"Berserah diri dan berharap pada-Nya adalah satu-satunya yang bisa kulakukan untuk gadis kecilku yang malang.”
-Baso Rahmat Hasyim-Cut pamit dengan bibinya untuk berangkat ke sekolah, menghadiri kelas khususnya. Awalnya, bibinya memasang wajah datar yang sayu, tapi kemudian, ia tersenyum.
“Kamu hati-hati, ya.” Ucapnya dengan hangat kepada keponakannya itu.
Cut mencium tangan bibinya lekat-lekat. “Iya, Bi.”
Ia segera berangkat kemudian dengan motor yang dibeli Wahid untuknya. Motor itu baru berumur dua minggu. Wahid membeli motor itu untuknya, saat tahu, bahwa Cut hanya berjalan kaki ke sekolah setiap hari. Walau jarak antara rumahnya dengan sekolah memang tidak terlalu jauh, tapi menempuh jarak itu setiap hari tetaplah melelahkan.
“Saya berangkat dulu, ya, Bi.” Ucapnya sebelum meluncur keluar dari pekarangan.
Bibinya tetap berdiri di sana, mengekori Cut dengan pandangannya sampai sosok itu hilang di perempatan.
***
Ia tiba di sekolah bersamaan dengan Zuhra. Cut yang melihat Zuhra, dengan ragu, melemparinya dengan senyuman. Cut memang tak mengharap Zuhra membalas senyumnya. Sehingga saat Zuhra hanya membalasnya dengan cengiran yang merendahkan, Cut tidak merasa amat terhina dengan itu.
“Kedengarannya kamu lagi banyak masalah, ya?” Tanya Zuhra dengan nada centilnya.
“Kamu menguntit saya?” Tebak Cut, asal. Sengaja mengatakan itu untuk membalas pertanyaan Zuhra.
“Idih~, ga’ penting amat mau nguntitin kamu.”
“Atau jangan-jangan, kamu stalker rahasia saya?”
Kini, Zuhra sudah dibakar amarahnya sendiri. Wajahnya seketika memerah dan matanya membelalak tajam. Ia berjalan menuju Cut dan berhenti tepat sata mata mereka berdua dipisah jarak sejengkal.
“Aku yakin, kamu masih belum lupa dengan luka di dagumu itu. Jika kamu berani menambah masalah dengan aku, aku tak akan segan menghabisi kamu.” Ucapnya dengan geram.
Takut? Cut malah membalas tatapan tajam itu. “Zuhra Adinda Putri. Saya ini bukan lagi gadis yang dijambak rambutnya oleh kamu beberapa waktu yang lalu. Kalau kamu kenal saya siapa di masa lalu, saya yakin kamu belum kenal dengan saya di masa sekarang. Kamu mau apakan saya? Merenggut jilbab saya? Menjambak rambut saya?” Cut mengangkat tangannya. “Lakukan kalau kamu mau. Saya tidak akan membalas.”
Zuhra yang dibakar emosi itu begitu ingin meluapkan amarahnya pada Cut yang memanas-manasinya. Tangannya terkepal dan rahangnya mengeras. Tapi ia tak kunjung melakukannya. Pertimbangan. Ia menyadari itu. Ia tak ingin masuk ruang BK lagi.
Merasa tak mampu melakukan apa-apa, Zuhra mendengus, lalu berbalik, meninggalkan Cut yang masih dengan tangan terangkat, sejajar dengan telinganya.
Melihat Zuhra yang berjalan menjauh darinya, Cut menghela nafasnya. Ia bersyukur, Zuhra tak jadi melepaskan pukulannya. Yang tadi itu tak lebih dari taruhan. Ia masihlah seorang gadis yang tak bisa mengangkat tangannya untuk melawan. Entah sampai kapan ia bisa menaklukkan rasa takutnya.
Santri-santri sudah memasuki kelas khusus mereka masing-masing. Kelas tahfidzul qur’an yang dibimbing oleh Ibu Rosyidah. Kelas kaligrafi yang dibimbing oleh Ibu Maya. Kelas tilawatil Qur’an yang dibimbing oleh Pak Amir. Dan kelas menjahit yang dibimbing oleh Ibu Fatmawati.
Cut mengambil barisan depan. Sebenarnya, ia ingin mengambil barisan pertama, namun karena sudah didahului oleh Zuhra, maka ia memilih untuk duduk di belakang Zuhra. Ia tak gengsi melakukan itu.
Zuhra diberi jempol oleh Ibu Rosyidah setelah ia selesai menyetor surah Luqman. Dengan bangga, Zuhra meninggalkan tempatnya dan duduk di barisan santri-santri yang sudah menyetor hafalan.
Cut segera mengganti posisi Zuhra. Melihat kehadiran Cut, Ibu Roasyidah berbinar-binar matanya. Seulas senyum terbentuk di bibirnya yang penuh.
“Bibimu bilang sama Ibu kalau kamu sedang punya masalah. Boleh Ibu tahu?” Tanya Ibu Rosyidah, antusias.
“Mungkin bibi saya sudah bilang, Pung.” Cut mana mungkin mengatakan penyebab mengapa ia tak menghadiri kelas khusus selama dua minggu lebih.
Ibu Rosyidah tertawa. Dianggukkannya kepalanya, mengerti bahwa Cut tak ingin mengatakan apa pun padanya. “Jadi, kamu sudah hafal surah Luqman? Hafalan terakhirmu ada di surah itu, ‘kan?”
“Iye’ Pung. Kalau bisa, saya mau tuntaskan sampai surah al-Anbiyaa’, Pung.”
Setengah membelalak, kening Ibu Rosyidah mengernyit. “Kamu sudah hafal semua?” Tanyanya dengan nada penuh kekaguman.
Cut hanya menganggukkan kepalanya. Zuhra yang tak percaya dengan itu membuang muka penuh kebencian. Mana mungkin ia hafal tiga surah itu, batinnya.
Tapi Cut mulai membacakan hafalannya di depan Ibu Rosyidah dengan tartil. Sehabis membaca habis surah Luqman, disambungnya dengan surah al-Mu’minuun. Zuhra membelalak melihat Cut yang dengan lancarnya membacakan surah itu. Itu benar-benar diluar dugaannya.
Cut terus membacakan surah itu. Namun, barulah ia sampai di pertengahan, Ibu Rosyidah memintanya berhenti.
“Begini, saja. Karena waktunya tidak cukup, Ibu langsung tes kamu saja. Kamu bisa sekarang, ‘kan?” Saran Ibu Rosyidah.
Cut mengangguk. “Insya Allah, Pung.” Putusnya dengan mantap.
Zuhra tak mengalihkan pandangan tak percayanya dari Cut. Ia memperhatikan betul-betul bagaimana Cut menyambung ayat-ayat dari tiga surah terakhir itu dengan tepat dan lancar. Tanpa ada kesalahan sedikitpun, baik tajwid maupun makhrajul hurufnya. Sempurna.
Ibu Rosyidah memberikan tepuk tangan untuk Cut setelah dijawab habisnya seluruh tes yang ia berikan. Tak percaya dengan itu, Zuhra masih membelalak. Setelah menceklis semua kolom setoran hafalannya, Cut kemudian beralih menuju barisan santri-santri yang sudah menyetor hafalan, bersama dengan Zuhra.
Kali ini, Zuhra tak memandang sedikitpun Cut yang berda di dekatnya. Kesal, bercampur kecamuk amarahnya. Apa yang diusahakannya selama ini, untuk mendahului hafalan Cut berakhir sia-sia sampai di detik ini juga. Cut yang sadar akan kekesalan yang dirasakan Zuhra, ia hanya bisa tersenyum dalam diam.
***
Baso menemani Maria di ruangannya. Mata bulat gadis itu masih terpejam. Bebat memenuhi area leher dan dadanya. Nafas teraturnya dapat Baso lihat dari dadanya yang kembang kempis seiring dihirupembusnya udara di paru-parunya. Untung saja pecahan beling itu tak menusuk sampai kedalam, sehingga organ bagian dalamnya baik-baik saja.
Maria mengeluh dalam tidurnya, membuat Baso seketika membelalakkan mata. Gadis itu hendak mengangkat tangannya, namun kelihatan tak mampu. Baso segera menggenggam tangan mungil itu. Dengan halus, Baso menepuk pundak Maria agar ia terbangun. Karena kiranya Maria mungkin sedang bermimpi.
Perlahan, Maria mengerjap-ngerjapkan matanya. Terbangun. Wajah mungil itu tersenyum menatapnya.
“Kak Baso?” Suaranya serak, menyebut nama yang penuh makna itu.
“Iya, kakak di sini. Kamu baik-baik saja, ‘kan?”
“Tadi malam, kakak kemana? Maria jadinya jatuh cari kakak.” Rengeknya.
Kalimat murni itu membuat dadanya sakit. “Maafin kakak, ya. Kakak janji, tidak akan tinggalin Maria lagi.”
Mata bulat itu berbinar-binar. “Janji, ya, kak.”
“Kakak janji.”
Maria mengangkat tangannya, menunjukkan kelingkingnya yang ringkih. Baso mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Maria. Ikrar. Kemudian diciumnya gadis kecil itu lekat-lekat.
Pintu terbuka, membuat perhatian Baso teralih kepada sosok yang berdiri di sana. Ibu Melda bersama dengan Ibu Khairah.
Ibu Melda tergesa-gesa menghampiri tempat berbaringnya Maria. Air mata membasahi pipinya. Tentu ia juga merasakan hal yang sama. Walau belum terlalu lama tinggal bersamanya, tapi Ibu Melda sudah menganggap anak-anak panti itu sebagai bagian dari dirinya juga.
Tak tanggung, Ibu Melda memeluk tubuh mungil penuh bebat perban itu dengan tangisnya yang sedari tadi menghiasi wajahnya.
Baso tertegun. Tercenung. Terpaku dalam lamunannya. Ia jadi teringat bagaimana Ibu Melda yang menghibur anak-anak saat Ibu Khairah masih di Makassar, mengurus sarannya. Kadang ibu Melda bercerita untuk mereka. Walau kadang terkesan garing, tapi bekasnya terus terukir di hati mereka semua. Mereka tak akan bisa melupakan Ibu Melda.
Ibu Khairah menyadarkan Baso dari lamunannya. Ia memanggil Baso untuk berbicara empat mata. Itu soal pesan perawat semalam tentang keadaan Maria. Ibu Khairah meminta Ibu Melda untuk menjaga Maria sebentar. Ibu Melda menyanggupinya dan mempersilahkan mereka berdua pergi.
Ibu Khairah berjalan menuju apotek rumah sakit. Dan di sana, mereka memutuskan untuk menunggu obat yang dipesannya untuk Maria dan membicarakan pesan perawat itu.
“Lubang tenggorokannya hampir teriris beling. Untuk area itu, dokter sudah memberinya penanganan terbaik.” Ujar Ibu Khairah. “Hanya saja, yang paling Ibu Khawatirkan adalah, pita suaranya. Pita suaranya jadi rapuh dan tak bisa bergetar sempurna. Jika ia memaksa untuk menggetarkannya, bisa-bisa ia tak bisa berbicara lagi.”
Baso jadi ingat ketika Maria terbangun. Suaranya serak dan wajahnya seperti menahan sakit setiap ia berbicara. Memikirkan itu, ia jadi makin resah.
“Pantas saja tadi suaranya serak.” Ucap Baso.
“Kamu adalah yang paling bisa ia dengar, nak. Ibu ingin kamu memintanya untuk tidak berbicara terlalu keras ataupun menangis. Maria akan semakin menderita jika suaranya menghilang.” Pinta Ibu Khairah.
Baso mendesah. Itu sulit. Tapi ia akan berusaha.
“Oh, iya. Ngomong-ngomong, semalam itu, kenapa kamu lari?” Tanya Ibu Khairah, teringat dengan kejadian sebelum kecelakaan Maria.
“Saya,” Ia ragu. “Dia teman saya, Bu. Saya berbohong padanya soal anak-anak.”
“Memangnya kamu bilang apa sama dia?”
“Dia bertanya soal anak-anak dan saya mengaku sebagai kakak kandung mereka.” Baso terdiam sejenak. “Sebenarnya, saya ragu untuk mengatakan itu. Dan saya malah hampir mengakui kebohongan saya saat dia mengatakan bahwa saya berenam unik. Tak ada yang sama mukanya satu sama lain.”
“Ya memang kenapa kamu harus berbohong. Akhirnya, ‘kan kamu yang susah juga.” Ujar Ibu Khairah.
“Tapi saya khawatir. Siapa tahu dia punya kenalan sama teman sekolah saya. Lalu dia bilang semuanya tentang saya. ‘Kan lebih runyak masalahnya, Bu.”
“Kalau boleh tahu, sejak kapan kalian berteman. Ibu baru tahu kalau kamu punya kenalan gadis. Apalagi, kerabatnya Pak Abdul Ghani.”
“Belum begitu lama, Bu.” Jawabnya. “Sudahlah, Bu. Tidak usah bahas soal itu.”
Ibu Khairah mengangguk, mengerti. Keadaan sedang tak stabil. Bukan waktu yang tepat untuk membahas sesuatu yang tidak pasti.
Setelah mengambil obat dari apotek, mereka kemudian kembali ke ruangan tempat Maria dirawat. Ada tiga orang pasien di ruangan itu. Dan kebetulan, Maria berada paling dekat dengan pintu masuk.
Dua pasien lainnya adalah anak-anak korban kecelakaan bermain. Seorang anak laki-laki seumuran Maria tertimpa pagar besi hingga kakinya patah. Dan yang satunya lagi adalah anak perempuan umur 12 tahun yang usus turun akibat bermain lompat karet. Tapi keadaan dua pasien seruangan Maria itu sudah jauh lebih baik dibanding Maria. Dalam satu atau dua hari, mereka sudah bisa pulang. Begitu vonis dokter yang didengarnya secara diam-diam. Kalau untuk Maria, belum ada kepastian dari dokter kapan ia bisa dipulangkan. Tapi dari keadaannya, siapa pun bisa menaksir, butuh waktu sedikit lama bagi Maria untuk bisa sembuh dari luka-lukanya itu. Apalagi dengan masalah pita suaranya yang rentan itu.
***
Jika dia ditanya apa yang paling ingin ia tanyakan saat ini, maka ia akan menanyakan siapakah Baso itu. Mengapa Cut sampai begitu paniknya ketika anak kecil, yang diketahuinya sebagai adik Baso, itu adalah anak yang darahnya berceceran di lantai rumahnya.
Resah. Tidak juga. Wahid Cuma penasaran. Apakah Cut dengan Baso itu adalah teman lama atau apalah. Karena dari apa yang dilihatnya, ia bisa menyimpulkan, mereka tak sekadar teman. Padahal nyatanya, bagi Baso, hubungannya dengan hanyalah sebatas teman biasa yang muncul secara tiba-tiba dalam hidupnya. Tapi itu tak memberi arti yang sama bagi Cut. Baso, menurut Cut, adalah Ali di tanah Darussalam sana.
Wahid melihat malam itu, Cut dipanggil bibinya masuk ke kamar. Wajahnya bercampur antara kecewa, marah dan resah. Ia tak bisa menyimpulkan apa-apa. Sempat terbesit dalam hatinya untuk memutuskan menguping pembicaraan mereka berdua, namun urung. Ia tak suka dikupingi dan ia percaya karma. Yang ditakutkannya adalah hal serupa yang ingin dilakukannya malam itu. Jadi, ia lebih memilih untuk termenung dalam penasarannya.
“Kenapa kamu melamun, Wahid?” Ibu Sitti Kristina, Mamanya, menghampirinya dengan membawa secangkir teh hangat.
“Eh? Em, saya tidak melamunkan apa-apa.” Ia berkilah. Hanya saja, sayang, ia adalah pembohong yang buruk. Ia tak bisa merekayasa apa pun yang bisa menjadi bukti kebohongannya.
“Lah. Kamu kenapa melamun? Tidak usah bohong sama Mama.”
Wahid mendesah. Mumpung tak ada orang lain, Wahid memutuskan untuk mengalah. “Apakah Mama tahu siapa anak laki-laki tadi malam?”
“Anak laki-laki yang mana?” Tanyanya, belum paham dengan apa yang dimaksud oleh Wahid.
“Temannya Cut itu, lo, Ma. Yang pakai songkok hitam, baju putih dan sarung putih.” Ujarnya, mencoba memaparkan ciri-ciri yang mungkin bisa dikenal mamanya.
“Oh. anak itu. Kenapa memangnya?”
“Saya hanya ingin tahu siapa dia.”
“Mungkin dia anak panti asuhan Muhammadiyah. Kenapa memangnya?” Tanya mamanya, masih penasaran.
“Dia kawan lamanya Cut atau bukan, ya, Ma? Mereka kelihatannya kenal dekat. Cut juga kelihatannya juga akrab sama adik-adik anak itu.”
“Adik-adiknya yang mana?”
“Kok Mama tidak tahu. Itu, lo, Ma. Anak-anak kecil yang datang dengan siapa namanya, emm…Ibu Khairah.” Jelasnya
“Hm? Setahu ibu, anak-anak itu anak panti semua.” Heran mamanya. “Atau mungkin saja mereka berlima memang kakak adik. Orang tuanya mungkin tak mampu membiayai mereka, lantas memasukkannya ke panti asuhan.”
Wahid manggut-manggut. Ia sudah tahu siapa Baso. Walau ia melihat, dari penampilan dan cara Baso memandang Cut, biasa-biasa saja, tapi ia merasakan hal yang berbeda untuk sebaliknya. Cut tampak menaruh perhatian besar kepada temannya itu. Cemburu? Tidak sama sekali. Wahid hanya ingin tahu kronologisnya bagaimana sehingga Cut bisa berteman dengan anak panti asuhan itu. Dan ia sama sekali tidak tahu bahwa Cut tak mengetahui rombongan semalam adalah rombongan panti asuhan. Cut hanya mengira rombongan itu adalah rombongan keluarganya Baso.
“Oh, iya, Ma. Kelihatannya, Cut mulai bisa menyatu dengan kita, ya. Dia tidak canggung lagi berbicara dengan kita semua.” Ucap Wahid, mengalihkan topik dengan wajah yang berbunga-bunga.
“Iya. Mama juga senang lihat dia yang mulai akrab sama adik-adik kamu.” Tambah mamanya.
Wahid menengadah, menatap langit-langit rumah sambil tersenyum. “Menurut Mama, apakah Cut tidak akan menyesal jika mengetahui bahwa saya penderita diabetes akut?”
Senyum di wajah mamanya seketika redup. “Kamu harus bisa merahasiakan itu selama dan sebisa kamu.”
“Iya, Ma.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Child Anymore (End)
RomanceJika kita masih dianggap anak kecil oleh dewasa-dewasa disana, biarlah disini kita yang merasa lebih dewasa dari mereka.