“Jika saya adalah seekor pungguk, semoga saja saya tak merindukan purnama.”
-Cut Tian Humairah-Satu minggu kemudian…
Pertengahan bulan Maret, sudah masuk masa panas. Persiapan untuk ujian yang akan datang beruntun. Wakamad Kurikulum Madrasah ‘Aliyah Nurul As’adiyah Callaccu, Pak Samsuriadi, mengajukan surat keputusan kepada Pak Usman untuk ditandatangani sebagai bukti dimulainya kelas tambahan untuk santri-santri kelas tiga yang akan menghadapi ujian. Khususnya untuk Ujian Nasional.
Baso jadinya harus tinggal di sekolah sampai sore.
Sore ini. Pelajaran yang akan dipelajarinya adalah Bahasa Inggris. Mata pelajaran yang diinduktunggali oleh Ibu Hasrianah itu adalah mata pelajaran favoritnya, walau nilainya tak sebagus bintang-bintang kelas dari kelas lain. Alasan? Ia senang dengan cara mengajar Ibu Hasrianah yang benar-benar mendorong murid-muridnya untuk bisa. Tapi tetap saja, hanya segelintir saja yang mengerti dan tertarik dengan mata pelajaran itu.
Seorang diri. Belum ada tanda-tanda keberadaan teman-temannya yang lain, sedang Ibu Hasrianah nampak sudah datang, turun dari boncengan Pak Hasan, suaminya. Terkadang, Baso berpikir bahwa Ibu Hasrianah dengan suaminya adalah pasangan yang romantis dan serasi. Pak Hasanuddin, suami Ibu Hasrianah juga adalah seorang guru bahasa Inggris. Ia adalah salah satu Master of English di kota Sengkang.
Pernah kabarnya, ia mengajar di SMA ternama di Wajo, khusus kelas tiga. Guru-guru bahasa Inggris di sana tidak ada yang berani mengambil jatah mengajar di kelas tiga. Alasan yang klise untuk ujian seorang guru, jika ada siswa yang tidak tahu bahasa Inggris, maka akan dicap sebagai guru bodoh. Tapi Pak Hasanuddin berhasil membimbing satu generasi itu dengan baik. Setelahnya, ia pindah mengajar dari sana entah kemana.
Dua guru bahasa Inggris. Memang tak jarang mendengar hal serupa. Tapi untuk di daerah Sengkang ini, itu adalah hal yang langka. Sebagaimana Pak Muhammad Akis dengan dengan istrinya, Ibu Sitti Aminah yang sama-sama guru IPS. Hanya saja, entah mengapa, putri sekaligus anak tunggal mereka tidak berminat sama sekali dalam belajar bahasa Inggris. Teman-temannya di sekolah kadang mengejeknya. Tentang bagaimana disayangkannya ia yang tidak senang dengan bahasa Inggris. Kasarnya, hanya dia yang tidak mau pintar berbahasa Inggris.
“Kemana teman-temanmu, Baso?” Tanya Ibu Hasrianah saat masuk kedalam kelas.
Baso beranjak dari kursinya dan berjalan menuju pintu. “Saya panggil mereka dulu, Pung.” Padahal, ia belum tahu pasti apakah teman-temannya yang lain sudah datang atau tidak.
Ia berjalan, menyusuri lorong yang menuju ke tangga utama di sayap kanan. Ditangga itu, ia mencari-cari keberadaan teman-temannya yang lain. Tapi yang ada hanya santri-santri dari kelas lain. Tak ada satupun batang hidung teman sekelasnya yang ia dapat.
Ia kembali ke kelasnya dengan jawaban pasti. Sesampainya di kelas, beruntung, sudah ada dua temannya yang duduk rapi didalam sana. Agustang dan Rendi.
“Cuma kalian bertiga?” Tanya Ibu Hasrianah.
Mereka bertiga mengangguk. Dan anggukan itu direspon dengan gelengan penuh keprihatinan oleh Ibu Hasrianah.
“Mau jadi apa semua nanti ini.” Keluh Ibu Hasrianah dengan wajah tertekuk. “Kita semua guru-guru berusaha, bagaimana supaya kalian semua punya persiapan untuk ujian. Tapi kalian semua yang tidak mau diajar.” Ia merogoh tasnya, mengeluarkan buku pegangan yang dipedomaninya selama ini dalam mengajar. “Dunia memang sudah terbalik sekarang. Dulu, jangankan datang terlambat, menatap guru saja kita tidak berani. Tapi sekarang, tak peduli, malah gurunya ditabrak. Bagaimana caranya kalian semua mau jadi pintar kalau begini caranya. Bagaimana kalian bisa dapat berkahnya kalau kalian tidak menghormati siapa yang ajar kalian. Kita ini guru-guru tak mengharap apa pun sebagai balas jasa. Kami hanya berharap kalian bisa pintar dan membawa madrasah kita menuju jenjang persaingan dengan sekolah-sekolah unggulan diluar sana.
“Jujur, ya,” sambungnya. “Di kelas ini, Cuma Baso yang Ibu lihat memperhatikan betul apa yang Ibu ajarkan. Yang lain? Datang duduk diam saja. Tapi Baso juga sudah banyak laporannya diatas. Menurun.” Ungkapnya tanpa ragu. “Yang begini semua yang mau jadi penerus bangsa? Jangan mimpi. Di pasar bebas nanti, 2020, harga kalian semua tak lebih dari harga sekarung botol bekas. I’m sure.
“Kita guru-guru kasih banyak kebijakan untuk kalian perbaikan nilai, tapi yang datang tak sampai setengah dari yang remedial. Seandainya saya mau ikut kurikulum, kalian semua tidak akan punya nilai di raport kalian. Kosong. Toh, memang buat apa dikasih nilai. Kehadirannya tak sampai setengah, padahal standarnya tak boleh kurang dari 70 persen. Hadir di sekolah, datang terlambat lagi. Tugas-tugasnya, jika tidak ditagih tidak dikumpul. Tidak tahu diri semua.” Kalimat terakhir itu ditekankannya, seakan ingin dikeluarkan segala amarah dan kekesalannya.
“Materinya sudah sampai dimana?” Ibu Hasrianah menutup sesi mengomelnya dengan memutuskan untuk mengajar tiga biji muridnya itu.
“Report text, Pung.”
“OK.” Ibu Hasrianah bangkit dari kursinya. “Report text itu….
***
Pukul lima sore, kelas tambahan bubar. Baso tak ke panti selepas dari sekolah. Ia memutuskan untuk langsung ke rumah sakit, melihat bagaimana keadaan Maria. Karena menurut perkiraan dokter, jika keadaan Maria hari ini membaik ia sudah bisa pulang. Sudah delapan hari sejak masuknya Maria di rumah sakit. Dan itu waktu yang cukup singkat, melihat luka Maria yang cukup parah. Mungkin karena dokter memberi pelayanan ekstra untuknya sehingga kondisinya bisa pulih dengan cepat. Dan tentu juga atas kehendak Yang Kuasa.
Diberhentikannya sebuah bemor dan menaikinya. Penariknya adalah orang tua yang janggutnya sudah beruban. Di kepalanya melekat peci bundar yang sudah using dan dekil.
“Rumah Sakit Umum.” Ucapnya, meyebutkan tujuannya.
Orang tua itu mengangguk dan melaju. Kurang dari sepuluh menit akhirnya bemor yang dikendarainya sampai. Baso menyodorkan selembar uang 50.000 rupiah sebagai ongkosnya, lalu berlalu.
“Dek! Kembaliannya!” teriak tukang bemor itu. Tentu tukang bemor itu sibuk mencari uang kembalian untuk lembar besar itu. Selembar uang itu delapan per dua, empat kali lipat dari ongkos sebenarnya.
“Ambil saja, Pak!” ujarnya sambil tetap berlari menuju pintu utama.
Tukang bemor itu nampak amat bersyukur, sampai-sampai uang berwarna biru itu diciumnya. Dengan gembira, ia melajukan bemornya kembali, menuju ke toko swalayan terdekat. Di sana, ia membeli sekotak susu dan beberapa mie instant. Dengan hati gembira, ia membawa belanjaannya itu pulang ke rumah.
Baso memasuki ruangan tempat Maria dirawat. Di sana ia menemukan Maria yang sedang tertidur pulas. Tanpa seorangpun yang menemaninya. Baso merasa kesal. Mengapa tak seorangpun yang menemani Maria di sini. Ibu Khairah, Pak Arman atau Anto. Setidaknya salah seorang dari mereka harus tetap berjaga di sini. Tapi ia melihat tas jinjing Ibu Khairah di atas meja obat. Dia mungkin sedang keluar sebentar. Dan memang begitu nyatanya.
Ibu Khairah sedang bebicara dengan dokter yang menangani Maria di ruang dokter. Dokter itu memberitahu Ibu Khairah tentang pantangan-pantangan apa saja yang harus diperhatikan terhadap kondisi Maria. Mulai dari makanan. Maria tidak boleh lagi mengonsumsi makanan yang bersuhu lebih dan kurang. Es krim dan teh susu, adalah makanan dan minuman kesukaannya. Dan untuk menjaga agar pita suaranya agar tetap stabil, ia harus menghindari keduanya. Selain itu, ia juga harus menghindari berdeham dan batuk jika ingin mengeluarkan dahaknya. Dokter sudah memberi Ibu Khairah obat pereda rasa gatal dan pengencer dahak untuk anak seusia Maria.
Tak hanya itu, Maria harus mengonsumsi tablet-tablet, obat-obat yang dibecinya, untuk memulihkan pita suaranya itu agar bisa kembali normal, meski masih temporer. Tepatnya, hanya obat penguat pita suara dalam jangka waktu tertentu. Pita suaranya itu akan semakin lemah dan sulit digetarkan jika ia tak mengonsumsi obat itu. Sebenarnya, Ibu Khairah memilih untuk mengaambil alternatif kedua, yakni donor. Tapi tidak ada stok yang tersedia. Jadinya, mau tidak mau, alternatif ini harus dipilihnya.
“Terimakasih atas usahanya, dok.” Ucap Ibu Khairah sambil menerima tanda bukti pembayaran.
“Iya. Sama-sama. Sebelumnya, mohon maaf, kami hanya bisa berusaha sampai di sini. Kami tak bisa menyembuhkannya dengan total.”
“Manusia memang hanya berusaha dan berharap. Tuhan yang menentukan. Saya kira semua dokter tahu itu, ‘kan?”
Dokter yang menangani Maria itu tersenyum. Mengangguk. “Jangan segan konsultasi dengan kami jika ada keluhan, Bu.”
“Insya Allah. Saya akan menghubungi dengan segera jika terjadi sesuatu.”
Ibu Khairah kemudian meninggalkan ruang dokter, kembali ke ruangan tempat Maria dirawat. Senyumnya mengembang saat melihat kehadiran Baso di sana.
“Ibu dari mana?” Tanya Baso.
“Dari bayar tagihan perawatan Maria.” Jawab Ibu Khairah sambil duduk di samping Baso.
“Apa kata dokter, bu? Kapan Maria bisa pulang?”
“Nanti malam. Kamu bisa pulang dan memberitahu Pak Arman untuk menjemput Maria.” Ujarnya.
Baso tersenyum. Itu pertanda baik. Walau bebat perban masih menyelimuti badan dan lehernya, kesempatan pulang berarti keadaan yang sudah membaik.
“Kalau begitu, saya pulang dulu, ya, Bu.”
“Jangan lupa, ambil selimut merah yang ada di dalam lemari ibu.” Tambahnya saat Baso berada di ambang pintu.
“Selimut merah yang motif bunga?”
“Iya.”
***
Kumandang azan Magrib menggema di Bumi Lamaddukelleng ini. Kota yang dijuluki Kota Santri di Sulawesi Selatan ini memang sejuk menyenangkan hati. Masjid-masjid yang saling berdekatan membuktikan bahwa kota ini dihuni oleh mayoritas muslim yang ahli ibadat. Bukan sekadar muslim dalam keterangan penduduk. Penduduk yang ada segera turun, menghadiri panggilan agung itu.
Belum lagi dengan ribuan santri yang turun memadati masjid sambil membawa kitab kuning dalam dekapan mereka. Ada tiga titik besar pengajian khalaqah di Sengkang. Yakni di masjid Jami’ As’adiyah Sengkang, Masjid al-Ikhlas Lapongkoda, dan Masjid Jami’ Nurul As’adiyah Callacu Sengkang. Sebenarnya masih ada beberapa titik yang ada, tapi hanya tiga titik itu yang terbesar. Diantara yang lainnya itu adalah pengajian khalaqah Ma’had ‘Aliy, Madrasah ‘Aliyah As’adiyah Putra Macanang, dan Madrasah ‘Aliyah As’adiyah Putri, dan beberapa yang lain, yang dibatasi ruang dan pengkajian materi.
Pemandangan indah itu sayangnya tak pernah dirasakan Baso selama ini. Ia hanya fokus, meluangkan waktunya untuk anak-anak malang yang dibuang orang tuanya ini. Itulah mengapa persentase kehadiran pengajian khalaqahnya kosong. Tak pernah sekalipun ia menghadirinya. Terakhir ia mengikuti pengajian khalaqah adalah saat ia masih MTs. Padahal, nilai plus dari seorang santri itu hanya terdapat pada kajian-kajian khalaqah. Selebihnya? Apa bedanya dengan sekolah umum atau madrasah negeri?
Setelah memimpin shalat Magrib, ia memberitahu Pak Arman untuk menjemput Maria dan Ibu Khairah di rumah sakit. Anak-anak yang lain ingin ikut, terlebih untuk Tian. Tapi Baso tak membolehkan. Mereka harus tetap di rumah bersama dengan Anto.
“Kalian harus bikin kejutan untuk Maria. Terserah kejutan apa, yang penting, kakak mau lihat sampai dimana usaha kalian.” Ujar Baso, memberi tugas kepada mereka semua. Berharap mengerti, mereka malah melongo bingung.
“Kejutan bagaimana, kak? Kami tidak tahu bikin kejutan.” Ujar Rian dengan nada setengah protes.
“Bagaimana kakak memberi kalian kejutan? Usahakan Maria senang dengan kejutan itu sebagaimana kalian senang dengan kejutan yang kakak berikan kepada kalian.” Jelasnya. “Kakak pergi dulu.” Akhirnya, meninggalkan anak-anak yang masih menatapnya dengan tidak mengerti.
Pak Arman menyetir dengan kecepatan tinggi, membelah jalan menuju Rumah Sakit Umum Lamaddukelleng. Kecepatan mobil itu hanya akan menurun jika berada di tikungan ataupun di persimpanga jalan. Pak Arman memang seorang penyetir yang andal. Sebelum mengabdikan diri di panti asuhan itu, ia memang pernah punya pengalaman kerja di sebuah industri roti di Maros. Ia bertugas sebagai sopir transportasi barang di sana selama lima tahun. Pengalaman yang tak singkat itu pastinya telah membuatnya terlatih mengemudikan mobil.
Mereka sampai tak lebih dari tujuh menit. Baso turun dari mobil sambil membawa selimut yang diminta oleh Ibu Khairah tadi sore. Selimut itu untuk Maria. Karena Maria hanya mengenakan pakaian pasien selama ini. Pakaiannya yang ia kenakan sewaktu kejadian itu sudah runyak tersobek pecahan beling.
Pak Arman tak ikut masuk. Ia berjaga di dalam mobil sementara Baso ke ruang perawatan Maria.
“Assalamu ‘alaikum.” Baso memberi salam sambil membuka pintu ruangan itu.
“Wa’alaikum salaam. Tuh, Kak Baso sudah datang.” Ucap Ibu Khairah dengan Maria yang berada dalam pangkuannya. Jarum infus sudah dilepas dari tangannya.
Melihat kehadiran Baso, Mari tersenyum. “Maria sudah mau pulang, Kak.” Ucapnya dengan suara yang sudah agak halus. Itu karena obat dari dokter. Namun karena sifatnya yang temporer, Maria harus meminum obat itu secara berkala agar efeknya tidak hilang. Tapi walaupun begitu, ia tetap tidak boleh berteriak ataupun terbahak. Karena itu dapat membuat kontraksi kuat di pita suaranya yang bisa berakibat fatal.
“Iya. Kakak juga kesini ingin jemput Maria.” Ucapnya sambil menyodorkan selimut kepada Ibu Khairah.
Ibu Khairah melepas pakaian pasien yang dikenakan Maria, lalu membalutkan selimut itu ke tubuh Maria. Masih dengan senyumnya yang manis dan matanya yang berbinar, Maria berpindah dari pangkuan ke gendongan Ibu Khairah.
Sebelum keluar dari rumah sakit, terlebih dahulu, Baso dan Ibu Khairah melaporkan diri kepada petugas rumah sakit. Setelah mengecek bukti pembayaran, akhirnya mereka diperbolehkan untuk pulang.
***
Langit yang dihiasi bintang gemintang nampak begitu indah. Cahaya rembulan yang nyaris purnama itu tak kalah indahnya. Langit benar-benar bersih dari awan. Dan pemandangan indah itu tak dilewatkan Cut.
Di samping jendela kamarnya, ia menengadah, memandang langit malam yang begitu indah. Matanya yang seindah purnama itu menatap langit sambil melontarkan pertanyaan dalam hati.
Mungkinkah Ali menatap bulan yang serupa? Apakah Ali masih menaruh harapan padaku? Bisakah saya bertemu dengan Ali barang sekali ini saja?
Walau sadar, pertanyaan-pertanyaan dan permintaannya itu mustahil terkabul untuk saat ini, ia tetap menggemakan pertanyaan itu dalam hatinya. Melakukan itu seakan membuatnya merasakan keahadiran Ali yang sebenarnya.
Ditengah lamunannya itu, ponselnya tiba-tiba berdering. Di layar ponselnya itu, terpampang nama ibunya. Awalnya, yang tertulis sebagai pemilik nomor itu di ponselnya adalah ‘Ummii’. Tapi semenjak ia tahu semua, segala kenyataannya, akhirnya, dengan penuh keterpaksaan dan kekecewaan, ia menggantinya dengan ‘Bunga’.
“Halo?”
Terakhir kali ibunya menelpon adalah dua hari sebelum acara syukurannya Pak Abdul Ghani. Itu pun berjalan singkat sekali. Ibunya hanya menanyakan keadaan dan sekolah Cut. Cut juga hanya menjawab pertanyaan itu seadanya tanpa respon lebih. Di akhir percakapan itu, ibunya kembali meminta maaf atas segalanya, dan Cut hanya mengiyakannya saja.
“Iya?” Ucap Cut, menjawab sapaan itu. Tak ada lagi salam sebagai pembuka percakapan itu.
“Kabar kamu bagaimana, nak?” Tanya ibunya di seberang dengan penuh kerinduan dan rasa bersalah. Suaranya rada-rada serak.
“Saya baik-baik saja.” Jawabnya sekenanya saja.
“Bibi Citra sama Paman Asse baik-baik saja?”
“Mereka baik-baik saja.”
Ibunya mendesah. Cut masih belum bisa memaafkannya. “Sekolah kamu lancar?”
“Lancar.” Jawabnya, singkat dan terkesan ketus.
“Bibi Citra bilang, hafalan kamu sudah sampai. Apakah benar sudah sampai, nak?” Tanyanya lagi.
“Sejak enam hari yang lalu.”
“Alhamdulillah. Kamu tambah hafalan kamu, ya. Kalau perlu, tuntaskan sampai 30 juz. Dan pahalanya, kamu kirim kepada almarhum ayah kamu.”
Kali ini, Cut tak mampu mengucapan apa-apa untuk membalas kalimat itu. Ayah. Ia baru kembali mengingat sosok itu. Selama ini, dalam do’anya, tak pernah ia mengingat untuk melampirkan pengharapan untuk ayahnya. Hatinya tertutup kabut kebencian. Dan itu membutakan mata hatinya dari melihat apa yang seharusnya dilihat. Tak sadar, air mata membasahi pipinya.
“Halo?” Ibunya memastikan telpon tidak terputus. “Kamu masih di sana, kan, nak?”
Tapi Cut tetap tak mengucapkan apa-apa. Air matanya semakin deras, dan isak tangisnya tak dapat lagi disembunyikannya. Panggilan itu diakhirinya dengan menekan tombol tutup. Cut menangis tersedu-sedu. Bibirnya bergetar dan tenggorokannya tercekat. Dadanya panas dan hidungnya berair. Ia benar-benar menyesal telah memperlakukan ibunya sedemikian kejamnya. Tak sampai ia pikirkan bagaimana perjuangan sang ibu menggendongnya diatas jalan takdir yang penuh dengan onak duri yang melintang. Buta! Benar-benar anak durhaka! Bisakah surga merindukan wanita pendurhaka! Dikutuknya dirinya sendiri yang dilanda penyesalan.
Di seberang sana, ibunya menangis. Di sampingnya, si anak sulung, Rangga, meremas pelan lengan ibunya yang dialiri cairan infuse. Air matanya juga deras mengalir. Sudah dua minggu ini, Ibunya menderita diare. Akut. Tubuhnya pucat dan berat badannya turun drastis. Ia tak bisa makan apa-apa selain menelan bubur. Itu pun hanya satu dua suap saja. Selebihnya?
“Ibu yang sabar, ya. Saya akan coba bicara sama Adiak.” Ucap Rangga, berusaha menenangkan ibunya.
Ibunya menggeleng. “Jangan. Kamu jangan beritahu dia.”
“Kalau begini terus, kondisi Ibu kapan baiknya. Saya yakin, Bu, Adiak Cut tidak akan tega melakukan itu pada ibu jika dia tahu kondisi Ibu bagaimana.”
Ibunya tetap menggeleng. “Ibu tak mengizinkan kamu menghubungi Cut. Biarlah ia mencoba memaafkan ibu.”
Rangga terdiam, menunduk. Air matanya menetes, jatuh, membasahi lantai.
“Ibu tak akan memaafkan kamu jika kamu menghubungi Cut, Rangga.” Sambungnya dengan lirih. “Ibu akan mengizinkan itu jika kamu datang kelak di pesta pernikahannya.”
***
Sesampainya Maria di panti, ia langsung disambut dengan nyanyian oleh anak-anak yang lain. Mereka bernyanyi dengan riang gembira, membuat Maria ikut bertepuk tangan. Di leher mereka masing-masing, tergantung papan kardus yang tertulis kata yang jika digabung semuanya membentuk kalimat ‘Selamat datang kembali Maria!’. Dan papan kardus yang bertuliskan nama Maria itu tergantung di leher Dawai.
Dawai tampaknya mengambil alih. Ia menarik pandangan Maria dan berjalan menuju meja ruang tamu yang diatasnya terdapat tiga kotak kado. Ibu Khairah mengerling pada Baso, menuduhnya sebagai pelaku semua ini. Baso mengedikkan bahu. Memang ia yang meminta mereka membuat kejutan untuk Maria. Tapi soal kado-kado itu, bukanlah rencananya.
“Ayo dibuka, Maria!” seru Dawai, meminta Maria membuka kotak-kotak itu.
Namun Ibu Khairah belum mengizinkan Maria membuka kado itu. “Maria masih perlu istrahat. Nanti, kalau Maria sudah sembuh, Maria boleh deh buka kado-kado itu.”
Anak-anak pada mengeluh, kecewa. Tapi Baso menyemangati mereka dengan memuji usaha yang mereka lakukan untuk menyambut Maria. Setelah Maria lenyap di ambang pintu kamar, Baso bertanya kepada mereka semua. “Kalian dapat kado-kado itu darimana?”
“Kotaknya kami ambil dari bekas kado yang Kakak kasih sama kami. Lalu pembungkus dan pitanya, kami pinjam uangnya kak Anto.”
“Lalu, isinya?”
“Boneka kecil milik saya. Mukena baru milik Tian. Dan cokelat dari Kak Anto.” Jelas Dawai, menyebutkan satu persatu isi dari kotak itu.
Baso tersenyum. “Kalian sudah bikin Kakak bangga. Kalian bisa bikin Maria senang dengan kejutan ini.”
“Tapi, tidak seru kalau Maria tidak buka kotaknya.”
“Mungkin kita akan buka kotaknya besok untuk Maria. Besok hari Jum’at. Kakak libur. Jadi, kita bisa mulai besok pagi. Setuju?”
“Bener, nih?” Dawai tampak masih ragu dengan wajah kecewanya.
“Janji.” Baso mengulurkan kelingkingnya untuk semua. Dan yang lain mengaitkannya dengan kelingking mereka masing-masing.
“Sepakat!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Child Anymore (End)
RomanceJika kita masih dianggap anak kecil oleh dewasa-dewasa disana, biarlah disini kita yang merasa lebih dewasa dari mereka.