“Akhirnya saya bisa melihat ternyata hidup saya penuh dengan kabut kelabu. Jika ternyata semua
ini berada di tangan saya, saya akan meniupkan angin, agar kabut kelabu itu raib dari
kehidupanku.”
-Cut Tian Humairah-“Jadi, ibu kembali dapat laporan dari Pak Akis, kalau kelas XII IPA itu malas sekali datang
pesantren.” Ibu Selfi mengumumkan kasus kelas binaannya itu kepada anak-anak walinya. “Yang
rajin cuma Rendi, Zulkifli sama Zainal. Yang lainnya? Kemana semua ini?” Ia mengomeli anak-anak
walinya itu dengan tampang kejam yang dibuat-buatnya. Semata agar mensugesti mereka.
Semua anak walinya, termasuk Baso hanya bisa menunduk bungkam mendengar omelan itu.
“Jadi, kalian jangan kira penilaian pesantren ini seperti tahun lalu. Kalau kehadiran kalian
berada dibawah 75 persen, maka jangan harap nilai pesantren kalian akan ibu kasih masuk. Kalau
wali kelas lain ibu tidak tahu. Tapi yang jelas, ibu kali ini tidak main-main dalam memberi nilai
kepada kalian. Yang ibu beri nilai yang memang mau saja diberi nilai.”
Baso tak terlalu peduli dengan ancaman yang dipaparkan Ibu Selfi. Mau bagaimanapun,
persentase kehadirannya dalam pengajian khalaqah magribnya tidak akan bisa diimprofnya lagi.
Tinggal tiga bulan, sedang absensinya sudah kosong separuh. Jikapun dia menghadiri pengajian
khalaqah penuh dalam tiga bulan ini, kehadirannya akan tetap tak mencapai standar. Singkatnya, ia
pasrah dengan keputusan akhir. Ia tak peduli seburuk apa pun nilainya nanti.
“Diantara seluruh kelas 12, kelas IPA ini yang paling malas.” Sambung Ibu Selfi. “Kenapa
begini semua, kah? Ibu duduk saja diatas, cerita semuami guru, melapor sama Ibu kalau anak
walinya Ibu malas pergi pesantren. Mana lagi yang sering datang terlambat, bolos di jam terakhir,
tidak kumpul tugasnya. Bikin malu saja Ibu diatas.
“Padahal waktu kelas 11, Ibu lihat persatuannya bagus. Semuanya rajin ikut pesantren. Tidak
ada yang suka bolos. Kalau ada temannya yang butuh bantuan kerja tugas, diajar. Tapi sekarang,
kenapa jadi tambah bobrok? Maunya kalian apa kah? Mau semua dikasih surat pernyataan orang
tuanya sama Pak Edy?”
Mereka semua menggeleng. Tak terkecuali dengan Baso.
Dua jam pelajarannya dia habiskan untuk mengomeli anak-anak walinya saja.
“Sibuk mengomel. Kalian senang tidak belajar lagi, ‘kan?” kesalnya sambil mengambil
sebatang spidol dari dalam tasnya. “Tapi ibu akan beri kalian oleh-oleh.” Ucapnya sambil menulis
soal-soal pemecah kepala di papan tulis.
Dengan malas, Baso mengeluarkan buku tugasnya dan menyalin soal yang ditulis oleh Ibu
Selfi. Masalah perhitungan semacam ini, ia tidak sejenius Asriadi dan tidak pula setolol Rendi.
Tepatnya, ia tak terlalu buruk dalam mengerjakan soal. Ia akan berusaha sebisa mungkin
menyelesaikannya untuk meredam amarah wali kelasnya itu.
“Besok, semuanya harus sudah terkumpul diatas meja ibu. Yang tidak ada, siap-siap remedial
ulangan akhir semester nanti.” Tegasnya tanpa rasa kasihan sedikitpun.
***
Sore. Santri-santri MALPI menghadiri kelas khusus mereka masing-masing.
Ibu Rosyidah mengabsen anak-anak binaan kelas khususnya. Alisnya bertaut saat melihat
kolom nama Cut yang kosong. Santri favoritnya itu baru kali ini tak menghadiri kelas khususnya ini.
Merasa kurang percaya, ia memeriksa kembali setiap santri yang menghadiri kelas itu dan tidak
menemukan sosok Cut.
“Ada yang tahu Cut kemana?” Tanya Ibu Royidah.
“Mungkin hafalannya hilang semua, Pung. Dia mulai terkena pengaruh lingkungan.” Zuhra
menjawab dengan penuh kemenangan.
“Cut tak mungkin membolos. Mungkin dia sakit.” Ibu Rosyidah tak percaya dengan celetuk
Zuhra. “Tadi, sewaktu jam pelajaran berlangsung, apakah Cut hadir?”
Musdalifah menjawab. “Iye’, Pung. Cut juga tak bilang-bilang apa pun sama saya. Tapi, pagi
tadi, matanya memang sembap dan bibirnya pucat. Mungkin dia benar-benar sakit, Bu.”
“Tapi tidak ada yang tahu pasti, Pung. Tidak ada keterangan berarti absen.” Zuhra pantang
mundur, tetap berusaha agar Ibu Rosyidah tak terpengaruh dengan perkataan Musdalifah.
Dengan terpaksa, Ibu Royidah menuliskan huruf ‘A’ di kolom kehadiran Cut sore itu.
Sesayang-sayangnya ia kepada Cut, ia tetap tak bisa memberi perlakuan khusus padanya. Ia tak bisa
main-main dalam masalah kehadiran santri bimbingannnya.
Sore ini, Cut hanya bisa menenggelamkan wajahnya pada bantal-bantal. Air matanya terus
mengalir. Semakin ia berusaha menahannya, semakin ia menangis. Apakah saya ini gadis murahan,
keluhannya dalam hati. Saya tak bisa mengendalikann suara saya di depan bibi saya sendiri.
Bagaimana nantinya jika menghadapi orang asing yang akan menjadi suami saya? Ratap batinnya.
“Cut!” bibinya memanggil sambil menggedor pintu kamarnya yang terkunci rapat dari dalam.
“Cepat keluar. Makanan sudah bibi siapkan di meja. Paman kamu sudah menunggu dibawah!”
Ia tak ingin diganggu siapa-siapa. Tapi demi tak membuat bibinya kecewa kembali, ia
dengan pasrah beranjak, membuka pintu yang terkunci itu. “Saya akan segera turun, Bi.” Ucap Cut
sambil menunduk. Wajahnya yang sembap gara-gara menangis itu tak berani ia perlihatkan pada
bibinya.
Bibinya hanya bisa menatap prihatin Cut yang kusam. “Kamu seharian ini nangis, ya?”
Tanyanya pada Cut. Namun Cut tak menjawab. Dan tanpa dijawabpun, jawabannya sudah jelas.
“Ayo turun makan.”
“Iya, Bi.” Angguknya, lalu bibinya berlalu.
Cut segera merapikan dirinya. Ia bercermin dan berusaha menyembunyikan sembab
wajahnya dengan polesan bedak. Juga ia membuat jilbabnya lebih menutupi bagian wajahnya untuk
lebih menyamarkan sembabnya itu. Setelah merasa cukup, ia turun ke ruang makan.
Di sana, ia disambut pamannya. “Makan, Cut.” Ucap pamannya ramah.
Cut segera duduk dan menyendok nasi ke piringnya.
“Kok kamu ambilnya sedikit?” Tanyanya, melihat Cut yang hanya menyendok nasi tak
sampai seperempat bagian piringnya.
“Nanti saya akan nambah lagi, kok.” Jawab Cut.
Cut mulai menyuap makanan kedalam mulutnya. Hidangan yang tersedia di meja makan kali
ini agak lebih mewah dari yang biasanya. Sayur bayam dengan potongan jagung. Tumis brokoli
dengan daging ayam. Ayam goreng. Ikan panggang mujair. Dan telur balado. Semuanya adalah
makanan favoritnya. Di suasana normal, ia akan bingung untuk mengambil yang mana sebagai lauk.
Tapi kali ini, jangankan berharap, ingin saja tidak.
Bibinya terus memperhatikan Cut yang hanya memakan nasi dengan sayur bayam saja.
Sengaja ia tak menegurnya. Takut, nantinya pembicaraan akan beralih ke kasus semalam. Ia hanya
menatap Cut yang makan tanpa selera sampai pada akhirnya, kedua mata mereka bertemu.
Cut segera menundukkan kembali wajahnya dan menyendok telur balado. Bibinya menghela
nafas pelan. Ia tak sanggup melihat keadaan Cut yang mati selera itu. Setidaknya, ia bersyukur, Cut
adalah anak yang pandai memahami keadaan.
Setelah makan, seperti biasa, Cut membantu bibinya mencuci piring bekas makan tadi. Tapi
kali ini, benar-benar lengang. Tak ada percakapan sama sekali. Mereka mencuci piring dalam diam
dan mengakhirinya tanpa serangkai katapun.
Cut segera kembali ke kamarnya setelah cucian piring sudah habis. Ponsel yang terbaring
kaku di meja samping ranjangnya diraihnya. Ia membuka daftar kontaknya dan mencari sebuah
nomor. Nomor orang yang diundangnya kemarin sore. Baso. Nomor itu dimintanya sebelum Baso
pamit untuk pulang.
Ragu. Tangannya tertahan saat hendak menekan tombol call. Apa yang akan kukatakan nanti,
batinnya. Beberapa detik, kurang dari empat puluh detik, akhirnya ia menjatuhkan keputusannya. Ia
menekan tombol call dan menguping suara seberang sana.
“Halo. Assalamu ‘alaikum.” Baso mengangkat anggilan itu.
“Wa’alaikum salaam.” Jawab Cut, lalu membisu. Ia tak berani mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi.
“Halo?” Baso memastikan telepon tak terputus. Namun ia tak mendapat jawaban sama sekali.
“Halo, Tian? Ada apa, ya?”
“E-em… maaf.” Cut sadar sudah terlalu lama membungkam. “Kamu sedang ada dimana?”
akhirnya ia memilih untuk basa basi dulu.
“Di rumah.”
“Adik-adik kamu sudah makan?”
“Sudah. Mereka lagi main petak umpet. Tian yang jaga.”
Cut tertawa kecil. “Baiklah, saya akan menghitung. Satu…dua…”
Baso ikut tertawa di seberang. “Kamu itu suka bercanda juga, ya.” Ucapnya. “Oh, ya. Setahu
aku, MALPI ada kelas khususnya kalau sore. Kamu tidak ke sana?”
Akhirnya, ia menemukan jawaban atas apa yang akan disampaikaannya. “Iya. Soalnya, aku
lagi ada acara di rumah. Jadi, minggu ini, rumah lagi ramai.”
“Jadi, kami tidak bisa bertamu lagi, dong.”
“Ya mau gimana lagi. Kapan-kapan saja, ya.”
“Iya.” Angguk Baso. “Eh, ngomong-ngomong, tante kamu baik, ya. Repot-repot nyiapin
minum buat kami.”
Cut terdiam. Kebohongannya seakan terungkap. Seberkas rasa bersalah menyilaukannya.
Dalam hatinya, ia ragu bahwa haruskah ia menjelaskan semua kenyataannya.
“Halo?” Baso kembali memastikan bahwa telepon tetap tersambung.
“I-iya. Dia senang dengan adik-adik kamu juga.” Ucapnya. “Tian gimana? Dia sudah
menemukan semuanya?”
“Belum. Satupun belum ada.”
“Boleh saya bicara dengan dia?”
“Tentu.” Jawab Baso. “Tian! Kemari sebentar.” Panggilnya pada gadis kecil yang tengah
sibuk mencari itu. “Telepon dari Kak Tian.” Bisik Baso sambil menyodorkann ponselnya kepada
Tian. Dengan wajah berbunga, Tian menerima ponsel itu.
“Halo, Kak Tian.” Tian menyapa Cut di seberang sana.
“Halo, Tian. Bagaimana? Kamu sudah dapat mereka semua?”
“Belum, Kak. Mereka curang, suruh Tian menghitung lama-lama.”
Cut kembali tertawa mendengar suara menggemaskan itu. “Kamu semangat, ya. Cari mereka
sampai dapat.”
“ENGGOoo…” Ryan menyentuh tiang jaga. “Yee…!!! Tian yang jaga lagi.”
Tian memberengut kesal. “Saya kecurian, kak.” Ia mengadu kepada Cut.
“Yah… tidak apa-apa. Kamu coba lagi, ya.” Diberinya gadis kecil itu semangat.
“Iya, kak.”
“Coba kembalikan ponsel itu ke Kak Baso.”
***
Matahari sudah tenggelam sempurna di ufuk barat. Baso dan adik-adik pantinya serta
penghuni panti lainnya sudah melaksanakan shalat Maghrib berjama’ah. Ibu Sira segera menuju
dapur, menyiapkan makanan untuk seisi panti. Ibu Imelda membantunya menyiapkan makanan.
Dalam waktu singkat, mereka berdua akrab satu sama lain. Pak Arman dan Anto menikmati sebatang
rokok sambil menunggu makanan terhidang. Sementara Baso sibuk mengawasi adik-adik pantinya
bermain domino.
Di tengah fokusnya ia mengawasi mereka, ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah panggilan
masuk ke kontaknya. Baso melihat layar ponselnya, ingin tahu siapa penelpon itu. Ibu Khairah.
Baso beranjak dari tempatnya, menjauh dari adik-adiknya yang tengah bermain. “Assalamu
‘alaikum, Bu.”
“Wa’alaikum salaam, Nak. Kamu baik-baik saja disitu?”
“Iya, Bu. Kami semua baik-baik saja.” Baso mengecilkan suaranya. Takut adik-adiknya
mendengar percakapan itu.
Baso punya banyak nama di daftar kontaknya. Kebanyakan adalah kerabatnya. Namun yang
selalu aktif di list panggilannya hanya Ibu Khairah. Selain itu, semuanya pasif.
“Ibu kapan pulang?” Tanya Baso pada Ibu Khairah yang ada di seberang sana.
“Saran kamu sedang dalam pertimbangan, nak. Ibu akan tetap di sini menunggu sampai
keputusan datang.” Jawab Ibu Khairah dengan suara terpaksa. Bagaimana tidak, ia berjanji untuk
datang tiga hari kemudian dan ternyata harus menunggu sampai keputusan itu tiba entah kapan.
“Itu pertanda baik, ‘kan, bu?”
“Iya.”
“Mudah-mudahan panti ini tidak jadi dipindahkan.”
“Aamiin.”
Dadanya lega. Walau keputusan belum dijatuhkan, tapi setidaknya ada kemungkinan yang
besar untuknya. “Oh, iya, Bu. Besok, saya akan mulai kerja masjid yang saya maksud dulu.”
“Alhamdulillah. Dimana itu?”
“Di daerah Pammana, Bu. Masa Ibu lupa.” Jawabnya.
Ibu Khairah tertawa. “Eh, iya. Ibu lupa.”
“Masjidnya lumayan besar, Bu, dan mungkin, saya akan jarang jarang berada di panti.”
“Kamu jangan paksa diri kamu, ya, nak. Kalau kamu sudah lelah dihentikan saja. Apalagi,
kamu cuma sendirian kerjanya.”
“Iya, Bu. Saya tidak akan terlalu memaksakan diri.”
Nasehat itu bukan nasehat baru dari Ibu Khairah. Mulai dari job pertamanya, Ibu Khairah
sudah menasehatinya tentang itu.
“Kalau begitu, sudah dulu, ya, nak.”
“Iya, Bu.”
“Kamu sehat-sehat, ya. Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salaam.”
Tepat setelah panggilan itu terputus, Ibu Sira sudah memanggil. Makanan sudah terhidang.
Pak Arman dan Anto segera beranjak dari kursi, berjalan menuju ruang makan yang bersebelahan
dengan dapur. Baso menggiring adik-adik pantinya menuju ruang makan dengan teratur. Dan kali
ini, Tian yang pimpin do’a sebelum makan.
***
Sementara itu, Cut, paman dan bibinya juga sedang makan malam. Masih dengan menu yang
sama. Selera makannya sudah agak membaik, walau tak sepenuhnya pulih. Itu yang dilihat oleh
bibinya. Tapi ia tak tahu, bahwa keponakannya itu makan bagaikan menelan duri onak. Ia tak ingin
diomeli oleh bibinya.
“Hafalan kamu bagaimana, Cut?” Tanya pamannya, membahas sedikit tentang sekolah Cut.
Cut terdiam sejenak. Sudut matanya menangkap sosok bibinya yang juga menatapnya.
“Alhamdulillah lancar.” Padahal, hafalannya ambur adul setelah kasus kemarin malam itu.
“Berapa juz?” Tanya pamannya kembali.
“Dia bukan hafal juz.” Bibinya yang menjawab. “Dia cuma dikasih list surah pilihan. Nah,
itulah yang mereka hafal.”
Pamannya mengangguk-angguk. “Surah-surah pendek?”
“Bukanlah.” Bibinya kembali yang menjawab. “Surah-surah yang panjang dan paling sering
dibaca orang. Ya sejenis Yaasiin atau al-Mulk.” Sudut matanya kemudian kembali bertemu dengan
Cut.
“Jadi, kamu sudah hafal berapa surah?”
“Delapan.” Jawab Cut sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya. Tenggorokannya
dirasanya sakit menelan makanan yang dimakannya tanpa ridho itu.
Setelah makan malam, seperti biasa, Cut membantu membereskan bekas makan. Namun kali
ini, bibinya memintanya untuk segera ke kamar untuk beristirahat. Entah mengapa ia meminta
keponakannya itu untuk ke sana. Karena merasa iba? Itu kemungkinan terbesarnya.
Tepat saat ia membuka pintu kamarnya, ponselnya seketika berdering. Terburu-buru ia
menghampiri ponselnya itu. Itu panggilan masuka dari ibunya.
“Assalamu ‘alaikum, Bu?”
“Wa’alaikum salaam. Bagaimana kabarmu, nak? Baik-baik saja?”
“Saya baik, Bu. Kalau ibu bagaimana?”
“Kamu tak usah mengkhawatirkan kami di sini. Alhamdulillah kami semua baik-baik saja.”
“Uda sedang keluar, ya, Bu?” Ia baru ingat, sudah sangat lama tak pernah berkomunikasi
dengaan kakaknya itu. Terakhir ia mendengar kabarnya adalah saat kakaknya itu baru sembuh
setelah kecelakaan.
“Tidak. Ia sedang nonton TV.” Jawab ibunya. “Kamu mau bicara sama dia?”
Cut mengangguk. “Iya, Bu.”
Beberapa saat kemudian, ponsel di seberang berpindah tangan. “Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salaam. Uda baik?”
“Baik. Malah rasanya jauh lebih baik sebelum kecelakaan.”
Cut tersenyum mendengarnya. “Sekalian kecelakaan lagi, biar semuanya tambah baik.”
“Jadi kamu mau saya mati, ya?”
“Setidaknya supaya Uda lepas dari siksa dunia.”
Di seberang, kakaknya itu tertawa. Tawa yang begitu khas. Terakhir ia mendengar tawa
kakaknya itu adalah seminggu sebelum berangkatnya ia ke Sulawesi. Dalam kurun waktu yang tidak
singkat itu, siapa pun akan rindu sesuatu yang membosankan sekalipun di masa lalu.
“Sekolah kamu bagaimana?” Tanya kakaknya.
“Saya rasa ada banyak peningkatan selama sekolah di sini.” Ungkap Cut. Ia akui itu. Ketika
menempuh sekolah dasar di Aceh, hingga melanjutkan sekolah menengah pertamanya di tanah
Minang, Cut seakan tidak begitu peduli dengan pelajaran-pelajaran agama. Cut juga tak tahu
mengapa bisa begitu. Mungkin karena sudah terlalu sering mendengar petuah-petuah agama,
sehingga ia merasa tidak terlalu bergairah dalam belajar agama.
Tapi ketika ia pindah ke Sulawesi, ia seakan rindu dengan suasana seperti itu. Ia rindu dengan
apa yang membuatnya bosan sewaktu di Sumatera. Apa ini berarti Cut rindu untuk kembali merasa
bosan setelah dua tahun lebih tinggal di Sulawesi? Tidak sama sekali. Itulah mengapa setiap guru
bidang studi agama, seperti Fikhi, Akidah Akhlak, Al-Qur’an dan Hadits, dan bidang-bidang agama
lain, masuk mengajar, Cut akan benar-benar memperhatikan dan aktif dalam bertanya dan
menjawab. Semuanya ia sesuaikan dengan apa yang didapatnya di Sumatera dulu.
“Kamu tidak rindu kembali ke Aceh?”
Sejenak, Cut terdiam. Bungkam. Ia rindu. Tentu saja. Profinsi Islam itu banyak memberinya
kenangan indah semasa kecil. Namun satu kenangan buruk membuatnya takut memijakkan kakinya
di daerah kelahirannya itu.
“Semenjak nenek meninggal,” Sambung kakaknya. “Kita belum pernah menziarahinya.”
Seakan dilecut cambuk, Cut membelalak dengan mulut terbuka., “Nenek?”
Di seberang sana, Ibunya Cut menatap kesal anak sulungnya itu. Setahun yang lalu, hingga
sekarang, ia berusaha menjaga agar kabar kematian orang tua bapaknya tidak sampai di telinga Cut.
Tapi semua itu harus terbongkar sekarang.
“I-iya. Kamu belum tahu?” Ucapnya pura-pura tidak tahu. Ibunya sudah merah padam
wajahnya gara-gara dia.
“Tidak ada yang memberitahu saya.” Cut setengah panik berlinang air mata. “Bagaimana
bisa? Apakah ibu tidak tahu itu? Ataukah ibu merahasiakan itu dari sana?”
Dengan kesal, di seberang sana, Ibunya Cut merebut ponsel dari tangan si kakak. “Maafkan
ibu, ya, Cut. Ibu sengaja tidak memberitahu kamu. Ibu khawatir kamu tidak bisa konsentrasi di
sekolah nantinya.”
“Tidak bisa konsentrasi atau agar Cut tidak pernah mengingat nenek lagi?” Tanyanya dengan
nada tinggi.
“Bukan begitu maksud ibu, nak….”
“Saya tahu ibu tak ingin Cut membahas soal bapak lagi. Saya tahu ibu masih merasa sakit
atas perkataan nenek. Tapi mereka juga keluarga kita, Bu. Cut tidak akan pernah ada tanpa mereka,
bu! Ibu tidak akan menikah dengan bapak tanpa izin dari nenek, bu!”
“Iya, Iya. Ibu minta maaf, ya. Ibu minta maaf.” Ucapnya membujuk hati putri tunggalnya itu.
“Ibu yang salah. Tak seharusnya ibu sampai merahasiakan itu padamu. Ibu rasa, ibu terlalu kejam.”
“Memangnya ibu baru merasa? Dari dulu, ibu memang sudah kejam! Memaksa bapak
bekerja mencari makan sampai dia kelelahan dan menderita sakit punggung yang luar biasa, apakah
itu tidak kejam, bu?!” gertak Cut dengan urat leher yang menegang.
“Cut. Tenangkan diri kamu dulu. Ibu sadar ibu salah. Tenangkan diri kamu dulu.” Bujuknya
dengan halus. “Memang selama ini, Ibu sudah terlalu kejam kepada bapakmu, kepada kamu, kepada
kalian semua. Sebenarnya, Ibu masih berat menceritakan semua ini pada kamu. Tapi, Ibu ternyata lupa, bahwa kamu bukan anak kecil lagi.” Ia menarik nafas panjang dan mengembuskannya
perlahan-lahan. “Ibu menikahkan adikmu agar ia bisa menghidupi dirinya sendiri semata-mata agar
dia tidak menyusahkan ibu lagi. Kamu ke Sulawesi, bukan semata-mata karena Bibi Citra yang
memanggil kamu. Itu karena permintaan dari ibu, agar kamu bisa mencari kehidupanmu sendiri di
kampung orang dan melupakan tanah kelahiranmu. Lalu, kamu bisa mengikuti jejak adikmu yang
rantau ke kampung orang.
“Dan kakak kamu, dia adalah anak Ibu yang paling Ibu sayang. Ibu sadar, ibu sangat tidak
adil kepada kalian semua. Ibu sangat kejam kepada kalian atas semua ini. Walau ibu tahu, ini akan
terlalu berat untuk kamu terima, tapi setidaknya, kamu sudah dapat hak kamu untuk mengetahui
semua itu, nak.”
Cut hanya bisa membelalak tak percaya. Beginikah ibu yang selama ini ia kira sebagai sosok
malaikat yang selalu menjaganya di malam hari? Kepalanya menggeleng pelan, tak percaya dengan
apa yang didengar dari ibunya itu. Air matanya meleleh, membasahi pipinya yang kusam, menambah
sembab wajahnya.
“Jadi, kenyataannya begitu?” Bergetar suaranya mengucapkan kalimat itu.
Di seberang sana, ibunya juga tak sanggup menahan bendungan air matanya. Wajahnya yang
persis mirip dengan wajah putri tunggalnya itu basah oleh air mata. “Maafkan Ibu, nak. Ibu akan
berusaha bagaiamana nantinya membuat semuanya kembali seperti semula.”
“Cut memang sudah bukan anak kecil lagi, bu.” Ucap Cut berusaha menahan gemuruh di
dadanya. “Cut akan menerima semua keputusan ibu. Dan jika perlu, Ibu tidak usah menganggap saya
sebagai anak Ibu lagi. Bibi Citra mungkin bisa menjadi ibu yang sebenarnya bagi Cut.”[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Child Anymore (End)
RomanceJika kita masih dianggap anak kecil oleh dewasa-dewasa disana, biarlah disini kita yang merasa lebih dewasa dari mereka.