Bab 16 Kepulangan dan Keberangkatan

7 2 0
                                    

Ia sudah pulang ke pangkuan Tuhan dengan wajah berseri. Di dalam tempat terbaik di surga ‘Adn. Dan itulah kemenangan yang sebenarnya.
-Baso Rahmat Hasyim-

Tanggal satu Mei. Hari terakhir sebelum keberangkatan Cut dan yang lainnya ke kampung halaman Ibu Kristina.
Malam menguarkan hawa dingin yang benar-benar menusuk. Gerimis menyiram kota Sengkang, dan angin malam  tak henti-hentinya mengembus. Setelah makan malam bersama dengan paman dan bibinya, Cut segera naik ke kamar. Sebelumnya, ia meminjam ponsel bibinya. Ia ingin menghubungi ibunya.
Cut membungkus tubuhnya dengan selimut. Tak tahan dengan dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulang. Hijabnya batal ia tanggalkan. Akan semakin dingin jika ia membukanya. Jadilah Cut meringkuk seperti kepompong diatas tempat tidur. Daftar kontak bibinya ia buka. Ia mencari nomor kontak ibunya. Ibunya Cut. Begitu nama nomor kontak ibunya di daftar kontak bibinya.
Cut menekan tombol call, menghubungi nomor kontak ibunya. Sayang, nomor kontak itu ternyata sedang tidak aktif. Dengan hati yang merasa resah, Cut membaringkan ponsel bibinya itu di samping kepalanya. Ia menyesal, tak memberi respon pada ibunya saat ibunya menelpon dulu.
Rindu. Ia amat ingin mengucapkan maaf kepada ibunya. Karena walau bagaimanapun, wanita itu adalah ibunya. Yang membesarkannya. Yang menyusuinya. Yang melindunginya dari keluarga ayahnya yang mengusir mereka dari kampung. Tak ada gunanya jadi ahli ibadat kalau pendurhaka. Ia takut ibunya terlanjur ikut membencinya, atau bahkan melupakannya sebagai salah satu dari tiga manusia yang berasal dari rahimnya.
Sementara itu, di panti asuhan, Baso sedang menikmati teh yang dibuatkan oleh Ibu Sira. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan tepat.
Belum waktunya untuk anak-anak panti beranjak menuju tempat tidur. Namun melakukan permainan di saat gerimis dingin seperti saat ini adalah ide yang buruk. Dan akhirnya Baso memutuskan untuk melakukan sesuatu agar adik-adik pantinya bisa tertidur. Mendongeng.
Baso mengambil satu dari sekian banyak buku yang ia koleksi. Yang mendominasi buku koleksinya itu adalah novel-novel. Khususnya novel-novel karya penulis-penulis yang sudah mumpuni dalam dunia kepenulisan, misalnya, yang paling terkenal, Tere Liye, Habiburrahman, Andrea Hirata, Asma Nadia, Dee, Wina Effendi dan masih banyak lagi. Juga tak jarang ia mengoleksi buku-buku novel sastrawan Indonesia, seperti seri Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari. Ia hanya sedikit mengoleksi buku-buku anak dan dongeng-dongeng. Hanya menghitung jari. Namun ia tak memilih buku-buku dongeng itu untuk mengantar  tidur adik-adik pantinya. Baso memilih buku kumpulan cerpen ‘Malaikat Bertanduk’ karya gurunya sendiri, Pak Muhammad Akis.
Baso memutuskan meresapi, menikmati malam terakhirnya ini bersama dengan adik-adik pantinya, sebelum ia berangkat besok malam ke Malili.
“Dongengnya kancil dan buaya, Kak!” Seru Ryan saat Baso datang dari mengambil buku.
“Ah, ngga’ seru kalau kancil dan buaya.” Bantah Dawai. “Malin kundang yang bagus.” Ujarnya.
“Memang bagus buat kamu, karena kamu anak durhaka.”
“Ryan! Aku ngga’ mau berantem! Kamu jangan cari gara-gara, dong!” gertak Dawai, mengendalikan emosinya. Ia tak ingin kejadian saat pertengkarannya dengan Maria kembali terjadi. Dan keputusan yang diambil Dawai membuat Baso tersenyum bangga. Tak sia-sia ia memarahi mereka.
“Tapi kancil dan buaya jauh lebih seru!” Ryan tak mau kalah.
“Malin kundang, kan, kak?” Dawai memohon pada Baso.
“Bukan kancil dan buaya, bukan juga malin kundang.” Putus Baso. “Tapi kakak akan bercerita tentang seorang anak muda, seperti kakak.” Baso mulai bercerita. “Dia bersekolah di pesantren, sama seperti kakak. Dan dia juga laki-laki kurus dan kusam, sama seperti kakak. Jadi, bedanya kakak dengan dia apa?”
Mereka semua terperangah, tak mengerti dengan maksud Baso. Tapi setiap tiba suasana seperti itu, salah seorang dari mereka pasti mengajukan pendapatnya.
“Mungkin kakak lebih ganteng dari dia?” Tebak Tian, tak menjamin jawabannya yang aneh itu. Anak-anak yang lain cekikian mendengar pendapat Tian, namun ia tak peduli. Ia tetap menatap wajah Baso, meminta balasan.
“Sayangnya kakak juga tidak tahu seberapa tampan anak muda ini.” Ujar Baso. “Yang kakak tahu dari dia, adalah, dia masih punya orang tua. Kedua orang tuanya masih hidup. Namun ayahnya sudah lama mendekam didalam penjara. Dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Sama seperti kakak…”
“Yang jatuh cinta sama Kak Tian!” seru Maria, memotong, tepatnya menyambung kalimat Baso.
Anak-anak yang lain tertawa. “Kakak benar-benar suka sama Kak Tian, ya?” Tanya Dawai dengan antusias. Baso hanya bisa tersenyum, tak menjawab pertanyaan itu.“Atau jangan-jangan, kakak punya gadis lain?!” Tambah Dawai dengan nada yang menjebak, membuat yang lain makin penasaran.
“Tidak ada.” Ucap Baso. “Kakak belum pernah suka sama seseorang seperti anak muda ini. Kakak juga belum ingin suka dengan seseorang. Dan kalian,” sambung Baso. “Tidak perlu tahu dulu yang namanya pacar-pacaran. Kalau ada yang kakak dengar yang mengatakan sesuatu yang tidak-tidak, kakak akan pukul. Kalau perlu, dikurung di kamar mandi.” Digarang-garangkannya nada suaranya, membuat mereka yang tadinya tertawa tersenyum, jadi menunduk bisu. Baso hendak tertawa melihat mereka semua. “Kita sambung ceritanya.
“Anak muda ini bernama Ikram. Ikram pernah suatu kali datang membesuk ayahnya di penjara. Terpaksa. Dia terpaksa pergi ke sana. Ikram amat benci kepada ayahnya. Kalian tahu mengapa dia benci kepada ayahnya?” Baso kembali melontarkan pertanyaan kepada mereka. Tapi kali ini, mereka menjawab tidak tahu. “Ayahnya menikah dengan wanita lain. Menelantarkam ibunya yang malang. Ibu tirinya memperlakukannya seperti seorang anak durhaka. Dibentak, dimarahi, dipukul. Tak pernah di belai sekalipun. Jadi kalian semua jangan nakal-nakal, supaya kakak tidak berubah seperti ibu tirinya Ikram”
“Kak, ibu tiri itu semuanya kejam, ya?” Tanya Maria.
“Tidak semuanya, Maria.” Jawab Baso. “Contohnya adalah bibinya Nabi Yusuf. Bibinya  itu sudah Nabi Yusuf anggap sebagai ibu tirinya, karena ialah yang selalu mendampingi Nabi Ya’qub—ayahnya Nabi Yusuf, di setiap saat. Bibinya itu tak pernah memperlakukan mereka seperti anak orang lain. Walau ia ibu tiri, ia memperlakukan anak-anak tirinya seperti anak kandungnya sendiri.”
“Tapi kenapa yang sering kita dengar itu cuma ibu tiri yang kejam, kak? Kenapa tak pernah ada kasus ayah tiri yang kejam? Padahal, laki-laki kalau marah tidak bisa diajak kompromi, kan, kak?” Ryan bertanya, terbawa arus dari pertanyaan Maria sebelumnya.
“Wanita itu selalu berbicara perasaan, Ryan. Berbeda dengan laki-laki yang cenderung mengandalkan logikanya. Kebanyakan wanita memang tak senang dengan anak tirinya, apalagi kalau anak tirinya ini bawel kayak kalian semua.”
“Kami tidak bawel kok, kak.” Celetuk Dawai, merasa tertuduh.
“Yang tadi itu? Kalian tidak bawel, mau dibacain dongengnya kancil atau malin kundang?”  Tuduh Baso, membuat Dawai tertunduk. Yang lainnya hanya bisa tertawa melihat Dawai yang tersudutkan.
“Kalau sekali saja kalian memancing amarahnya, dia tidak akan suka sama kalian lagi.” Lanjutnya. “Tapi tak berarti semua wanita begitu. Terkadang malah terbalik. Ayah tiri yang kejamnya minta ampun sama anak tirinya. Disuruh beli rokok, cuci motor, pel lantai, sikat kamar mandi, atau apalah. Jadi, kalian bersyukur, tidak kakak suruh mengepel lantai, cuci piring. Bayangkan kalau kakak kejamnya kayak itu. Atau Ibu Khairah kejamnya kayak ibu tiri di sinentron-sinetron. Ataukah Ibu Sira, yang memasukkan racun ke masakannya agar kita semua mati.”
“Ngeri, ah, kak.” Rengek Tian
“Lebih baik mati sekarang kalau begitu, kak.” Tambah Ryan.
“Nah, kalau begitu, kita sambung ceritanya…
***
“Kamu datang nanti malam kemari setelah shalat Isya, ya.” Ujar Wahid lewat telepon. “Kamu sudah mengemas barang-barang kamu, kan?”
“Iya. Semuanya sudah beres.” Jawab Baso. “Aku akan ke sana nanti malam.”
“Oke. Aku tunggu, ya. Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salaam.”
Baso menatap jam dinding yang tergantung di atas pintu kamarnya. Pukul sembilan pagi. Ia bangun kesiangan. Sesudah shalat Shubuh, ia memuraja’ah hafalannya. Tanpa sadar, ia tertidur diatas sajadahnya sambil memegang al-qur’an yang merupakan hadiahnya saat terpilih sebagai satu dari sepuluh siswa terbaik saat menjalani MPLM di MANAC.
Ia meraih handuknya dan menggontai menuju kamar mandi. Bulu kuduknya meremang saat ia keluar dari kamarnya. Masih tersisa dingin akibat gerimis semalam.
Baso tak berlama-lama di kamar mandi. Air di bak amat dingin, bagaikan es yang baru saja dicairkan. Gigi-giginya seakan ingin terlepas dari gusinya, saking dinginnya air itu. Rambut kepalanya seperti hendak rontok semua. Setelah selesai menyabuni badan dan mengguyur tubuhnya hingga bersih, Baso segera meraih handuknya dan keluar dari kamar mandi. Selesai sudah. Ia langsung berlari kembali ke kamar untuk menghangatkan dirinya dan berpakaian.
Ibu Khairah memanggilnya dari luar saat ia mulai mengenakan pakaiannya. Dimintanya Ibu Khairah untuk menunggu sejenak. Baso menatap jam dindingnya lagi. Pukul sembilan lewat tujuh menit. Itu berarti, ia mandi tak sampai lima menit. Ia menertawai dirinya sendiri. Seharusnya ia memasak air lebih dulu agar airnya tidak terlalu dingin.
Sehabis berpakaian, Baso keluar dengan handuk yang masih digosok-gosokkannya pada rambutnya yang basah.
“Ada apa, Bu?” Tanya Baso, mendekat pada Ibu Khairah yang duduk di kursi ruang tamu.
“Duduklah.” Pinta Ibu Khairah sambil tersenyum manis. Baso menuruti dan segera mengambil tempat duduk, tepat di depan Ibu Khairah.
“Ada apa, Bu?” Tanya Baso kembali.
“Jadi, kamu akan berangkat nanti malam?” Tanya Ibu Khairah.
Baso mengangguk. “Iya, Bu. Selepas shalat Isya.”
“Barang-barang kamu? Sudah kamu kemas semua?”
“Sudah, Bu.” Ia sampai harus begadang hingga tengah malam, memikirkan apa saja yang harus dibawanya nanti ke Malili.
Ibu Khairah menghela nafasnya. Tak tega rasanya ia melepas kepergian Baso setelah sekian tahun menghabiskan Ramadhan bersama semuanya. “Nanti di kampungnya orang, kamu harus jaga sikap. Orang-orang akan melihat jika kamu berbuat aneh sedikit saja. Citra kamu sebagai seorang santri harus kamu jaga. Almamater sekolah kamu harus bisa kamu harumkan di sana.”
Baso tertegun sejenak. Ia menyadari hal itu. Ia tak tega harus menghabiskan Ramadhan, bulan penuh kasih dan rahmat Tuhan tanpa Ibu Khairah dan adik-adik pantinya. “Akan kukirimkan kabar setiap hari, Bu. Ibu tidak usah khawatirkan aku di sana.”
Mereka berdua kemudian terdiam. Beberapa saat. Beberapa detik. Beberapa menit. Dan pada akhirnya, pecah saat Ibu Khairah tertawa kecil. Ia nampaknya mengingat sesuatu yang lucu.
“Kenapa Ibu ketawa?” Heran Baso.
Ibu Khairah mengangkat kepalanya, menatap Baso yang keheranan. “Ibu Cuma menertawai diri ibu sendiri.” Ujarnya. “Awalnya, Ibu kira, Cut itu pacar kamu. Ibu sampai curiga kalau kamu berbohong dengan mengatakan bahwa dia itu adalah teman kamu.”
Baso ikut tertawa. Ibu Khairah tak sadar, bahwa Baso benar-benar menaruh hati pada Cut. Tepatnya, saling menaruh hati satu sama lain. Seperti yang Cut katakan, ia tak ingin menolak, ia hanya tak bisa memilih iya untuk mengikat ikrar dengan Baso. “Kalau seandainya saya berbohong, Ibu akan bilang apa saat mengetahuinya?”
“Ibu akan potong telinga kamu.” Kelakarnya. “Kamu itu jarang sekali berteman dengan perempuan. Tapi sekali berteman, malah terlalu akrab.”
“Ya, aku juga laki-laki, kan, Bu. Mana mungkin aku harus menghabiskan hidup ini seorang diri.” Ungkap Baso dengan berani.
“Jadi benar, kamu suka sama keponakannya Ibu Citra?”
“Ibu pura-pura tidak tahu saja.”  Jawab Baso dengan malu-malu. Ibu Khairah tertawa melihat Baso yang merona pipinya. “Tapi mau diapa lagi, ya, ‘kan? Dia sudah punya tunangan.” Sambung Baso.
“Kamu tidak usah berkecil hati.” Ucap Ibu Khairah. “Toh, kamu belum terlanjur menjalin hubungan dengan dia. Banyak gadis-gadis lain. Siddimi paramata Cut pole ri sisebbue paramata. Cut hanya satu dari sekian gadis diluar sana.”
Apa yang dikatakan Ibu Khairah persis dengan apa yang Cut katakan saat ia menyatakan perasaannya pada Cut. Seddima’ paramata pole ri sisebbue paramata. Saya hanya sekian dari sekian yang ada. Masih banyak gadis lain yang mungkin lebih dari Cut dalam segala hal. Tapi yang menjadi masalah, tak akan ada yang sama dengannya. Karena tak butuh kesempurnaan fisik dan kemampuan untuk sebuah cinta yang sempurna.
“Kamu memang bukan anak kecil lagi, nak.” Sambung Ibu Khairah. “Kamu harus belajar cari jati diri kamu.  Buktikan, bahwa kamu bisa bangkit tanpa siapa pun. Kamu bisa berhasil dengan keringat sendiri. Kamu bisa menjadi orang yang bermanfaat banyak bagi semua orang. Buktikan, bahwa sesuatu yang mustahil itu bisa luluh runtuh oleh tekad yang kuat.”
“Saya tidak akan begini tanpa Ibu juga.” Baso merendah.
Ibu Khairah tersenyum. “Kehadiran Ibu hanya berupa jalan sehingga kamu bisa bertemu dengan Maria dan yang lainnya. Tak lebih dari itu, nak.”
***
Azan Ashar kembali bergema di langit Lamaddukelleng. Matahari sudah mulai beranjak pulang ke peraduannya. Sinar jingganya yang begitu cerah menyilaukan mata, seakan mengatakan bahwa tak pernah terjadi gerimis semalam.
Baso masih terbaring di atas tempat tidurnya. Termenung menatap langit-langit kamarnya. Malili. Ini akan menjadi sejarah perjalanan terjauhnya dengan mobil. Tak habis pikir, sedang ke Makassar saja ia belum pernah, lah, tiba-tiba ia akan berangkat ke tempat yang lebih jauh lagi. Takdir.
Ia mengakhiri lamunannya dengan beranjak dari tempat tidurnya. Lantunan rekaman murattal al-Qur’an sudah terdengar dari masjid-masjid. Beberapa menit lagi iqamat akan dikumandangkan. Baso ke kamar mandi, mengambil air wudhu. Kali ini, ia memutuskan untuk pergi ke masjid shalat berjama’ah. Ia ingin menikmati shalat di masjid di Sengkang untuk yang terakhir kalinya sebelum ia berangkat ke Malili. Bukan sekadar karena ingin meluapkan segalanya sebelum keberangkatannya. Namun sekaligus, ia ingin meminta petunjuk, pertolongan atas segala yang akan ia hadapi nantinya di tanah Luwu sana.
Sudah lengkap dengan sarung dan kopiahnya, Baso keluar dari kamar, hendak berangkat ke masjid. Roni dan Ryan melihatnya, bertanya Baso ingin kemana. Mereka berdua kemudian merengek ingin ikut bersamanya ke masjid. Bergegas mereka menuju kamar mandi, mengambil air wudhu. Sekembalinya mereka ke kamar untuk mengambil baju, Maria dan yang lainnya melihat mereka. Tahu Ryan dan Roni ingin kemana, Maria juga ikut merengek ingin ikut bersama mereka. Baso ingin menunggunya, namun iqamat sebentar lagi dikumandangkan. Jadinya, Baso membujuknya terlebih dahulu, sebelum berangkat ke masjid.
“Baso.” Sebuah suara memanggil namanya. Baso menoleh ke arah datangnya suara.
Ibu Khairah yang berdiri di depan pintu kamarnya sambil memperlihatkan sajadah yang selalunya Baso bawa jika hendak pergi ke masjid. Baso meraih sajadah itu dan hendak mencium tangan Ibu Khairah.
“Wudhunya nanti batal, loh.” Ibu Khairah mengingatkan. Walaupun mereka sudah seperti ibu dan anak, tapi itu tak mengubah kenyataan bahwa mereka tak ada hubungan nisab yang memenuhi kategori mahram. Tapi Baso bersikeras.
“Nanti saya perbaiki wudhu saya di masjid.” Ucapnya, lalu mencium tangan Ibu Khairah, lantas bergegas menuju masjid.
Baso meminta Ryan dan Roni untuk masuk lebih dulu ke masjid, sementara ia berbelok menuju tempat wudhu. Bertepatan saat ia menyelesaikan wudhunya, iqamat berkumandang. Alhamdulillah. Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hambanya yang beriman.
Di sisi lain, Cut juga sedang bersimpuh di hadapan Tuhan. Sudah ditunaikannya perintah agung itu dengan penuh kekhusyu’an. Tangannya menengadah, memohon do’a kepada Yang punya Kuasa atas segala segala sesuatu. Al-Malik. Kepada Yang Maha Penerima Taubat. At-Tawwaab. Kepada Yang Maha Mengabulkan Segala Do’a. Al-Mujiib. Kepada Yang Maha Menentukan Segala Keputusan. Al-Hakim.
“Ya, Allah, hanya bagimu segala puji, sebagaimana pujian itu patut terhadap kemuliaan-Mu dan keagunan-Mu. Ya Allah, janganlah Engku siksa kami semua jika kami terlupa atau kami tersalah.” Cut menghela nafasnya, sebelum melanjutkaan do’anya “Ya Allah, Ya Tuhanku,  janganlah kau pikulkan atasku apa yang diluar kemampuanku.” Ia berharap diberi kemudahan untuk menghadapi masa depannya bersama Wahid nanti. “Ya Allah, Ya Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orang tuaku, dan sayangi mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil.” Terbayang wajah kedua orang tuanya. Ayah yang sudah berada jauh didalam dekapan tanah. Ibu yang entah bagaimana kabarnya di Sumatera sana. Terbayang apa yang pernah ia katakan kepada Ibunya. ‘Bibi Citra mungkin bisa menjadi ibu yang lebih baik bagi saya.’ Ia benar-benar menyesali perkataannya itu. “Ya Allah, Ya Tuhanku, masukkanlah aku kedalam surga-Mu bersama dengan orang-orang  yang berbuat baik.” Baso mengisi kepalanya. Dan Ali yang sudah menempuh jalan hidup sendiri dengan orang lain. Harapnya bisa dipertemukan di kebahagiaan yang abadi. “Maha Suci Engkau, Tuhan segala kemuliaan. Wasalaamun ‘alal mursaliin, walhamdulillaahi rabbil’aalamiin.”
Cut menghapus air matanya yang menggenang di pelupuk matanya. Hatinya ia rasa tentram. Dadanya lapang. Pikirannya tenang. Ia menikmati momen-momen sehabis shalatnya dengan berzikir kepada Sang Khalik.
Mukena putih yang dikenakannya ia tanggalkan. Mukena itu adalah mukena yang ia bawa dari Sumatera. Mukena itu pemberian dari ibunya saat Cut hendak berangkat ke Sulawesi. Ditatapnya lamat-lamat mukena itu sambil bertanya dalam hati. Apakah Ibu baik-baik saja di sana?
Cut segera turun, menemui bibinya. Ia meminjam ponsel bibinya untuk mencoba menelpon ibunya. Mungkin ponsel ibunya sedang low battery saat ia menghubunginya kemarin.
“Kamu belum makan siang, ‘kan, Cut?” Tanya bibinya saat Cut ingin kembali ke kamarnya.
“Nanti saja, Bi.” Ucap cut sembari berlalu.
Bibinya sudah tak terlalu memaksa Cut untuk makan. Cut sudah menepati janjinya untuk mengidealkan berat badannya. Dan tagih Cut agar bibinya tidak memaksanya lagi untuk makan banyak setelahnya.
Cut menekan tombol call saat ia menemukan nomor kontak ibunya.
“Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, mohon periksa kembali nomor tujuan anda…
Cut menatap heran ponsel bibinya itu. Apa maksudnya ini? Nomor kontak ibunya sudah tidak berlaku? Tak biasanya. Nomor itu dipakai ibunya sejak enam tahun yang lalu. Ibunya selalu memperhatikan kartu simnya itu.  Ia akan segera mengisi ulang kartu simnya dengan vocer pulsa jika sudah masuk ke periode baru. Ia tak akan membiarkan kartunya berada dalam masa tenggang.
Cut merasa bingung. Kakaknya tak punya ponsel. Setidaknya begitu sebelum Cut ke Sulawesi. Tapi adiknya punya. Cut kemudian membuka facebook bibinya, lalu mencari akun milik adiknya. Darwis Faruq. Ada beberapa nama yang serupa, namun hanya satu yang berlokasi di Kalimantan. Dan itu jelas adiknya. Ia kemudian membuka profil adiknya itu. Ia sedang online. Cut segera mengirim permintaan pertemanan kepadanya. Beberapa saat kemudian, akhirnya adiknya mengonfirmasi permintaan pertemanan itu.
Cut segera menghubunginya lewat video call. Adiknya di seberang sana, mengangkat panggilannya. Wajah tampan yang mirip sekali dengan ayahnya muncul di layar ponsel.
“Awis, apakah kamu punya nomornya ibu?” Tanya Cut langsung.
“Ada.” Jawab adiknya di seberang sana.
“Yang 7288 itu?”
“Iya.”
“Nomor itu sudah mati.” Ujar Cut, memberitahukan adiknya yang masih menyimpan normor mati itu.
“Oh, ya? Saya tidak tahu itu. Saya tidak pernah bicara dengan ibu bulan ini.”
Cut mendesah.” Itulah, Wis. Saya jadi khawatir sama ibu.” Adunya. “Biasanya, ibu selalu menelpon setiap satu minggu. Tapi kali ini kok tidak, ya?”
“Nanti saya hubungi Uda Rangga kalau begitu.”
“Uda sudah punya HP?” Tanya Cut, baru mengetahui hal itu.
“Sudah lama. Mungkin sejak tahun lalu.”  Ujar adiknya. “Uda tak pernah telpon kamu?”
Cut menggeleng. “Tidak pernah.” Jawabnya “Pernah sih, tapi lewat HPnya Ibu.”
Adiknya mengangguk. Diam sejenak, kemudian tersenyum. “Istri aku sudah hamil, Cut.” Ujarnya dengan suara lirih.
Cut mengernyit sambil tersenyum mendengar apa yang dikatakan adiknya. “Iya?”
“Iya.” Tegasnya. “Sudah tujuh bulan.”
Cut tertawa, merasa senang dengan kabar itu. “Istri kamu dimana?  Saya mau bicara.” Ucapnya dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
Darwis memanggil istrinya. “Dia lagi motong-motong sayur.” Katanya lagi pada Cut yang menunggu kedatangan istrinya yang bangkit dari baskom berisi terong. Beberapa saat kemudian, ponsel berpindah tangan. Terpampang wajah yang berhiaskan peluh di sana.
“Mbak Cut. Apa kabarnya? Kenapa lama baru nelfon?” Tanyanya, ramah dengan aksen khas orang Jawa.  Ia aslinya memang orang Jawa. Orang tuanya rantau ke Kalimantan dan menetap di sana. Dia akhirnya lahir di Kalimantan dan menjadi penduduk asli Kalimantan, namun berdarah asli Jawa.
“Ini baru ada kesempatan.”
“Mbak Cut memang kerja apa di sana sampai baru punya kesempatan untuk menelfon.”
Cut kembali tertawa. “Belajar.”
“Lah, lah, lah. Belajarnya sampai tengah malam, ya, Mbak?” kelakarnya.
“Kata Awis, kamu sudah mengandung?”
Adik iparnya itu tertawa, lantas mengangguk. “Mas Awis nda’ bisa jaga rahasia bener, nih.” Keluhnya pada suaminya.
“Baguslah kalau begitu. Supaya saya cepat dapat keponakan.” Gurau Cut.
“Mbak Cut juga sudah mau nikah, kan?”
Cut mengumbar senyum. “Selepas Ramadhan.”
“Wah, bagus, bagus. Mbak juga cepat-cepat punya anak, ya. Saya juga mau dapat keponakan.” Ujarnya, tak mau kalah.
“Keponakan kamu sudah banyak.” Ucap Cut. Adik iparnya itu punya empat kakak dan semuanya sudah berkeluarga dan punya anak masing-masing. Dan ia anak bungsu. “Tidak usah nambah.” Guraunya lagi.
“Setidaknya, harus ada satu dari jalur Mas Awis, kan, Mbak.”
“Tidak usah khawatir. Nanti saya kasih sepuluh.”
Mereka berdua tertawa, terhanyut dalam kegembiraan. Sampai-sampai ia lupa, bahwa ia baru saja menangis karena ingin berbicara dengan ibunya.
***
Mentari sudah pulang ke peraduannya. Azan Maghrib berkumandang. Sempurnalah tibanya malam Jum’at. Baso segera mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat Maghrib.
Selepas shalat Magrib, Baso bersiap-siap dengan kopernya di kamar. Bulu kuduknya meremang. Bukan karena dingin. Hawa di kamarnya malah cukup hangat untuk bertelanjang tanpa sehelai pakaian tanpa merasa kedinginan.
Ia menggenggam ponselnya erat-erat. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat 15 menit. Sebentar lagi Isya. Menunggu panggilan dari Wahid. Padahal ia sudah berjanji dengan untuk datang setelah shalat Isya. Ibu Khairah menemaniya di kamar. Ia tak henti-hentinya menasehati Baso untuk menjaga sikap di sana. Baso mendengarnya sambil memikirkan segala yang akan ia hadapi nanti. Memenuhi kepalanya yang membuatnya semakin merasa kedinginan.
Maria dan yang lainnya sedang tak ada di panti. Mereka dibawa oleh Pak Arman jalan-jalan ke warung-warung untuk makan. Dan itu karena kehendak Baso sendiri. Baso tak mampu membayangkan, bagaimana nantinya jika ia berangkat dengan adik-adik pantinya yang menatap sedih kepergiannya. Itu pun jika mereka rela. Bagaimana jika Maria sampai menangis, tak mengizinkannya pergi.
Ponselnya berdering. Baso menebak bahwa itu adalah telepon dari Wahid. Namun ternyata  tidak. Itu bukan telepon dari Wahid. Itu telepon dari Zulkifli.
“Kamu dimana sekarang, Baso?” Tanya Zulkifli dengan suara tegang.
“Di Sengkang.”
“Aku akan jemput kamu. Kamu dimana?”
“Aku di panti asuhan.” Jawab Baso tanpa ragu. “Memangnya ada apa?”
“Istrinya Pak Akis meninggal.”
Baso berdiri dari duduknya. “Innalillah, Ibu Sitti Aminah, kan?”
“Aku tidak tahu namanya. Yang jelas, istrinya Pak Akis.” Ucap Zulkifli. “Aku akan segera datang. Kamu tunggu aku di depan.”
Telepon terputus. Baso seakan tak tahu apa yang sedang dan akan terjadi. Zulkifli seakan seperti pembawa kabar buruk baginya. Sesudah Ibu Ratna, sekarang Ibu Sitti Aminah. Baso segera bergegas, berlari keluar. Ibu Khairah menyusul di belakangnya.
“Kamu mau kemana?” Tanya Ibu Khairah di ambang pintu. Baso sudah berdiri, menunggu kedatangan Zulkifli di gerbang panti.
Baso tak tahu harus mengatakan apa. “Saya mau ke rumah guru saya.”
Zulkifli tiba tak sampai setengah menit saat Baso tiba di depan gerbang. Baso segera naik ke motor, dan pamit kepada Ibu Khairah. “Saya pergi dulu, Bu.” Meyisakan Ibu Khairah yang khawatir.
Mereka melesat dengan kecepatan tinggi. Jalanan tak terlalu ramai malam ini, sehingga Zulkifli bisa dengan leluasa menguasai jalan.
“Kamu belum pulang kampung?” Tanya Baso di tengah perjalanan.
“Tak jadi.” Jawab Zulkifli. “Aku dikontrak oleh panitia sebuah mushalla di Bakke’e.”
“Jadi, kamu akan Ramadhan di Sengkang?”
“Begitulah.”
Mereka akhirnya sampai di kediaman Pak Akis dan  Ibu Sitti Aminah. Pekarangan rumahnya sudah dipadati dengan motor-motor dan mobil. Kerabat-kerabat guru dari Madrasah ‘Aliyah Nurul As’adiyah Callaccu dan Madrasah ‘Aliyah As’adiyah Putri menghadirinya. Beberapa santri yang masih belum beranjak pulang dari asrama juga sudah tiba di sini. Terdengar suara tangis dari dalam rumah itu, yang tak lain adalah suara tangis anak-anaknya Pak Akis. Saat Baso memasuki rumah, ia bisa melihat Pak Akis yang nampak begitu terpukul dan sedih. Ia hanya bisa menunduk sambil mengelus punggung ketiga anaknya yang menangis itu. Tak ada kuasa untuk mengembalikan nyawa sang istri tercinta. Ia sudah kembali ke pangkuan Allah dengan wajah yang berseri-seri. Gembira, karena sudah dibebaskan dari siksa dunia dan bertemu dengan Sang Khalik.
Dan ia menitipkan tiga orang manusia kepada suaminya tercinta. Dalam hening, ia berpesan kepada suaminya untuk tetap sabar, tegar dan tabah. Ia akan dengan setia menunggu di pintu surga. Tak akan ia berhenti bersujud dan berdo’a kepada Sang Khalik agar menaungi suaminya itu dengan rahmatnya, sehingga ia bisa memikul beban yang amat berat itu. Siapakah yang tak sedih saat ditinggal istri tercinta?
Baso tak mampu menahan air matanya saat melihat salah seorang kerabat membuka kain penutup mayat Ibu Sitti Aminah dan menciumnya dengan tangis yang menghambur. Ketiga anaknya itu juga tak kuasa untuk tak ikut memeluk tubuh kaku ibu mereka. Ibu yang sudah melahirkan, memelihara dan membesarkan mereka hingga sekarang. Namun Tuhan tak menghendaki Ibu Sitti Aminah lebih lama lagi bersama dengan anak-anaknya. Dan itulah yang terbaik. Tuhan menghendaki yang terbaik untuk hamba-hambanya yang baik.
Kumandang azan Isya sudah bergema. Orang-orang segera membuka jalan, mengangkat mayat Ibu Kristina dan memasukkannya kedalam keranda. Beberapa saat kemudian, mobil ambulance datang. Keranda yang didalamnya terbaring Ibu Sitti Aminah, dimasukkan kedalam mobil itu. Baso dan Zulifli segera naik ke motor, bergegas mengekori ambulance itu menuju Masjid Jami’ Nurul As’adiyah Callaccu. Di sanalah Ibu Sitti Aminah akan dishalatkan, lalu dikebumikan malam ini juga.
***
“Saya sudah hubungi berkali-kali, tapi tidak diangkat.” Ucap Wahid saat ia untuk yang kesekian kalinya menghubungi nomor kontak Baso, namun tak ada jawaban sama sekali dari seberang.
Pak Abdul Ghani menatap jam tangannya. “Sudah setengah sembilan, dia belum datang.” Gerutunya dengan kesal.
“Kita jemput saja dia di panti asuhan, Daeng. Siapa tahu dia tak punya kendaraan untuk datang kemari.” Saran Cut, dengan tampang pucat. Apalagi yang terjadi pada Baso, batinnya. Apakah ia terlalu tertekan sehingga memutuskan untuk tidak ikut?
“Baiklah, aku akan ke sana.” Ucap Wahid sambil berjalan menuju motor.
“Hati-hati, Daeng.” Cut merasa khawatir.  Jika sampai Baso tak jadi pergi, apa yang akan terjadi? Wahid dan keluarganya akan amat kecewa karenanya.
Dari belakang, sebelah tangan menyentuh bahu Cut, meremasnya dengan halus. Bibinya memeluknya dari samping, dan Cut balas menyandarkan kepalanya ke pundak bibinya. Hangat. Kehangatan yang hanya pernah ia rasakan dari ibunya. Dan sekarang, hadir di saat-saat terakhir sebelum kepergiannya untuk waktu yang tak tergolong sebentar.
“Bibi akan kirim kabar jika sudah ada telepon dari Awis.” Ucap bibinya, sambil mempererat pelukannya pada Cut.
Cut hanya mengangguk pelan. Cut merasakan hal serupa yang dirasakan bibinya. Sebagiamana Ibu Khairah yang tak rela dengan keberangkatan Baso. Langit bertabur bintang menyapa malam Jum’at ini. Keberangkatan rombongan Pak Abdul Ghani ke Malili dan kepulangan Ibu Sitti Aminah ke pangkuan Tuhan. Sayang seribu sayang, kabar kematian Ibu Sitti Aminah tak sampai padanya.
Yang Cut tahu selama ini hanyalah bahwa Ibu Sitti Aminah sedang sakit. Sakit apa, ia tak tahu itu. Tapi sosok itu sebelumnya adalah sosok yang dikagumi Cut. Bagaimana kepiawaian Ibu Sitti Aminah dalam berbicara, dan bagaimana ia menyampaikan seruan agama, yang ia temukan saat sekolahnya mengadakan training dakwah untuk seluruh santri di MALPI. Kabar terakhir yang ia dengar, bahwa Ibu Sitti Aminah sudah tidak masuk mengajar beberapa minggu sebelum ujian berlangsung.
“Baso ada, Pung?” Tanya Wahid pada Ibu Khairah yang masih berdiri di ambang pintu sejak tadi. Menunggu kedatangan Baso, malah yang datang adalah orang yang mencari Baso.
“Dia katanya pergi ke rumah gurunya, nak.” Jawab ibu Khairah.
“Tapi dia mau berangkat malam ini, kan, Pung?”
“Iya, nak. Kopernya sudah siap. Cuma tadi, ada temannya yang memanggil dia ke rumah gurunya. Katanya, gurunya meninggal.” Jelas Ibu Khairah.
“Aduh, dia kemana, ya?” keluh Wahid. “Saya telpon juga tidak diangkatnya, Pung.”
“Oh,” Ibu Khairah ingat ponselnya Wahid. “Tadi HPnya ketinggalan didalam saat dia mau pergi. Dari tadi saya dengar tapi tak berani saya angkat, nak.”
“Tidak apa-apa, Pung.” Ujar Wahid sambil menghubungi ayahnya.
“Bagaimana, Wahid?” Tanya Pak Abdul Ghani saat mengangkat telepon dari Wahid.
“Baso katanya pergi ke rumah gurunya.”
“Kapan kembalinya?”
“Saya juga tak tahu, Pa’. Ibu Khairah juga tidak tahu. Ia tak bawa ponselnya pergi.”
“Aduh, kita tak usah tunggu dia kalau begitu urusannya. Malam makin larut.” Ayahnya mulai menggerutu kesal.
“Tapi Baso sudah menyiapkan semua barang-barangnya, Pa’. Mungkin sebentar lagi dia akan kembali.” Wahid memberi sedikit pilihan pada ayahnya.
Ayahnya kembali menatap jam tangannya. “Kita tak bisa menunggu lama. Lima menit kemudian, jika dia tidak datang, kita tinggalkan saja. Bilang ke Ibu Khairah, Pak Abdul Ghani benar-benar minta maaf atas semua ini.”
“Iya, Pa’.”
Wahid memutuskan untuk menunggu lima menit berharga itu di dalam panti bersama Ibu Khairah. Tak ada percakapan berarti antara mereka berdua. Wahid sibuk menatap jam tangannya dan berharap agar Baso segera datang.  Namun sampai batas waktu yang ditentukan ayahnya habis, Baso belum datang juga. Ayahnya menelpon seketika itu juga.
“Kita berangkat, Wahid.” Cetus ayahnya. “Malam semakin larut. Sepuluh menit lagi jam sembilan.”
“Saya akan kembali, Pa’.” Ucap Wahid, sembari berdiri dari kursinya, memutuskan telpon.
Ibu Khairah tampak pucat. Tapi mau apa lagi, Baso benar-benar seperti hilang ditelan bumi. Tak ada informasi sama sekali darinya. Wahid harus kembali sekarang juga.
“Saya benar-benar minta maaf, Pung. Saya harus berangkat sekarang.” Ucap Wahid dengan nada suara yang terdengar terpaksa.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, nak. Malam memang sudah semakin larut. Bahaya kalau sampai mengantuk saat menyetir.” Ujar Ibu Khairah, merendah.
Wahid kemudian melesat kembali menuju rumahnya, menyisakan Ibu Khairah yang tetap menunggu di ambang pintu. Baso kemana disaat-saat penting seperti ini?

Not Child Anymore  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang