“Saya ingin tahu, apakah ingkar janji pada diri sendiri itu boleh? Karena atas ingkar saya itu, saya
membuat orang lain menunggu sesuatu yang tidak jelas. Tapi karena itu juga, saya bisa membuat
ibu saya tersenyum sambil berlinang air mata.”
-Cut Tian Humairah-Cut kini sudah siap dengan gaun kelabunya yang disetel dengan hijab berwarna putih bersih.
Wajahnya juga sudah dipoles sedemikian cantiknya oleh sang bibi. Pamannya yang sedari tadi
menunggu terlihat puas dengan usaha istrinya mendandani sang keponakan. Dalam hati, Cut
menyatakan beribu maaf atas apa yang akan terjadi dalam kesepakatan nanti.
“Baiklah, Cut.” Bibinya keluar dari kamar sambil menenteng tas kecilnya yang penuh benda-
benda berharga. “Dengar. Ini penting untuk kamu ketahui. Kamu harus duduk dengan punggung
lurus, ya. Punggungmu jangan sampai menyentuh sandaran kursi. Juga tungkaimu harus membentuk
sudut 90 derajat. Jangan selonjorkan kakimu ataupun merapatkannya dengan kaki sofa. Kamu harus
bicara yang sopan. Kalau kamu bisa, pakai bahasa Bugis saja, ya.” Bibinya merapikan sudut hijab
Cut yang agak terlipat. “Dan yang terakhir, kamu harus terima lamaran anaknya Paman Abdul
Ghani, ya.”
Cut hanya bisa tersenyum. Ia tak berani mengangguk. Namun senyum yang diumbarnya
membuat bibinya yakin, bahwa Cut akan menerima tawaran pertunangan itu.
Di dalam mobil, bibinya tak henti-hentinya mengingatkan segala kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi nanti. Cut mendengarnya dengan saksama, walau ia tahu bahwa ia akan tetap
menolak pertunangan itu.
“Ini kesempatan emas bagi kamu, nak.” Ucap bibinya. “Coba lihat adik kamu sekarang. Dia
sudah rantau ke Kalimantan dan buka usaha minyak kelapa sawit di sana. Katanya, ia sudah rencana
buka cabang di Maluku. Anaknya Paman Abdul Ghani itu direktur bengkel raksasa Suzuki di
Sengkang. Kamu bisa jadi sekertaris dan bekerja dari rumah saja tanpa ke kantor. Orang macam dia
susah didapat, nak.”
“Kerjanya sekertaris bengkel itu memangnya apa, Bi?” Tanya Cut, asal merespon.
“Ya makanya, kalau kamu sudah tunangan sama dia, pasti kamu bakal tahu semua seluk
beluknya. Bisa jadi, kalau dia buat cabang baru, kamu pasti yang jadi direktur di kantor utama.” Jelas bibinya, meyakinkan Cut. “Ibu kamu juga sangat setuju kalau kamu segera berkeluarga nantinya jika
kamu sudah tamat Madrasah ‘Aliyah. “
Dalam diam, Cut menabahkan dirinya. Kali ini, ia merasa kasihan juga dengan Bibi dan
Ibunya. Mereka sudah berharap lebih pada dirinya untuk menerima lamaran itu. Kepalanya dipenuhi
segala kemungkinan. Bagaimana jika ia menerimanya dan akhirnya lari dengan orang lain. Cut
menggeleng keras. Ia tak ingin mengkhianati orang tuanya hanya demi kepentingannya seorang.
Tapi, bisakah dirinya menerima orang asing didalam hidupnya?
Setiba di rumah Pak Abdul Ghani, Cut bisa merasakan betapa kuat degup jantungnya.
Nafasnya jadi semakin memburu dan detak jantungnya semakin cepat. Diaturnya nafasnya sambil
memegang dadanya. Dalam dilemanya, ia tak tahu harus memutuskan apa. Padahal ia sudah berjanji
pada dirinya sendiri bahwa ia akan menolak mentah-mentah lamaran itu.
“Cut?! Kenapa diam saja? Ayo cepat keluar dari mobil. Orang-orang sudah pada menunggu
di dalam.” Sang bibi menyadarkan Cut dari lamunannya.
Ia mengerjap sebentar, kemudian membuka pintu mobil. Bibinya menatapnya dengan heran.
Lebih tepatnya penasaran.
“Kamu kenapa, Cut?” Tanya Bibinya.
Cut tersenyum simpul. “Tidak apa-apa kok, Bi.” Jawabnya sambil memeluk lengan bibinya.
Telapak tangan hangat sang bibi dirasakannya mengusap pipinya. Merasakan itu
membuatnya teringat pada ibunda tercintanya. Ia seperti berada dalam belaian ibunya. Belaian ini,
dirasakannya bak sebuah dukungan untuk menentukan jalan mana yang akan ditempuhnya di
persimpangan ini. Tapi kuatkah diriku, batinnya.
“Kamu harus kuat ya nak. Kamu itu bukan anak kecil lagi. Kamu sudah mampu
menentukan masa depan kamu. Dan bibi yakin, kamu bisa bahagia dengan Wahid.” Ucap bibinya
sambil berlinang air mata.
Di ruang tamu, pihak dari keluarga pamannya, Pak Abdul Ghani beserta istrinya, dan Ibu sitti
Hajar beserta suaminya, sudah hadir. Bahkan, saudara-saudara Muwahid dan putra-putri Ibu Sitti
Hajar turut datang.
Dalam hatinya, betapa sakralnya pertemuan ini.Cut tak bisa membayangkan jika ia akan
mengatakan tidak nantinya. Berapa orang yang hadir di sini akan menanggung kekecewaan yang
amat sangat. Terlebih bagi sang Bibi.
Pertanyaan basa-basi bermula. Satu jembatan awal yang akan mengantarkan mereka kepada
satu keputusan mutlak yang berada di tangan Cut.
“Jadi, Nak ini siapa namanya?” Tanya Pak Abdul Ghani kepadanya.
“Cut, Pung.” Ucapnya dengan santun menggunakan aksen Bugis yang terdengar kental.
Bibinya menyunggingkan senyum, merasa bangga melihat Cut yang bertutur begitu sopan.
Begitupun dengan cara duduknya. Ia melakukan persis seperti apa yang diajarkan sang bibi
kepadanya. Dan yang terpenting adalah, ia menyembunyikan nama panjangnya. Bagi Cut, cukuplah
nama itu yang diketahui oleh orang-orang.
Orang-orang pada mengangguk mendengar jawaban Cut. “Umurnya berapa, nak?”
Dengan aksen Bugis yang sama kentalnya, Cut menjawab. “18 tahun, Pung.”
“Itu berarti, Nak Cut sudah cukup layak cari pendamping, ya? Kalau urusan di pengadilan
agama nanti, kami akan usahakan sebisa mungkin.” Ucap Pak Abdul Ghani.
“Saya punya kenalan yang kerja di kantor pengadilan agama, Daeng. Saya yakin, kita bisa
bangun koneksi sama dia. Dia orangnya juga baik. Kalau masalah-masalah tersangkut hal kekeluargaan seperti ini, ia tak akan menolaknya. Nanti kita bisa bicara langsung dengannya,
Daeng.” Pak Umar Aziz, suami Ibu Sitti Hajar, memberi usulan.
Pak Abdul Ghani mengangguk. “Iya. Itu bagus.” Katanya. “Jadi, Nak Cut ini, sekarang bisa
mengajukan beberapa pertanyan menyangkut Nak Wahid. Siapa tahu ada yang ingin ditanyakan.”
“Saya hanya butuh sopan santun dan agama, Pung.” Nyaris Cut melinangkan air mata saat
mengatakan itu. Apakah kilahan yang akan dikatakannya nanti jika ternyata Wahid itu orangnya
muslim sejati. Ia sungguh resah.
“Nak Wahid ini, walau tak terlalu dalam ilmu agamanya, tapi dia sopan, kok. Ia tak pernah
dekat dengan wanita lain selain adiknya, Matsnaini, Mutsalitsah dan Murabi’ah. Dan juga, ia laki-
laki yang tak suka rokok ataupun minuman keras. Itu karena kami didik dia dengan moral sesuai adat
orang Bugis, nak. Kalau masalah agama dan sopan santun, bukan jadi alasan jika Nak Cut ingin
menolak.” Jelas Pak Abdul Ghani.
Mati-matian, Cut menahan gemuruh dalam dadanya. Sepanjang sejarahnya, inilah perjuangan
terberatnya menahan air matanya. Terlintas sesal di dadanya dimana ia merasa bodoh karena
membiarkan matanya amat gampang menangis.
“Dalam tradisi kami, sebenarnya kami yang harus datang ke rumah Nak Cut. Tapi karena
Nak Cut orang yang kuat agamanya, kami usahakan ikut dengan apa yang Nak Cut inginkan,
sebagaimana Sitti Khadijah melamar Rasulullah Saw.” Sambung Pak Abdul Ghani.
Cut terdiam. Ia tak tahu ingin mengatakan apa. Hanya tujuh kata barusan yang mampu
diucapkannya.
Lama terdiam, akhirnya Paman Asse, suami bibinya, memberi kode kepada saudara
sulungnya itu, Pak Abdul Ghani, untuk memberikan kesempatan kepada Wahid.
“Jadi, saya rasa sudah cukup. Untuk keputusan akhir, saya berikan kepada anak kami, Nak
Wahid untuk memulai.”
Wahid mengangkat wajahnya. Tampak bola matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Memandang sang calon pendamping yang duduk menunduk di ujung sana. Satu tarikan nafas
mengisi paru-parunya. “Watakka gellang majjekko. Anrena to menre’e. Bali ulu bale.
” Ucapnya dengan lantang.
Kalimat yang begitu keramat itu lepas dari lidah pemuda tampan itu, menyisakan Cut yang
masih dipenuhi dengan segala pertimbangan. Dalam keresahan ini, ia jadi teringat pesan Anre
Gurutta KH. Syu’aib Nawang kala di pengajian khalaqah ba’da Maghrib, yang menjadi rutinitas
wajib bagi santri di As’adiyah. “Makkedai nabitta, majeppunna atennangengnge polei ri Puang Allahu Ta’ala nennia
apperi-peringengnge, polei ri setangnge, sangadinna ri limae sewa-sewa. (Nabi bersabda,
sesungguhnya ketenangan itu asalnya dari Allah, dan ketergesa-gesahan itu asalnya dari syaitan,
kecuali lima perkara.) Mammulanna, atoanangenna tau polewe narekko engkani pole. Maduanna,
apatabbawangenna tau matewe narekko mateni. Matellunna, apakkalepungenna ana makkunraie
narekko ballege’ni. Maeppana, awajarenna inrengnge narekko narapini wettunna. Malimanna,
atobakenna dosae narekko tappalaloni. (Pertama, menyegerakan menjamu tamu saat tamu sudah
datang. Kedua, menyegerakan mengantar orang mati ke kuburan jika sudah mati. Ketiga
Menyegerakan menikahkan anak gadis jika sudah baligh. Keempat, menyegerakan membayar
utang jika sudah tiba masa. Kelima, menyegerakan taubat dari dosa selepasnya dosa itu.)” Jelas Anre
Gurutta saat itu.
“Jadi,” sambung Anre Gurutta. “Calon-calon baine manengkotu. Narekko engkana burane
maddutaiko, namupojini agama nennia ampe kedona, dena gaga wedding mancaji saba’ natolla’i
tomatoammu iyaro tau maddutae. (Kalian semua adalah calon-calon istri. Dan kalau sudah ada laki-
laki yang lamar kamu, lalu agama dan adat sopan santunnya sudah kamu sukai, maka tak ada alasan
bagi orang tua kamu ataupun kalian untuk menolaknya.) Makkedai nabitta, narekko engkako
mammatu-matu ritujunna atangkekenna seddie tau madduta, majeppu weddingtu papole abala lao ri
iko. (Nabi bersabda, jika kalian menunda-nunda menyetujui sebuah lamaran semacam itu, maka
niscaya itu akan mendatangkan musibah padamu.)”
Ia membayangkan, betapa besarnya usaha Pak Abdul Ghani menyusun semuanya sedemikian
rupa. Mulai dari dirinya yang mendatangi pihak laki-laki, sampai pada proses tawar menawar.
Semuanya dilakukannya sebisa mungkin agar sesuai dengan cara yang diinginkan Cut dan
mengenyampingkan adat Bugisnya. Dan ia juga tak bisa menyalahi hadits yang pernah dipaparkan
oleh Anre Gurutta itu. Dalam diamnya, ia berdzikir kepada Allah, memohon pencerahan dan
pertolongan agar bisa menggerakkan lidahnya yang kelu itu. “Tau menre’ laoki tatudang. Tejjali tettappere. Banna mase-mase.
2” Kalimat yang diajarkan
oleh Pamannya itu diucapkannya dengan jelas dan lancar, seakan yang mengucapkannya adalah
orang berkebangsaan Bugis asli.
Semua yang hadir bersorak ria, menyisakan Cut yang menangis sejadi-jadinya dalam dekapan
bibinya. Tak ada yang tahu bahwa Cut menangis karena ia mengingkari ikrarnya dengan Ali, lelaki
pujaan hatinya. Sungguh pupus sudah apa yang jauh-jauh hari diusahakan dan dipertahankannya. Cut
mengucapkan beribu maaf kepada sang lelaki pujaan yang entah sedang apa dan bagaimana di ujung
barat Nusantara sana.
***
“Ini pertama kalinya kamu nonton konsernya Selfi secara langsung, ‘kan?” Tanya Afdal
dengan begitu riangnya.
Baso mengangguk. “Ya. Yang kurang cuma air.”
Yang diharapkannya adalah, sementara konser berlangsung, hujan akan turun. Ia ingin
merasakan sensasi konser yang luar biasa seperti konser-konser yang pernah ia hadiri selama ini.
Tapi setidaknya, dengan hadir di sini, ia punya sedikit kenalan dengan member Selfitta dari berbagai
daerah.
“Bagaimana? Kamu sudah mau ke rumah sepupumu yang kamu maksud itu?” Afdal
memasukkan ponselnya kedalam tas yang digendong Baso. Semua perlengkapan ada di sana. Mulai
dari sweater, pakaian ganti, charger, headset, dan alat mandi.
“Baiklah.” Putusnya sambil memperbaiki posisi tas yang ada di punggungnya. Baginya,
mungkin ini yang terakhir kalinya ia menampakkan dirinya di depan kerabatnya.
Baso tak punya lagi orang tua dan saudara. Satu pun. Namun ia punya sepupu-sepupu yang
jumlahnya mencakup satu kampung. Dan rumah sepupunya yang hendak ia tempati menumpang
bermalam adalah rumah salah seorang sapupu tertuanya dari jalur ibunya. Lebih tepatnya dari kakak
perempuan ibunya.
Cukup sulit menemukan rumah yang hendak mereka tuju itu, karena mereka tak menemukan
seorang pun untuk bisa ditempati bertanya. Orang-orang kampung masih banyak yang sibuk untuk
menikmati sisa-sisa konser aktris Bugis itu. Beberapa saat mencari, akhirnya mereka menemukan
rumah itu.
Dengan hangat, kakak sepupunya itu menyambutnya dengan hidangan seadanya. Mie rebus
dan beberapa ikat buras.
Sedikit tentang sepupunya itu. Ia punya tiga anak dan ketiganya adalah laki-laki. Setelah anak
termuda tamat dari Madrasah Tsanawiyah As’adiyah cabang Salopokko, sepupunya itu hanya tinggal
berdua saja dengan suaminya. Tak tanggung, ia memberikan sajian terbaiknya kepada Baso, selaku
adek sepupunya. Kedatangan Baso ke rumahnya membuatnya merasakan kehadiran ketiga anaknya
yang rantau semua ke kampung orang. Mencari penghidupan.
“Kakak sepupu kamu kok repot-repot, sih.” Komentar Afdal sambil menyendok mi rebus
yang dihidangkan.
“Sudah. Kamu makan saja.” Jawab Baso sambil menikmati mi rebus itu. Padahal dalam
hatinya, ia ingin mengatakan bahwa sajian yang menurutnya terlalu berlebihan ini mungkin sebagai
pelampiasannya karena semua anaknya sudah diambil oleh kerabat-kerabat suaminya untuk
dipekerjakan di toko-toko.
Setelah makan, Baso dan Afdal dipersilahkan masuk ke kamar tamu yang dulunya adalah
kamar anak tertua mereka. Berniat hendak tidur, Baso dan Afdal malah terlibat perbincangan hangat
seputar Liga Dangdut 2019 yang tengah panas-panasnya. Yang tinggal meyisakan enam peserta
terbaik dari sekian puluh duta dangdut pilihan setiap provinsi.
Mereka berdua baru terlelap setelah jarum jam menunjukkan pukul dua pagi. Sebelum tidur,
Baso memasang alarm ponselnya pukul lima, berniat bangun untuk shalat Shubuh.
Namun alhasil, mereka berdua baru bangun pukul tujuh pagi.
“Afdal! Cepat bangun! Kita kesiangan, nih!” panik Baso membangunkan Afdal yang masih
terbuai mimpi.
“Afdal!”
***
Afdal melaju dengan kecepatan tinggi. Awan mendung memayungi dari atas. Di tengah
perjalanan, gerimis mulai turun.
“Cepat, Afdal. Gerimis.” Titah Baso dengan panik.
Seakan mendapat bahan bakar tambahan, motor yang dikendarai Afdal melaju semakin
kencang, membelah jalanan yang hanya dilalui satu dua sepeda motor. Tak lain karena gerimis yang
perlahan-lahan semakin deras.
Mereka tiba di asrama pukul setengah delapan. Tepat jam pelajaran pertama dimulai. Dengan
cepat, mereka mandi dan mengenakan seragam.
“Kamu tidak bawa buku pelajaran hari ini?” Tanya Baso sambil menyusun buku pelajarannya
hari ini.
“Bah. Saya bawa.” Jawab Afdal.
Hujan masih mengguyur kota Sengkang. Jalanan tampak begitu licin diterpa hujan.
Pengendara motor dengan jas hujannya terlihat begitu berhati-hati mengendarai motornya. Berbeda
dengan pengendara roda empat yang malah ngebut ditengah terpaan air hujan.
“Kamu berani terobos hujan ini?” Afdal merasa ragu. Jarak antara asrama dengan sekolah
kurang lebih ada 300 meter. Berkendara dengan sepeda motor tanpa jas hujan adalah ide yang buruk.
Berjalan kaki apalagi.
“Jam pertama, kan pelajarannya ibu Selfi. Katanya hari ini ada ulangan harian.” Baso
memberikan pertimbangan kepada temannya itu.
“Ulangan harian lagi? Di semester dua ini, kok rasanya ulangan kita banyak sekali, ya?
Malah nilaiku belum ada yang masuk satu pun.” Keluhnya saat mendengar kabar ulangan harian itu.
Soal mata pelajaran yang diajarkan oleh Ibu Selfi itu, Afdal tidak cukup tertarik. Lebih
tepatnya, ia tak suka sama sekali. Tapi ia juga tak berani ambil masalah dengan Ibu Selfi karena ia
adalah wali kelasnya. Ditambah lagi, suaminya, Pak Edy, adalah guru BK di sekolah. Berurusan
dengannya adalah tindakan bodoh.
“Lalu? Bagaimana?” Baso meminta konfirmasi. Keputusan mana yang akan mereka ambil.
“Kita tunggu hujan berhenti.”
Baso mendengus. “Baiklah kalau begitu. Jalan terakhir, kita beralih ke rencana B. Remidial.”
Sebenarnya Baso takut kembali berurusan dengan Ibu Selfi. Ia pernah diboikot oleh Ibu Selfi
sewaktu PORSENI Pekan Muharram diadakan oleh madrasahnya. Ia ditunjuk oleh Ibu Selfi sebagai
wakil kelas XI IPA di cabang lomba barazanji. Mentah-mentah, ia menolak itu. Tapi ia kalah suara.
Teman-temannya mengerjainya dan mengatakan bahwa Baso pandai barazanji karena ia alumni
MTs. As’adiyah Putra Pusat. Santri-santri di sana punya kelas khusus bimbingan barazanji. Dan
setiap santri di sana wajib mengikuti bimbingan itu. Alhasil, ia yang tercatat dalam buku peserta
perlombaan.
Tibalah saat dimana perlombaan barazanji dilaksanakan, akhirnya ia memutuskan untuk tidak
hadir dalam acara itu. Tentu hal itu membuat Ibu Selfi naik pitam dan dengan tak segan, Baso
dihukum dengan denda Rp. 50.000 karena tak menghadiri lomba tanpa alasan. Mulai saat itu,
hubungannya dengan Ibu Selfi jadi renggang.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Child Anymore (End)
RomanceJika kita masih dianggap anak kecil oleh dewasa-dewasa disana, biarlah disini kita yang merasa lebih dewasa dari mereka.