Bab 14 Lebih Dari Itu

4 2 0
                                    

"Serambi-serambi jantungku dialiri keharuan, ya Rabb. Tak ada yang lebih hangat selain tetap bersama dengan mereka."
-Baso Rahmat Hasyim-

Tanggal satu April, Ujian Nasional serempak dilaksanakan.
Guru-guru di MANAC ditugaskan mengawas berlangsungnya UN di MALPI dan begitupun sebaliknya. Pertukaran. Jalinan ini memang sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Bahkan, alumni MANAC periode-periode awal melaksanakan ujian kelulusannya di MALPI. Sehingga kalau ditanya, mereka lulusan darimana, maka tak perlu heran jika mereka menjawab sebagai alumni MALPI. Orang yang belum tahu-menahu soal itu akan mengatakan 'Ternyata Madrasah 'Aliyah Putri As'adiyah juga punya alumni laki-laki!'
Baso menjawab soal-soal dengan cepat. Ya. Pelajaran Bahasa Indonesia adalah yang paling ia gemari selain Bahasa Inggris dan Fikhi-Ushul Fikhi. Separuh nomor sudah selesai ia kerjakan, sementara waktu masih tersisa 70 menit dari 100 menit waktu yang disediakan. Di samping kirinya, Rendi hanya bisa menggaruk-garuk kepala. Sedang di sebelah kanannya, Afdal, dengan tampang soknya, ia menjawab soal-soal itu. Padahal ia hanya memilih jawaban dari isi hatinya saja. Jika pada akhirnya, Afdal mendapat nilai tinggi, maka 99/100nya itu hanyalah kebetulan saja.
Afdal punya prinsip. Awalnya, ia memang tak ingin masuk pondok pesantren. Ia berniat masuk sekolah penerbangan. Namun ia urung dengan alasan tak tahu bahasa Inggris. Entah mengapa ia sampai berpikir seperti itu. Dan saat ia terdampar di MANAC, ia akhhirnya lolos tes untuk mejadi santri di pondok pesantren ini. Dan seperti kata orang, niat mempengaruhi segala hal. Dan Afdal masuk hanya untuk lulus SMA sederajat. Jadinya, beginilah. Ia hanya bisa paham pelajaran seketika itu juga, dan akan lupa setelah guru mengakhiri pembelajaran.
Tapi dibalik itu, Afdal adalah sosok virtual yang andal. Masalah desain grafis, editing foto dan video, ia adalah ahlinya. Dalam hal itu, ia diakui oleh nyaris seluruh santri MANAC yang kenal dengannya. Termasuk Baso. Ia bisa mengedit dengan baik hanya dengan bermodalkan sebuah android.
Saat waktu tepat tersisa 50 menit, baso sudah menjawab semua soalnya. Ia mengakhiri ujiannya dengan menyetujui kesepakatan akhir. Jawaban yang sudah terkirim ke pusat tak bisa diganti lagi. Permanen dan mutlak. Tapi Baso tak khawatir dengan itu. Ia yakin dengan jawabannya. Semua yang naik tak jauh beda dengan soal-soal yang ia pelajari dari UN tiga tahun sebelumnya.
Melihat Baso yang sudah selesai, Afdal dengan lagaknya yang sok melucu itu segera menyelesaikan soalnya dengan cepat. Mau bagaimana lagi. Itulah prinsipnya. Jika memang tidak tahu, untuk apa berlama-lama mencari jawabannya. Ditambah lagi, soalnya perpaket. Tak ada soal yang sama. Kerjasama tak berlaku lagi.
Baso menggunakan waktu luangnya untuk memikirkan kejadian semalam. Tadi malam. Ia tak menyangka itu. Cut datang ke panti bersama dengan Wahid dengan ketiga adiknya. Mereka memberi santunan berupa sedekah baju-baju untuk mereka. Baju-baju bekas masa kecil milik ketiga adiknya yang masih baru karena jarang dipakai. Kebiasaan mereka memang begitu. Terkadang, mereka membeli beberapa baju dari toko. Lalu, sebelum semua baju yang dibelinya habis dipakai, mereka membeli baju baru lagi. Akhirnya baju-baju mereka bertumpuk dan jarang dapat giliran dipakai.
Namun Wahid berbeda dengan ketiga adiknya itu. Ia tak melek dalam hal busana. Apa adanya saja. Terkadang, malah orang tuanya yang memintanya untuk membeli baju baru, jika dilihatnya Wahid memakai baju yang itu-itu saja. Karena itu, Roni dan Ryan tak kebagian baju. Hanya Tian, Dawai dan Maria yang dapat dari ketiga adiknya Wahid itu.
Ada beberapa yang pas di badan mereka, namun ada pula yang masih kebesaran. Tapi mereka bertiga, Tian, Dawai dan Maria tetap memperebutkannya. Iya. Maria berebutan baju. Ia sudah sembuh dari lukanya. Menyisakan bekas jahitan yang melingkar di area dada dan lehernya. Suaranya juga sudah makin membaik, walau tak akan ada harapan sembuh total seperti dulu.
Wahid terlihat sangat menyayangkan hal itu bisa terjadi pada Maria. Gadis kecil itu sudah harus menderita luka di usianya yang masih dini ini. Itu akan menjadi semacam prasasti baginya, sebagai bukti nyata atas kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya.
Ketiga adik Wahid juga tampaknya senang dengan anak-anak itu. Terutama Naini. Ia tak henti-hentinya memanas-manasi Ryan. Katanya, ia gemas melihat kepala Ryan yang botak mengkilap, tanpa ditumbuhi rambut sehelaipun. Ibu Khairah pernah mencoba memberi obat perawatan untuk kepalanya semasa Ryan masih kecil. Namun, rambutnya memang tak kunjung tumbuh. Tapi anehnya, alisnya justru tumbuh lebat. Saat dibawa ke dokter, Ibu Khairah tak mendapat jawaban pasti. Dokter hanya menyimpulkan dugaan bahwa di bagian atas kepala Ryan tak memiliki hormon pertumbuhan untuk rambutnya.
Kedatangan Wahid dan Cut di panti itu membuat hubungan antara Wahid dan Baso yang semula dingin, menjadi lebih akrab. Mereka menjadi tampak seperti teman baik. Apalagi, jika berbicara soal topik pembahasan, mereka selalu cocok dengan alurnya. Walaupun keduanya berasal dari latar belakang dan riwayat hidup yang berbeda.
"Orang-orang di rumah tahu kedatangan kalian kemari?" Tanya Ibu Khairah kepada mereka sementara pembicaraan berlangsung.
"Iye', Pung. Alenami ha suroakka tiwi'i iyae waju-wajue. Malah, mereka yang meminta saya untuk membawa baju-baju ini." Jawab Wahid.
Berbeda dengan adik-adiknya, Wahid adalah yang paling tidak gengsi menggunakan bahasa Bugis. Ia baru akan berbahasa Indonesia apabila orang yang diajaknya berbicara tidak mengerti dengan bahasa Bugis. Sementara ketiga adiknya itu, amatlah gengsi berbahasa Bugis. Kampungan, menurut mereka.
Justru karena itu, Wahid merasa merekalah yang kampungan. Sepanjang yang ia dapati, ia tak pernah menemukan orang Jawa dengan orang Jawa gengsi berbahasa Jawa jika mereka saling cakap-cakap. Bahkan, mereka bangga dengan bahasa daerah mereka itu. Berbeda dengan orang Bugis, yang mereka akui sendiri sebagai suku yang menjunjung tinggi rasa malu. Tapi karena mereka terlalu takut pada yang namanya malu, jadinya mereka gengsi berbahasa Bugis. Padahal, bahasa Indonesia mereka, minta ampun ambur adulnya.
Sedikit tentang hal ini. Padahal sastra Bugis itu digemari oleh orang Eropa, khususnya Belanda. Bagi mereka, sastra Bugis termasuk salah satu dari beberapa warisan sastra dunia yang paling berharga, disamping sastra Yunani dan India. Naskah sajak I La Galigo yang diambil oleh pemerintah kolonial Belanda semasa perang dunia dua, menjadi salah satu karya sastra monumental dari suku Bugis yang mendunia. Naskah epos I La Galigo juga termasuk salah satu naskah terpanjang yang pernah ada. Lariknya melebihi panjang epos Ramayana dan Mahabharata dari India serta sajak-sajak Homerus dari Yunani. Dibanding dengan naskah Mahabharata, naskah epos I La Galigo jauh lebih panjang. Lariknya ada 300.000, sementara Mahabharata hanya berkisar 200.000 larik saja.
Banyak pelajar internasional yang rela terbang ke Indonesia, khususnya ke Makassar demi hanya untuk mempelajari kesusastraan dan dunia literasi Bugis. Namun sangat disayangkan, banyak orang Bugis yang kalah fasih dalam berbahasa Bugis oleh orang-orang Eropa. Apalah susahnya berbahasa Bugis bagi orang-orang Bugis?
"Kapan-kapan, datang ke rumah, ya." Ucap Cut sesaat sebelum ia masuk kedalam mobil. Baso mengangguk, mengiyakan ajakan itu.
"Aku mau bawa anak ini!" Naini mencubit pipi Ryan hingga Ryan kesakitan. Matanya berkaca-kaca, hendak menangis. Anak-anak yang melihat itu menertawai Ryan. Baso segera menenangkan perasaan Ryan.
"Tidak apa-apa. Kak Naini gemas liat Ryan. Jadinya, dia ngga' sengaja cubit pipinya Ryan. Lagipun, Ryan laki-laki, 'kan? Laki-laki kok nangis?"
Mendengar sugesti dari Baso, Ryan segera menghapus air mata yang tak sempat lolos dari pelupuk matanya. "Jangan kemari lagi!" bentak Ryan pada Naini. Melihat Ryan membentak, Naini malah makin memanas-manasinya. Mungkin saat ia sudah kehabisan sabar, Ryan mengepalkan tinjunya dan hendak memukul Naini. Namun untungnya, Baso tak membiarkan ia lepas.
"Naini! Sudah cukup main-mainnya." Wahid memanggil dari mobil. Litsah dan Rabi'ah sudah masuk, menyisakan ia berdua dengan Cut yang masih di luar.
"Aku pergi dulu, ya." Ucap Cut, kemudian masuk kedalam mobil. Disusul oleh Naini.
Waktu habis.
Pengawas meminta seluruh santri beranjak dari tempat mereka masing-masing dan keluar dengan tertib. Setelah ujian selesai, ruangan segera disterilkan oleh petugas laboratorium. Pintu-pintu digembok, untuk menjaga agar tak ada peralatan ujian yang hilang.
Jam menunjukkan pukul sembilan. Masih terlalu pagi untuk pulang ke panti. Tapi, tinggal di sekolah adalah ide yang buruk. Santri-santri yang ada pada pulang ke rumah masing-masing setelah ujian. Dan ia putuskan untuk pulang juga. Namun sebelumnya, ia naik ke lantai tiga, masuk ke perpustakaan, meminjam sebuah novel.
Bisa dikatakan, MANAC mungkin satu dari segelintir sekolah yang memberlakukan yang namanya perpustakaan kejujuran. Dimana siswa-siswa bebas meminjam buku, dan mencatat namanya di daftar peminjam tanpa ada petugas yang mengawasi. Walau sebenarnya perpustakaan itu punya struktur kepengurusan juga, tapi, demi menjaga keamanan buku-buku, perpustakaan kejujuran bukanlah ungkapan yang tepat untuknya. Hanya saja, dengan memberikan kebijakan semacam itu, diharapnya santri-santri bisa melatih diri untuk lebih beranggung jawab.
Berani mencuri buku di perpusatakaan ini? Percaya saja, itu tak mungkin. Perpustakaan dikawal CCTV. Jika ada buku yang hilang, maka petugas akan memeriksa rekaman CCTV itu.
Setelah meminjam novel, Baso segera kembali ke panti.
Baso disambut dengan Maria, Tian dan Dawai yang sedang sibuk mencoba sekian baju yang dibawa oleh Cut semalam. Dari sekian baju yang ada, Maria hanya dapat tak sampai seperenamnya. Bagaimana lagi. Maria yang paling kecil diantara yang lainnya. Dan baju-baju itu nyaris tak ada yang seukuran dengannya. Jadinya, ia hanya bisa menatap kesal Tian dan Dawai yang berebutan pakaian.
"Kenapa tidak ambil baju?" Baso mendekati Maria yang menyerah memilah baju-baju itu.
"Tidak ada yang cocok. Semuanya besar."
"Tapi yang Maria pakai itu, bajunya siapa?"
Mari melihat bajunya. "Hanya ini sama ada tiga lagi di kamar. Maria Cuma dapat empat. Sementara Tian sama Dawai dapat banyak." Keluhnya.
"Kalau begitu, Maria tidak boleh malas makan, supaya Maria cepat besar. Kalau Maria makannya sedikit, kapan besarnya?" Baso kembali memberi sugesti kepada adiknya yang paling malas makan itu. Kecuali untuk menu-menu tertentu, semacam ayam atau burger, tak perlu dimintapun, ia akan melahapnya.
***
Musdalifah heran setengah mati. Berkali-kali, ia mengucek matanya, memastikan apa yang ia lihat dengan mata kepalanya bukanlah sekadar fatamorgana ataupun halusinasinya. Sampai matanya perih ia kucek, ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Cut dan Zuhra makan bersama di kantin?
Ia menyembunyikan keterkejutannya. Dengan masih berusaha menahan nafasnya yang terengah setelah menuruni tangga dan berlari menuju kantin. Ia melangkah perlahan ke tempat Cut dan Zuhra yang sedang bersenda gurau ditemani jajanan mereka.
"Hai, Cut. Hai Zuhra." Sapa Musdalifah, sok tenang. Padahal Cut menyadari keterkejutannya itu.
"Hai, Ifah. Mari." Zuhra memberi tempat duduk untuk Musdalifah yang baru datang. "Kamu darimana saja? Kami rencananya sudah mau balik ke kelas."
"Eh? Tidak." Musdalifah berkilah. "Aku tidak mau turun sebenarnya. Tapi melihat kalian berdua di sini, rasanya kurang enak jika aku tidak bergabung dengan kalian."
"Kamu cemburu? Tenang saja, aku ga' bakalan ambil Cut dari kamu, kok." Kelakar Zuhra, membuat Musdalifah membelalak.
"Kamu kira aku ga' normal?!" Musdallifah memukul meja, sampai semua orang mengalihkan pandangan kepada mereka.
Cut segera menenangkan sahabatnya itu, takut, sesuatu yang buruk akan terjadi. Musdallifah sendiri juga jadi salah tingkah akibat gabrakannya tadi. Dengan bersungut-sungut sambil menyembunyikan wajahnya, ia mengocehi Zuhra yang terus tertawa. Bebrapa saat kemudian, akhirnya suasanya kembali normal.
"Kalian berdua, kenapa tiba-tiba dekat seperti ini?" Tanya Musdalifah, tak bisa menyembunyikan penasarannya.
Sudah kurang lebih 15 hari setelah Zuhra meminta maaf kepada Cut. Namun ia baru memperlihatkan kedekatannya di dua hari sebelumnya. Dan Musdalifah tak pernah mendapati mereka berdua di dua hari itu.
"Memangnya ada yang salah jika kami berdua dekat?" Zuhra tak segera menjawab.
"Iya, 'kan semua santri di sini tahu kalau kalian berdua itu baku musuh."
"It's miracle, Ifah." Ucap Zuhra. "Semuanya tiba-tiba saja terjadi. Something haven't to need reason to happen. Tuhan mengaturnya sedemikian rupa."
"Ya setidaknya, pasti ada sebabnya lah." Musdalifah tak ingin bermasa bodoh.
Zuhra dan Cut beradu pandang sejenak, berdiskusi dalam bisu. Dan akhirnya Zuhra mengangguk, mempersilahkan Cut untuk menjelaskannya.
Beberapa saat kemudian, mereka bubar dari kantin. Santri-santri yang lain sudah pada pulang setelah menikmati istirahat sebentar setelah ujian. Musdalifah dan Cut beriringan menuju lahan parkir. Ia masih memikirkan apa yang Cut katakan tadi soal bagaimana Zuhra bisa seketika dekat dengannya.
"Jadi, dia langsung minta maaf sama kamu, gitu?" Tanya Musdalifah.
"Iya, langsung minta maaf, kayak kamu yang langsung bertanya tanpa ada sebab." Ujar Cut, mengungkapkan sebalnya pada Musdalifah yang tak henti-hentinya bertanya.
"Ya saya bertanya karena penasaran, 'kan." Protesnya.
"Mungkin Zuhra juga penasaran ingin berteman dengan saya, jadinya dia langsung minta maaf begitu saja." Pungkasnya, membuat Musdalifah balik merasa kesal padanya.
Musdalifah kemudian memutuskan untuk meninggalkan Cut. Ia berbelok ke koperasi dan mengambil kopian buku dakwah yang ia pesan tadi pagi. Sementara itu, Cut keluar dari gerbang kampus yang berjuluk Kampus Hijau itu. Melaju, membelah jalan kembali ke rumahnya. Ya. Rumah yang sudah dianggapnya sebagai rumahnya sendiri.
Cut memarkirkan motor pemberian Wahid itu di pekarangan rumah. Lengang. Rumah itu hanya dihuni mereka bertiga. Bagaimana mau ramai. Tapi berada didalamnya, membuat Cut merasa hangat dan tak kesepian. Kasih sayang bibinya sudah lebih dari apa yang seharusnya.
Engsel pintu berderit saat Cut menarik gagang pintu. Bau rumah itu adalah campuran antara aroma rempah dapur dan pembersih lantai. Bibinya paling tidak suka dengan lantai yang kotor dan bau. Setiap hari, ia tak pernah lepas dengan gagang pel. Kasarnya, ia lebih sayang dengan lantai daripada siapa pun. Itu dari garis besarnya. Prinsip itu tak berlaku untuk pengecualian. Mana mungkin ada orang yang lebih memilih anaknya tertabrak mobil dibanding harus membiarkan lantainya kotor?
Suara desis minyak terdengar dari dalam dapur. Sudah bisa ditebak bahwa bibinya sedang menyiapkan makan siang. Cut tak segera ke sana. Ia memutuskan untuk mengganti pakaiannya lebih dulu, menyegarkan wajahnya dengan basuhan air dan mengenakan hijab pasang yang simple. Dalam balutan hijab yang sederhana itu, Cut masih tampak cantik. Mungkin ia memang sudah menyatu dengan atribut wajib itu, sehingga walau bagaimanapun sederhananya, Cut tetap kelihatan cantik dalam balutannya.
"Kamu sudah datang, Cut? Kok pulangnya cepat?" Tanya bibinya saat Cut masuk ke dapur.
"'Kan saya ujian, Bi. Masuk jam tujuh, dan berakhir di jam setengah sembilan. Malah saya pulangnya kesiangan." Ujar Cut, memberikan penjelasan. "Bibi masak apa?"
Cut mendekati wajan yang dipanggang luap api sedang. Di dalamnya tampak potongan daging yang dipotong kotak-kotak. Ia mendesah melihat apa yang dimasak oleh bibinya. Ia tidak suka makan daging. Bukan karena rasanya, namun karena teksturnya. Cut sangat tidak suka dengan daging yang terselip di sela-sela giginya. Dan mustahil memakan daging tanpa ada serat daging yang tersangkut di sela-sela gigi.
"Kamu tenang saja. Daging ini sudah bibi kukus lama dan direbus sebelum bibi tumis seperti ini. Dagingnya dijamin lembek." Ucap bibinya, seakan mengetahui apa yang sedang Cut pikirkan.
"Bibi kok bela-belain beli daginng. Ikan di kulkas nanti busuk, lo, Bi." Komentarnya.
"Bibi sudah masak ikannya. Tinggal ini yang belum kelar." Bibinya tak peduli. Dan Cut pun tidak ingin memperpanjang percakapan itu, menyadari tak akan ada untungnya jika harus memberi masukan padanya.
Cut mengambil piring dan gelas-gelas. Jam baru menunjukkan pukul sepuluh. Masih ada tiga jam sebelum jam makan siang tiba.
"Kamu makan duluan saja, Cut. Nanti bibi yang tunggu pamanmu." Titah bibinya.
Cut tak bisa menolak dan tak akan bisa menolak. Ia segera duduk di kursi meja makan dan mengangkat penutup yang terbuat dari rotan. Terpampanglah segala macam olahan ikan yang dibuat oleh bibinya. Mulai dari ikan goreng sampai ikan bakar. Bibinya mengangkat daging dari wajan dan meletakkannya diatas meja. Dan lengkaplah menu makan siang hari ini.
"Bibi masaknya banyak sekali." Cut kembali bersuara, melontarkan sindiran kepada bibinya yang merasa puas dengan hidangan yang ia buat.
"Jatah nasi kamu cuma sepiring. Tidak boleh nambah nasi. Kalau kamu masih mau makan, kamu makan ikannya saja." Ucap bibinya, tak mempedulikan sindiran itu.
"Cut juga tak bisa makan terlalu banyak, Bi."
"Tidak apa-apa. Kalau kamu makannya sedikit, kamu harus sering-sering makan. Setiap sudah shalat kalau perlu."
Cut untuk yang kesekian kalinya mendesah. Makanan yang terhidang di hadapannya adalah pembunuh ampuh penderita kolesterol. Ia jadi khawatir, berat badannya malah akan berlebihan jika terus begini. Dan yang paling ia takutkan adalah saat ia kembali mengingat fatwa Anre Gurutta Syuaib Nawang di pengajian khalaqah beberapa bulan yang lalu.
"Makkedai Nabitta Muhammad Saw. Binasai umma' engkae riolomu nasaba tellu sipa'na. Nabi bersabda, sesungguhnya umat terdahulu binasa karena mereka punya tiga sifat. Maega adanna, maega anrena, nennia maega tinrona. Banyak omong, banyak makan dan banyak tidur." Ujar Anre Gurutta saat membacakan bait hadits yang sedang dalam pembahasan.
Banyak makan, tentu akan berdampak pada tidur. Orang yang banyak makan akan mudah tertidur. Dan orang yang kenyang itu cenderung lebih agresif dalam berbicara dibanding saat dimana ia lapar. Inilah yang Cut takutkan, walau ia sendiri tahu bahwa ia bisa menangani itu, tapi yang namanya manusia, cenderung memiliki sifat relatif. Dan relatif inilah yang ia takutkan. Mungkin untuk satu dua hari kedepan, ia bisa menanganinya. Namun siapa yang bisa jamin setelahnya?
"Naiyakiya, Anre Gurutta Imam Syafi'i, narekko runtui anre hallala', de nacarinnai manrei. Mabballing ga pole riadanna nabitta onnangnge? Pappebalinna, de. Nasaba' anre hallala'e, seddi ritu pabbura. Tapi, menurut suatu riwayat, jika Imam Syafi'i mendapat makanan yang halal untuk ia makan, maka ia akan memakannya sampai ia merasa benar-benar kenyang. Apakah ini bertentangan dengan yang ada dalam hadits Nabi sebelumnya? Jawabannya, tidak. Karena Imam Syafi'i mengambil dasar, bahwa makanan yang halal itu adalah sebuah obat."
Cut ingin mengikuti jalan itu, namun ia tak berani. Dirinya bukan seorang ulama. Ia tidak seperti Imam Syafi'i yang menjaga wudhu shalat Isyanya hingga shalat Shubuh. Jangankan menjaga wudhu shalat Isya untuk shalat Shubuhnya, menjaga wudhu shalat magrib ke Isyanya saja ia susah. Tapi demi melihat bibinya tersenyum, ia bertekad untuk menaikkan berat badannya, dan akan mengontrolnya jika sudah sampai di titik ideal.
***
Makan siang di panti asuhan.
Anak-anak makan dengan lahap. Hari ini, Ibu Sira memasak menu yang berbeda. Kerang sungai. Kerang itu ditumisnya bersama dengan cacahan kangkung. Dan anak-anak kelihatanya suka dengan olahan itu.
Bahkan Maria yang paling malas makan, menyuap makanan dengan begitu lahap ke mulutnya. Mungkin selain makanan yang mendukung, juga karena tersugesti oleh pesan Baso agar ia makan yang banyak supaya cepat besar.
Baso lebih banyak memperhatikan mereka semua makan dibanding menyuap dirinya sendiri. Termenung. Ia sendiri tak tahu apa yang sedang menguasai alam renungnya. Ia segera menyadarkan diri dan menyuap makanan. Soal ujian? Bukan sama sekali. Hanya hal sepele. Ia memikirkan bagaimana kelanjutan kisah Billy dalam novel yang ia pinjam tadi. Bagaimana sengsaranya seorang penderita Multiple Identity Disorder. Tak tahu siapa dirinya sebenarnya dan tak tahu apa yang telah ia lakukan sebenarnya. Singkatnya, Baso merenungi Billy yang masih menaruh harapan untuk sembuh dari penyakitnya itu.
"Menurut Tian, Maria itu orangnya bagaimana?" Tanya Baso ditengah makannya.
Mendengar pertanyaan itu, Tian segera bersiap menyemburkan segala macam ungkapan hiperbolisnya. "Maria orangnya menyenangkan. Tapi manja kalau lagi sama Kak Baso dan Ibu Khairah."
"Kalau menurut Maria, Tian itu bagaimana?"
"Dia suka cari-cari perhatian. Dan pandai berpura-pura kalau dia menginginkan sesuatu." Sembur Maria, tak mau kalah.
Baso menunjuk tenggorokannya sendiri, memberi Isyarat agar Maria mengendalikan suaranya. Melihat itu, Maria segera menarik nafas panjang dengan pelan dan menelan ludahnya. Ia terkadang lupa dengan tenggorokannya itu.
"Nah, kalau begitu, bayangkan, jika Maria dan Tian itu berada dalam satu tubuh."
Mereka semua memikirkan apa maksud dari pertanyaan Baso. Beberapa saat, sampai kemudian Ryan memecah suasana. "Aha! Maksudnya kembar siam, kan, Kak?"
"Wah?!" anak-anak yang lain berseru kaget.
"Bukan." Baso menepuk dahinya, mendengar buah pikir Ryan.
"Oh! Saya tahu!" Ryan kembali berseru. "Tapi itu, kan mustahil, Kak. Maksudnya bersetubuh, 'Kan?"
Roni yang ada di dekatnya segera membekap mulut Ryan dengan erat, sampai Ryan meronta kesakitan. Baso hanya bisa tertawa konyol mendengar itu semua. Wajarlah. Pemikiran mereka belum sampai disitu, pikir Baso. Mereka belum tahu sebuah fenomena yang mengerikan, dimana beberapa orang menghuni satu tubuh, dan bergantian menguasai tubuh itu.
Sehabis makan siang, Baso kembali memberikan permainan kepada adik-adik pantinya. Kali ini, ia memberikan permainan adu cepat lagi. Tapi dengan tantangan yang berbeda. Kalau dulu adu cepat menyelesaikan soal operasi hitung, sekarang, adu cepat menentukan huruf tengah sebuah kalimat. Yang paling cepat menemukan huruf tengah kalimat itu, dia yang dapat poin.
"Boleh pakai kertas, boleh tidak pakai apa-apa. Karena yang kakak nilai kecepatannya, ya." Baso memberikan instruksi kepada mereka. Mereka mengangguk semangat, meminta Baso memulainya.
"Oke. Soal pertama." Baso memulai. Jeda sedikit, agar mereka bisa memasang pendengaran baik-baik. "Aku mau tidur."
Tian, Maria, dan Ryan segera menulis kalimat itu, lalu menghitung hurufnya, mencari huruf paling tengah. Sementara Roni dan Dawai mengandalkan ingatan mereka. Jemari-jemari mereka ditekuk luruskan, mencari huruf itu.
"Huruf U!" seru Roni, mendahului Dawai yang sudah hampir menemukannya.
"Satu poin untuk Roni."
Kalau masalah hal adu cepat seperti ini, Roni dan Dawai memang yang paling bisa. Dan yang paling lambat, siapa lagi kalau bukan Maria.
Roni mengepalkan tinjunya dan meninju udara. Ia senang mencetak poin pertamanya. Dawai dengan kesal menghentak-hentakkan kakinya di lantai karena keduluan oleh Roni.
"Selanjutnya, Kak." Ujar Dawai, tak sabar ingin mencetak poin.
"Sekarang, soal kedua." Baso melanjutkan. "Ular lari lurus!"
Mereka yang mengandalkan kertas pensil segera menulis kalimat itu. Diantara mereka bertiga, yang paling pertama selesai menulis kalimat itu adalah Tian. Namun tepat saat Tian hendak menghitung huruf kalimat itu, Dawai sudah lebih dulu menjawab.
"R!!!" teriak Dawai dengan gelombang adrenalinnya yang memuncak.
Baso tertawa melihat Roni yang mendesah karena keduluan. "Poin pertama untuk Dawai."
Permainan itu terus berlangsung hingga pukul tiga tepat. Sebentar lagi Ashar tiba. Poin yang sudah didapat oleh mereka adalah, sepuluh untuk Roni, sebelas untuk Dawai, lima untuk Tian, dua untuk Ryan, dan nol untuk Maria. Sekalipun, Maria tak pernah mencetak nilai. Ia selalu keduluan. Sebenarnya, tadi, ia pernah sekali menjawab lebih cepat. Namun, ia menjawab bersamaan dengan Dawai. Jadinya, soal itu batal.
"Jadi, pemenang untuk permainan ini adalah, Dawai!" Baso memutuskan. "Bagi yang kalah, jangan putus asa. Lebih-lebih yang runner up, ya, Roni." Roni hanya bisa tertunduk sambil tersenyum lesu, melihat poinnya dengan poin Dawai hanya selisih satu saja.
"Hadiahnya apa, Kak?" Tanya Dawai dengan berbunga-bunga.
"Hu..! Mata hadiah." Ledek Maria.
"Kamu kenapa, Maria? Sirik!"
"Hus! Sudah!" Baso melerai, namun mereka tak ada yang mau mengalah.
"Sirik apanya?? Kamu itu yang sirik!" Sembur Maria, tak peduli dengan Baso yang melerai.
"Apa? Kamu mau dikasih pelajaran?!"
"Dawai! Maria!" bentak Baso dengan wajah merah padam. "Setiap main, pasti ada yang bertengkar. Lebih baik kakak belajar kalau kalian begini terus. Kakak punya ujian besok. Buat apa kakak buang-buang waktu kalau kalian sukanya bertengkar seperti ini." Putusnya sambil berlalu dari mereka berlima.
Baso sebenarnya tak ingin memarahi mereka. Tepatnya, mana mungkin Baso tega memarahi mereka. Hanya saja, karena takut mereka jadi lebih gampang bertengkar, Baso terpaksa melakukannya.
Baso masuk ke kamarnya, lalu menguncinya dari dalam. Harapnya, semoga dengan ia begini, mereka bisa lebih mampu menerima keputusan yang ada.
Suara adzan sayup-sayup mulai terdengar. Ashar. Waktu ini adalah yang paling sulit bagi Baso. Entah mengapa, setiap seruan Tuhan itu menggema di langit Lamaddukelleng, matanya seakan diusap-usap kantuk. Benar-benar kantuk yang luar biasa. Apabila gema azan Ashar sudah terdengar, maka ia akan segera menggiring adik-adik pantinya menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan berniat tidur setelahnya. Namun setiap ia sudah selesai mendirikan shalat Ashar, ia tak lagi merasakan kantuk. Mungkinkah ini cara iblis menyesatkan manusia, batin Baso setiap menyadari hal itu.
Adzan sudah berakhir, digantikan dengan lantunan murattal-murattal dari setiap masjid.
Tok... tok... tok...
Pintu kamarnya diketuk seseorang.
"Siapa?" Tanya Baso tetap duduk di tepi tempat tidurnya.
"Shalat Ashar, Kak." Suara alto itu menggetarkan gendang telinganya.
"Dawai?"
"Iya, Kak." Jawabnya dengan lirih.
Baso menghela nafasnya. Ini sudah cukup. Ia bangkit tempat tidurnya dan melenggang menuju pintu. Dibukanya pintu dan tampaklah Dawai yang berdiri di depannya dengan wajah merasa bersalah.
"Sudah ambil wudhu?" Tanya Baso pada Dawai, walau ia sudah tahu itu lewat wajah Dawai yang basah oleh air.
Dawai mengangguk sambil tertunduk.
"Yang lainnya?"
"Sudah, Kak."
Baso berlalu ke kamar mandi setelah itu. Meninggalkan Dawai yang masih dengan wajah menyesalnya. Baso mengambil air wudhu dengan segera, lalu ke ruang shalat yang letaknya berseberangan dengan ruang tamu. Di sana, mereka semua sudah duduk rapi menunggu Baso. Tanpa memperlihatkan sedikitpun rasa kasihan kepada mereka, Baso maju ke barisan terdepan, memimpin shalat.
Dalam shalatnya, Baso merasa terlalu kejam memarahi mereka. Ia sampai tak khusyuk dalam shalatnya. Selepas shalat, Baso memimpin do'a. Yang lainnya mengaminkan dalam hati. Ditutupnya do'a itu dengan mengharapkan berkah surah Al-Fatihah. Barulah Baso hendak berbalik, untuk bersalaman dengan Ryan dan Roni, Dawai sudah lebih dulu menghinggapinya, mengalungkan lengannya dengan erat di leher Baso sambil menangis. Maria dan yang lainnya menyusul, mengerumuni Baso yang terperanjat heran.
"Maafin Dawai, Kak. Dawai tidak akan mengulanginya lagi." Ungkap Dawai sambil terisak.
"Maria juga minta maaf, Kak." Tambah Maria. "Maria tak akan begitu lagi. Maria tidak akan nakal-nakal lagi."
Baso hanya bisa diam sambil membalas rengkuhan adik-adiknya.
***
Malam.
Langit malam diselimuti awan mendung. Bintang-bintang tak lagi nampak. Cahaya bulan hanya sebatas bayangan saja. Suram. Sesuram hati Cut saat ini.
Sebuah notifikasi masuk ke facebooknya. Cut dengan malas-malasan melihat notifikasi itu. Dan alangkah kagetnya ia saat melihat notifikasi itu. Ali menandainya di sebuah postingannya yang ia tulis di linimasanya. Dengan tangan yang bergetar, ia membuka apa yang ada di postingan Ali itu. Dan tampaklah foto Ali yang bersama dengan gadis lain dengan gaun pengantin khas Aceh. Tak ayal, Cut menangis seketika itu juga. Dadanya seakan terbakar. Setega itukah Ali?
Di foto yang di postingnya itu, Ali menulis permintaan maafnya untuk Cut. Dalam kekecewaannya itu, Cut tanpa sadar melempar ponselnya hingga layarnya pecah dan berhamburan. Cut histeris di kamarnya. Namun, hal itu tak disadari oleh paman maupun bibinya. Tak ada yang mendengar kegaduhan itu.
Saat itu juga, Cut memutuskan untuk mengambil secarik kertas dan sebatang pulpen. Diatas kertas itu, Cut menguntai kata, merangkaikan segala curahan hatinya dan mencantumkan satu harapan besarnya kepada Baso.

Not Child Anymore  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang