yakin Ibu Hasrianah ada di dalam sana. Sepatunya
terparkir rapi di samping pintu laboratorium bahasa. Ia berusaha meyakinkan diri terlebih dahulu
sebelum mengetuk pintu. Ia membuat janji untuk tidak mengecewakannya kali ini. Cukuplah kasus
keterlambatannya yang membuat Ibu Hasrianah kecewa.
“Assalamu ‘alaikum.” Baso memberi salam sambil mengetuk pintu.
Terdengar suara jawaban yang sayup dari dalam. “Wa’alaikum salaam.” Ibu Hasrianah
membuka pintu dan tampak sedikit jengah dengan kedatangan Baso. “Masuklah.”
Baso membuka sepatunya dan masuk dengan kaki terbungkus kaos kaki. Dimintanya Baso
untuk mengambil tempat duduk di depannya. Dan dengan patuh, ia segera meraih sebuah kursi dan
duduk tepat di depan Ibu Hasrianah.
“Selepas kamu tamat dari sini, kamu mau kuliah dimana, Baso?” Tanya Ibu Hasrianah
dengan sopan, seakan tak telah terjadi apa-apa. Perubahan itu membuat Baso heran, lebih tepatnya
curiga. Jangan-jangan ia adalah pengidap Multiple Identity Disorder. Sindrom Kepribadian Ganda.
Tapi itu mustahil, tentangnya pada dirinya sendiri. Ibu Hasrianah memang begitu. Moodnya sering
naik turun secara bergantian dan drastis.
“Mungkin di UNM kalau saya tidak lulus di UNHAS, Pung.” Jawabnya.
“Kenapa di UNHAS mau masuk?” Tanyanya kembali. “Kamu mau ambil jurusan apa di
sana?”
Baso sebenarnya tak tahu arah pembicaraan ini. Namun ia tak protes sama sekali.
“Rencananya ambil jurusan sastra dan bahasa, Bu.”
“Inggris?”
“Bukan. Indonesia, Pung.”
Ibu Hasrianah tersenyum. “Kenapa bukan Bahasa Inggris? Nilai bahasa Inggris kamu
lumayan tinggi, kok.”
“Itu rencana awalnya, Pung. Tapi saya rasa, kemungkinan besar saya tidak akan
meninggalkan dunia literasi Indonesia.” Jelasnya, membuat Ibu Hasrianah mengangguk-angguk.
“Soal yang tadi itu ibu minta maaf, ya.” Ucap Ibu Hasrianah akhirnya, masuk pada
pembahasan utama.
“Seharusnya saya yang minta maaf, Pung.” Rendahnya.
“Yang perlu kamu tahu saja, bahwa ibu tidak akan memarahi kamu selaku diri saya sendiri.
Tapi selaku guru kamu, ibu harus melakukan itu. Tanggung jawab besar.”
“Saya tidak keberatan dengan itu, Pung.” Ucap Baso. “Saya benar-benar tertidur setelah saya
mengulang-ulangi pelajaran ibu minggu lalu.”
“Tekad kamu besar. Tapi kamu hanya melihat di satu pintu saja. Jika kamu hanya fokus
kepada satu pintu saja, jika pintu itu tertutup, kamu tidak akan tahu pintu-pintu lain yang masih
terbuka.”
Ia diantara faham dan tidak dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Hasrianah. Tapi kata-kata itu
nyaris sama dengan kata-kata penulis favorit sekaligus idolanya, Asma Nadia di salah satu
workshopnya. “Ketika Allah menutup satu pintu, bisa jadi Allah membukakan pintu-pintu yang lain.
Tapi selamanya hambanya tidak akan melihat pintu-pintu yang lain kalau ia terus melihat satu pintu
itu.”
Baso menerka-nerka. Apakah maksud Ibu Hasrianah adalah, dirinya hanya mefokuskan
pandangan pada dunia sastra Indonesia saja tanpa memperhatikan yang lainnya? Jika memang
begitu, apa yang diminta oleh Ibu Hasrianah darinya? Apakah agar ia memilih kesusastraan Inggris,
mengingat bahasa Inggris itu lingkupnya internasional, lebih global dibanding bahasa Indonesia yang
hanya mencakup sebagian kecil dari benua Asia. Mungkin itu benar. Tapi itu mungkin juga salah.
Kepastiannya hanya Ibu Hasrianah yang tahu.
Sesampainya ia di rumah, ia disambut oleh adik-adik pantinya. Mereka mengadu kepadanya
tentang kedatangan Ibu Khairah yang tertunda.
“Kata Ibu Melda, Ibu Khairah tidak jadi pulang hari ini. Mungkin katanya minggu depan,
baru pulang, kak.” Ucap Maria sambil menggenggam kedua pergelangan tangan Baso.
“Mungkin Ibu Khairah sedang banyak urusan. Lagipun, satu minggu itu tidak lama kok.”
Baso mencoba membujuk mereka semua.
“Ya tentu seminggu itu lama, kak.” Protes Maria.
“Mana yang lebih lama satu minggu atau tujuh hari?”
Maria berpikir sejenak. “Sama sajalah, kak. Apa bedanya? Didalam satu minggu, ada tujuh
hari.” Gerutu Maria yang terus mengambil alih pembicaraan.
“Setidaknya, satu lebih sedikit daripada tujuh, kan?” Baso mengacak rambut Maria. Namun
kali ini, ia sama sekali tak marah. Ia membiarkan rambutnya yang sudah disisir rapinya diacak gemas
oleh Baso. “Sudah. Ayo kita masuk. Kalian semua belum makan, ‘kan?”
Mereka semua serentak mengangguk lesu. Dengan sabar, Baso mengarahkan mereka untuk
bersiap-siap di ruang makan. Ia akan membeli makanan istimewa untuk hari ini.
Masih dengan seragam putih abu-abunya, ia bergegas ke KFC Sallo Mall. Di sana, ia
memesan beberapa potong ayam dan paket khusus untuk Ibu Melda. Tak lupa dengan jatah pak
satpam, Pak Arman dan Anto, dan petugas dapur, Ibu Sira. Ia juga mampir membeli minyak dan
vitamin rambut serta wewangian yang berbau ringan. Ia punya rencana sore ini. Rencana besar.
Saat ia keluar dari bangunan berlantai tiga itu, Baso melihat gerombolan teman-temannya
dari pintu masuk utama. Ia segera mengambil jalan memutar, menunggu mereka berlalu.
Diluar jam sekolah, tak akan ada yang tahu dimana ia. Ia seakan ditelan bumi saat jam
sekolah berakhir, dan kembali terbit bagaikan matahari di pagi harinya. Selama ini, yang teman-
temannya tahu adalah ia tinggal di kampungnya di Sabbangparu dan berangkat ke sekolah dengan
angkot.
Baso berlari kecil dengan kantong berisi makanan di kedua tangannya. Ia memberhentikan
sebuah bemor untuk mengantarnya kembali ke panti. Seperti dikejar anjing, ia terlalu takut ketahuan
jika harus kembali berjalan kaki menuju panti yang jaraknya cukup jauh untuk ditempuh dengan
cepat.
Sesampainya ia di panti, ia sudah mendapati semua adik-adik pantinya duduk rapi di ruang
makan. Mereka semua tampaknya kehilangan gairah lagi gara-gara kedatangan Ibu Khairah yang
tertunda itu. Ryan bertopang dagu. Maria menenggelamkan wajah pada kedua telapak tangannya.
Roni membaringkan kepalanya di meja. Tian memainkan kutikula kukunya. Dawai memainkan
rambut pelipisnya. Mereka semua belum menyadari kedatangan Baso.
“Assalamu ‘alaikum! Ternyata kalian semua sudah di sini.” Ucap Baso sambil berjalan ke
arah mereka. “Ibu Melda kemana?” Tanyanya. Ia sempat mengetuk pintu kamar Ibu Melda sebelum
ia ke ruang makan dan tidak mendapatkann jawaban sama sekali. Ia juga segan membuka pintu
kamarnya.
“Katanya dia ke sekolah sebentar.” Jawab Maria sambil tetap dalam posisinya.
“Kalau begitu, kita makan saja, ya.” Baso membuka kotak-kotak makanan yang ia beli.
Dibagikannya kepada mereka berlima. Wajah mereka sedikit lebih cerah saat melihat menu asing di
depan mereka.
Dawai dimintanya memimpin do’a sebelum makan. Setelah itu, mereka semua makan dengan
lahap, kecuali Tian. Ia hanya memainkan makanannya yang mulai dingin itu.
“Kenapa ayamnya tidak dimakan, Tian?” Baso yang sedari tadi memperhatikannya, heran.
“Kamu tidak suka? Kalau begitu, tukar saja sama punyanya Ibu Melda. Nanti kakak berikan yang
baru untuknya.”
Tian menggeleng. “Makanannya enak, kok.” Katanya sambil mulai melahap makanannya.
Baso mengerti. Anak-anak polos seperti mereka ini, walau belum terlalu bisa menyimpan
janji, mereka tetap bisa sakit saat diingkari.
“Nanti, setelah selesai makan, kita pergi jalan-jalan, ya.”
“Jalan-jalan?!” Rian berseru. Hanya ia yang bagkit dari kelesuannya. Yang lainnya tetap
melahap makanan masing-masing tanpa suara.
Baso mengangguk. “Iya. Kita akan ke rumahnya kenalan kakak. Katanya dia mau ketemu
sama kalian semua.”
“Tumben kakak punya kenalan. Bukannya kakak hanya tinggal di rumah dan akan sembunyi
jika teman kakak ada yang lewat?” Maria tak percaya.
“Iya. Kakak ketemu sama dia waktu kakak pergi beli boneka. Dia mengajak kita ke rumahnya
jalan-jalan. Bagaimana? Kalian mau?”
Tak ada respon lebih selain anggukan dari mereka. Tapi setidaknya, mereka sudah
menyetujui ajakan itu. Dan kali ini, ia juga harus memberanikan diri untuk tampil sebagai sosok
dirinya yang sebenarya.
Setelah makan, Baso segera meminta kepada mereka semua untuk menyikat gigi dan
membersihkan tangan mereka. Sementara ia membersihkan sisa remah-remah makanan, ia berusaha
memotivasi diri sendiri untuk berani. Ia sadar, bahwa ia tak akan lepas dengan yang namanya
perempuan. Cukuplah masa kecilnya yang penuh kebencian terhadap perempuan.
“Maria!” Baso menghentikan langkah Maria yang hendak masuk ke kamar, mengganti baju
dan menyisir rambut. “Biar kakak yang menyisir rambutmu, ya.”
Maria mengangguk setuju. Anak-anak yang lain lebih setuju dengan itu. “Supaya kita tidak
kemalaman menunggu Maria siap, ‘kan, Kak?” Sindir Dawai.
“Kamu iri, ya?” Mari tak mau kalah. Ia balas menantang Dawai.
“Eh? Siapa yang iri, ya? Maksud aku, rambut minimalis kamu itu lebih baik dibiarkan
berantakan saja.”
Menyadari sebentaar lagi terjadi pertengkaran antara mereka berdua, Baso segera melerai.
“Sudah. Main ejek-ejekannya sudah selesai.” Putusnya. “Maria, kamu kesini. Biar kakak sisirin
rambut kamu. Kantongan di sudut meja itu, tolong bawa kemari.”
Kantongan itu berisi minyak dan vitamin rambut yang dibelinya tadi di mall. Inilah rencana
yang dipersiapkannya tadi. Sebelum ia menyisir rambut Maria, Baso mengusapkan vitamin pada
rambut Maria. Setelah sudah cukup merata, Baso mulai menyisirnya. Jadinya, rambutnya kelihatan
lebih ringan dan legam mengkilap. Tak tanggung, setelah rambutnya disisir, Maria pamer rambut
barunya itu kepada anak-anak yang lain.
Tapi demi menjaga perasaan yang lain, vitamin dan minyak rambut yang tersisa serta
wewangian itu diberikannya kepada anak-anak yang lain.
“Pak Arman!” panggil Baso kepada salah seorang satpam panti. Lelaki paruh baya itu segera
menghampirinya yang sedang berdiri di depan pintu.
“Ada apa, Baso?”
“Saya mau pinjam mobil panti untuk membawa anak-anak sebentar, ya.”
“Mobil bak terbuka?”
“Bukan. Mobil Avanza putih itu, loh, pak.”
Panti punya dua mobil. Mobil bak terbuka biasa dipakai untuk pergi ke pasar membeli bahan-
bahan makanan. Sementara mobil yang satunya lagi khusus dipergunakan untuk urusan-urusan panti,
seperti jika ada panggilan dari atasan, maka mobil itu baru akan dioperasikan. Tapi karena Ibu Khairah tak bisa membawa mobil, maka mobil itu masih harus menganggur untuk waktu yang entah
kapan tibanya.
“Memangnya, kamu mau kemana?” Tanya Pak Arman, ingin tahu.
“Kan sudah saya bilang. Saya mau bawa mereka jalan-jalan.”
“Jalan-jalan kemana?”
Baso menghela nafas. Ia tak ingin berurusan panjang dengan lelaki ini. “Ke rumah teman
saya, pak. Teman saya mau ketemu sama anak-anak. Siapa dan kenapa dia mau ketemu, itu tak perlu
bapak tahu. Saya sedang buru-buru.” Pungkasnya.
Pak Arman mengedikkan bahu. “Anto!”
***
Anto adalah keponakan Pak Arman. Ia dibawa oleh Pak Arman karena orang tuanya tak
mampu lagi menanggung sekolahnya. Karena itu, Anto kemari dan menjadi staf keamanan panti
bersama pamannya di panti asuhan ini.
Baso menyetir dengan pandangan fokus ke depan. Ia sebenarnya tidak terlalu pandai
menyetir, namun kemampuan menyetirya tak seburuk pemula amatiran. Sambil menyetir, ia melihat
catatan yang diberikan Cut padanya. Ia bertanya kepada beberapa orang untuk bisa menemukan
alamat yang dimaksud, dan akhirnya ia sampai di depan sebuah rumah berlantai dua dengan disain
kaku dan berpoleskan cat hijau.
Apakah benar ini alamatnya? Ia masih ragu-ragu untuk memastikan bahwa yang
disinggahinya adalah alamat yang tertulis di sobekan kecil kertas itu. Ia turun dari mobil, dan
meminta anak-anak untuk tetap tinggal di sana.
Keramik bermotif kayu yang melapisi lantai rumah itu dipijaknya. Dingin, tak sehangat
warna kayunya, seakan rumah itu menolak kedatangannya. Namun Baso tetap melanjutkan
langkahnya dan tiba tepat di depan pintu.
“Assalamu ‘alaikum.” Ia mengetuk pintu dengan ragu. Tak ada jawaban. Selama beberapa
detik memastikan tak ada yang mendengar, ia mengulangi salamnya. “Assalamu ‘alaikum.” Sambil
diketuknya pintu itu. Setelah itu, barulah ada suara orang menyahut dari dalam.
“Wa’alaikum salam.” Wanita berhijab dengan wajah berminyak membuka pintu. Tatapannya
heran dan ganjil. “Cari siapa, ya?”
“M… apa benar ini rumah Tian?” Baso bertanya.
Tentu nama itu tak diketahuinya. Selama ini, ia hanya tahu nama depan keponakannya itu.
Cut.
“Tian?” Bibinya Cut balas bertanya.
“Iya, tante. Tian Humairah.”
Nama itu masih kurang jelas baginya. Namun ia mencoba memanggil keponakannya. Siapa
tahu, Cut tahu orang yang dimaksud oleh pemuda yang sedang berdiri di depannya itu.
“Cut! Kemari sebentar! Cut!” panggilnya.
Mendengar panggilan itu, Baso kembali heran. Cut. Apakah itu nama kecil, atau namanya
yang sebenarnya. Wanita paruh baya di hadapannya yang ditaksirnya sebagai ibu gadis itu pasti tahu
nama itu jika Tian memang adalah namanya. Mungkinkah ia berbohong?
Beberapa saat kemudian, akhirnya Cut tiba. “Ada apa, Bi?”
“Ada orang yang sedang cari Tian Humairah. Kamu tahu siapa itu?”
Cut melongokkan kepalanya dan tersenyum melihat Baso di sana. “Oh, kamu. Mari masuk.”
Ucapnya tanpa sungkan. Bibinya hanya bisa mengernyit bingung. “Ini teman saya, Bi. Dia orang
baik.” Jelasnya kepada bibinya. “Oh, ya. Adik-adik kamu tidak kamu bawa?”
“Mereka ada di mobil.” Ucapnya sambil menunjuk mobil yang terparkir di depan rumahnya.
Anak-anak di sana sudah pada melongokkan kepalanya dari jendela mobil.
“Bawa mereka masuk.” Cut membukakan pintu berdaun dua itu, sehingga terbukalah pintu
itu lebar-lebar. “Saya akan buatkan hidangan sebentar, ya. Kamu tunggu di sofa.” Ucapnya sambil
berlalu bersama bibinya.
Baso menggiring adik-adik pantinya masuk kedalam rumah. Mereka mengatur posisi duduk
dari yang tertua ke yang paling muda, memutar dari kiri ke kanan. Mulai dari Roni, Tian, Dawai,
Ryan dan berakhir pada Maria.
Sementara itu, di dapur, Cut sedang sibuk mempersiapkan gelas-gelas. Bibinya
mengencerkan minuman didalam wadah bening. Minuman itu diaduknya sambil masih heran dengan
teman Cut itu. Dari dalam lemari, Cut mengeluarkan beberapa potong brownies yang sempat ia beli
semalam setelah dari toko boneka. Brownies itu diletakkannya diatas piring besar dan dihiasinya
dengan parutan keju dan krimer kental manis.
“Sejak kapan kamu punya kawan jantan?” Akhirnya ia tak sanggup menunggu Cut
menjelaskannya sendiri.
“Nanti saya jelaskan, Bu. Tapi percaya saja sama saya. Dia itu orang baik-baik. Bibi tak perlu
khawatirkan apa pun.” Jawab Cut sambil tangannya lincah mempersiapkan beberapa potong
brownies.
“Bibi tidak berpikir sampai kesitu. Hanya saja, teman perempuan kamu saja tak pernah
kemari. Kenapa tiba-tiba dia yang datang kemari?”
“Dia tak akan kemari seandainya bukan saya yang panggil, Bi.” Jawab Cut. “Saya Cuma mau
ketemu sama adik-adiknya, kok.”
Cut mengakhiri percakapan itu dengan membawa piring besar berisi kue-kue brownies ke
ruang tamu. Dari kejauhan, ia sudah bisa melihat Baso dengan adik-adik pantinya yang duduk rapi
diatas sofa.
“Dimakan, ya.” Ucapnya sambil meletakkan piring itu diatas meja. Di belakangnya, bibinya
menyusul membawakan minuman.
Cut mengambil tempat duduk di depan Baso, di perantara antara Tian dan Roni. Sedang
bibinya mengambil posisi di sofa single yang memperantarai mereka berdua. Ia masih dengan
tatapan herannya. Tak kurang dan tak lebih.
“Nama kamu siapa?” Tanya Cut kepada gadis kecil bermata sipit itu.
“Tian, kak.” Jawabnya dengan malu.
“Oh! Sama dengan nama saya, ya. Tian.” Ia mengelus rambut Tian. “Kalau yang cowok ini
namanya siapa?” Tanyanya kepada Roni.
“Roni.”
“Kalau saya Maria!” Maria berseru, memperkenalkan dirinya tanpa permisi.
Baso menegurnya. Anak-anak yang lain tertawa cekikian melihat tingkah si gadis lucu itu.
Maria yang merasa kesal melipat tangannya di dada sambil memasang wajah cemberut. Air matanya
berlinang. Melihat itu, Baso segera meraih pangkal lengan Maria dan mendudukkannya diatas
pangkuannya. Ia selalu melakukan itu jika melihat tanda-tanda kiamat besarnya. Soalnya, Maria
adalah anak yang paling susah didiamkan jika sudah terlanjur menangis.
Cut tertawa melihat sikap gadis imut itu. “Kamu kejam sekali. Anak-anak begini tidak usah
dikasari.”
“Mau gimana lagi. Aku tak mungkin bisa tersenyum tanpa gadis kecilku ini."
Cut kembali tertawa. “Ayo minumannya diminum.” Gelas-gelas berisi minuman jeruk di
sodorkan kepada anak-anak itu. “Maria. Kamu sudah besar, lo. Kok masih dipangku?” Godanya
pada Maria yang masih cemberut.
Anak-anak itu kemudian mulai melahap hidangan yang Cut sajikan. Yang paling lahap
diantara mereka adalah Ryan. Ketika Baso hendak menegur Ryan yang makan seperti orang
kelaparan itu, Cut memberinya kode untuk membiarkannya makan. Sedang yang belum menyentuh
sedikitpun hidangan itu adalah Maria. Mau apa lagi, kalau gadis itu sedang kesal, akan sangat susah
membujuknya.
“Kamu anak pertama, ya?” Cut bertanya pada Baso yang tengah membujuk Maria dengan
sepotong brownies.
Baso awalnya ragu. Ia tak ingin berbohong. Tapi…“Ya. Lalu disusul Roni sampai Maria.”
“Unik, ya. Kalian semua bersaudara tapi kok mukanya beda semua.” Komentar Cut tanpa
rasa curiga. Ia mengatakan itu sekadar untuk menghibur saja.
Bagai tertangkap basah, komentar itu membuat Baso merasa bersalah. Menanggapi komentar
itu, ia hanya bisa tersenyum sambil membenarkan. Sebenarnya, sudah jauh-jauh hari ia
mempertimbangkan untuk tetap menyembunyikan identitas sebenarnya. Namun ia tak bisa
membayangkan bagaimana nantinya jika kenyataan pahit itu sampai di telinga orang-orang di
kampungnya. Baso tak ingin berita kematian ibu dan adiknya diketahui mereka.
“Penurunannya bukan pada fisik. Tapi di sini.” Baso menunjuk, di dada Maria kecil yang
dipangkunya. “Jadi bukan cuma honda yang one heart.”
***
“Kak Tian itu baik, ya, kak.” Maria kembali bersuara setelah bungkam cukup lama. Ia masih
berada di atas pangkuan Baso yang kini sedang menyetir mobil untuk pulang. “Selain itu, Kak Tian
juga cantik. Maria penasaran, deh, kak. Rambut Kak Tian itu bagaimana, ya?”
“Tentunya tak sependek rambut kamu.” Celetuk Ryan.
Maria tak menanggapi ejekan itu. Ia lebih fokus bercerita dengan Baso.
“Tapi, mungkin Maria juga akan lebih cantik kalau pakai jilbab kayak Kak Tian.” Baso mulai
membuka peluang. Ini sudah sangat lama direncanakannya. Selama ini, adik-adik pantinya itu selalu
berbusana biasa. Tak mencerminkan anak panti asuhan Islam.
“Pakai jilbab?” Maria mendongak, menatap Baso yang fokus menyetir.
“Iya. Coba ingat-ingat. Kak Tian pakai pakaian apa?”
Maria mengingat-ingat. “Pakai gamis panjang sama jilbab.”
“Itu berarti, tak perlu rambut yang indah untuk terlihat cantik. Lebih baik rambut kamu itu
ditutup dengan jilbab. Kan jadinya juga tidak terlalu repot kalau tiba-tiba rambutnya ketiup angin
dan berantakan lagi.” Bujuknya.
Mendengar apa yang diucapkan Baso, Maria nampak mulai tertarik. “Jadi, tidak usah pakai
vitamin rambut lagi, ya, kak?’
“Begini, ya. Maria ini ‘kan anak perempuan. Nah, kalau rambut Maria dilihat orang lain,
maka kaki ayah Maria akan semakin dekat dengan neraka.” Tuturnya, berusaha menyusun kata
sebaik mungkin agar gadis kecil itu mengerti. “Maria tidak mau ayahnya masuk neraka, ‘kan?”
Maria terdiam sejenak. Merenung. “Tapi Maria tak tahu siapa ayah Maria.”
“Maria ‘kan tahu, kalau ayah itu jembatan menuju surga. Lalu ibu adalah pintunya surga.
Kalau jembatan ke pintu surga tidak ada, Maria tak akan bisa sampai ke surga. Maria mau masuk
neraka?”
Gadis itu menggeleng. Semburat rasa takut memancar dari wajah beningnya. “Maria takut
masuk neraka.” Ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Terkadang, Baso akan ikut terharu jika melihat
pemandangan ini. Dan tak bisa ia ingkari, adik termudanya inilah yang paling tak bisa dilihatnya
menangis.
Baso tersenyum. “Kalau begitu, kita langsung ke butik, ya. Kita cari jilbab sama gamis untuk
Maria dan yang lainnya.”
“Roni sama Ryan juga pakai jilbab?” Dawai yang mendengar percakapan itu menjulurkan
kepala.
Baso mengangguk. “Supaya jadi anak sholehah.”
Maria yang tadi hendak menangis, tertawa mendengar itu.
Beberapa saat menyetir mobil, akhirnya mereka tiba di butik terdekat. Butik itu berada di
dekat sekolahnya, tepatnya di depan sekolahnya. Butik itu menyediakan pakaian-pakaian muslimah
untuk anak-anak sampai orang dewasa. Khusus pakaian muslimah. Jadinya, Ryan dan Roni belum
dapat pakaian.
Ketiga adik perempuannya itu dimintanya untuk mencari pakaian sendiri sesuai selera
mereka masing-masing. Saat ini, ia baru membatasi mereka untuk membeli satu pasang pakaian saja.
Ia juga kepikiran dengan apa yang telah ia lakukan. Ia sadar, bahwa ia memang terlalu berlebihan
dalam memanja mereka, sehingga pengeluarannya jadi lebih besar. Juga pesan Ibu Khairah yang
menganjurkannya untuk tidak memanja mereka terngiang di kepalanya. Ia sadar, selama ini ia salah.
Anak-anak itu masih polos. Jika mereka terbiasa dengan kebiasaan yang boros ini, apalah jadinya
jika mereka sudah dewasa nanti.
Setelah mereka mendapat pakaian masing-masing, mereka kemudian pulang ke panti.
***
Selepas makan malam, Cut dan bibinya mencuci piring. Pamannya kembali ke ruang
keluarga, menyaksikan siaran kesukaannya. Dalam diam Cut dan bibinya mencuci piring-piring
bekas makan tadi. Suasana tetap sunyi dalam denting piring yang saling beradu, sampai beberapa
saat kemudian, bibinya memecah keheningan.
“Sekarang, jelaskan pada bibi siapa temanmu itu.” Bibinya menagih janji Cut.
Cut menatap bibinya yang sedari tadi sore penasaran dengan Baso. Ia mendesah. Cut
kemudian menjelaskan semuanya mulai dari kejadian di area parkiran mall hingga ke toko boneka.
Semuanya ia jelaskan dengan rinci dan kronologis. Ia hanya menitik beratkan ketertarikannya pada
sosok anak kecil yang dibawa Baso. Padahal, yang membuatnya lupa diri mengulurkan tangan di
toko boneka itu adalah bayangan Ali yang muncul di kepalanya saat melihat sosok berkopiah Baso.
“Jadi, kamu kenal sama dia baru-baru sekali dong?”
“Iya.” Jawab Cut tanpa peduli apa respon bibinya nanti.
Bibinya mengembuskan nafas. “Kamu perlu jaga-jaga dengan temanmu itu…” belum sampai
bibinya mengakhiri kalimatnya, Cut sudah keburu memotong.
“Bibi. Dia itu bukan berandalan. Saya jamin itu.”
“Iya. Bibi juga tahu dia anak baik-baik dari penampilan dan tutur katanya. Hanya saja, kamu
harus waspada sama tunangan kamu. Kalau sampai tetangga ada yang lihat, lalu sampai di telinga
mereka, bagaimana?”
Cut meletakkan piring-piring yang sudah dibilasnya di tempat piring. “Tidak ada alasan bagi
mereka untuk marah atau memutuskan pertunangan itu, Bi. Kalau mereka marah, marahnya kenapa
dulu. Saya tidak melakukan apa-apa dengan dia, ‘kan? Seperti yang bibi lihat tadi, dia adalah orang
yang begitu polos. Toh, mana mungkin saya mencari masalah di kampung orang, Bi? Lagipun, yang dilarang dalam agama itu berduaan di tempat yang sunyi. Apakah mengundang orang bertamu itu
dilarang?”
“Iya, iya. Bibi mengerti. Kamu tidak salah. Tidak ada yang salah. Tapi kalau bicara perasaan,
semuanya memang tidak masuk akal.” Ucap bibinya. “Wahid suka kamu. Walaupun kamu belum
sepenuhnya menerima dia, dia tetap menaruh harapan kepada kamu. Bayangkan, jika kamu berada di
posisinya Wahid. Kamu dengan teman kamu itu malah jauh lebih akrab dibanding kamu
dengannya.”
Untuk sementara, Cut terdiam. Benar apa yang dikatakan bibinya. Ia menyadari itu. Jika ia
melihat Ali lebih akrab dengan wanita lain, tak akan mungkin ia menerima hal itu.
“Saya begini karena belum terikat nikah, Bi.” Cut kembali bersuara. “Saya juga mengerti
perasaan laki-laki. Saya tak mungkin mengkhianati suami saya nantinya seperti saya mengkhianati
diri saya sendiri.” Suaranya meninggi di kalimat terakhirnya itu.
Bibinya mengernyit heran. “Apa maksud kamu? Mengkhianati diri sendiri bagaimana?”
Cut membuang pandangannya. Ia tak sadar mengucapkan itu. “Saya tidak ingin membahas
ini lagi, Bi.”
“Kamu serius dengan keputusan kamu, ‘kan?”
“Bibi seharusnya melupakan apa yang tadi Cut katakan.” Cut berbalik, menyembunyikan
matanya yang berkaca-kaca.
“Kamu setuju dengan pertunangan ini, ‘kan? Atau jangan-jangan…”
“Pertunangan saya tidak ada hubungannya dengan teman saya, Bi. Dan saya tidak ingin
membahas hal yang tidak penting seperti ini, Bi!” bentaknya dengan emosi yang tak terkendali.
Wajahnya memerah dan air matanya meleleh.
Untuk sementara waktu, bibinya hanya bisa menatap Cut dengan heran. “Suara kamu kenapa
keras begini? Kamu bentak bibi?” Tanyanya kemudian.
“M-maafkan saya, Bi.” Cut mendekati Bibinya yang berdiri heran menatap dirinya. “Saya
tidak bisa mengontrol suara saya.”
“Kamu ketus sekali sama bibi, ya?!”
“Tidak, Bi.” Cut mencoba meraih tangan bibinya, meminta maaf, namun bibinya menepis
tangannya.
“Kamu sudah mulai agresif, ya. Selama ini, bibi tahu kamu sebagai keponakan bibi yang
paling baik, paling rendah hati, paling sabar, paling shalehah. Tapi ternyata, dalamnya kamu begini,
ya. O… ya bibi sudah paham sekarang.”
“Maafkan saya, Bi. Saya cuma tertekan, Bi.”
“Mulai besok sampai seterusnya, kamu tidak usah ikut kelas ekstra lagi. Jam dua siang, kamu
sudah harus ada di rumah. Dan yang paling penting.” Ia menarik nafas dalam-dalam untuk
mengucapkan keputusan akhirnya. “Kamu tidak boleh mengundang siapa pun, tak peduli siapa dan
apa pun dia!”
Bagai disambar petir, Cut tak kuasa menahan beban badannya. Kedua tangannya
menggenggam kaki bibinya erat-erat, bersimpuh sambil memohon. “Maafkan saya, Bi. Saya benar-
benar khilaf, Bi. Maafkan saya, Bi.”
“Sebaiknya kamu ke kamar sebelum pamanmu tahu.” ucapnya dengan seberkas rasa iba
dalam dirinya. Ia tak tega memarahi Cut yang sudah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri.
Sifat keibuannya yang merindukan buah hati dari rahimnya sendiri kembali menguasai
dirinya. Tapi demi ketegasannya, ia tak memperlihatkan sedikitpun rasa kasihan kepada Cut.[]

Not Child Anymore  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang