“Sebenarnya, saya tak menolak. Saya hanya tak bisa memilih iya.”
-Cut Tian Humairah-Jama’ah laki-laki berhamburan keluar masjid. Shalat Jum’at sudah dilaksanakan. Baso tak langsung keluar dari masjid setelah ia shalat sunnah ba’diyah Jum’at. Ia memutuskan untuk menenangkan dirinya. Masih dipertimbangkannya apa yang ingin ia sampaikan pada Cut. Sudah tepatkah jika ia memberitahunya nanti?
Ia mendekatkan diri kepada Tuhan. Pemilik segala cinta dan kasih sayang yang cinta dan kasih sayangnya jauh lebih tinggi kepada hambanya dibanding kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Baso terperanjat dalam do’anya, memanjatkan harap agar ia diberi petunjuk untuk mengubah, membanting stirnya, mengikuti jalan yang semula tidak dilihatnya di perempatan.
Barulah setelah masjid lengang, dan petugas masjid mulai kembali membersihkan karpet, Baso beranjak dari duduknya. Ia keluar dari masjid dan memperhatikan apa pun yang ada di sekitanya. Ia terlanjur tersugesti. Siapa tahu, petunjuk Tuhan ada pada sesuatu yang tidak disadarinya. Di tengah perjalananpun, matanya tak pernah lepas dari semua yang dilewatinya. Entah itu pedagang yang menjajakan makanan, penumpang-penumpang bemor yang duduk menikmati angin gersang Sengkang, bahkan tikus yang berlarian, bersembunyi di got-got. Namun sayangnya, tak satupun dari apa yang diperhatikannya itu memberinya sedikit petunjuk.
Sesampainya di panti, ia segera disambut oleh Ibu Sira di ambang pintu, memintanya segera masuk untuk makan. Anak-anak yang lain sudah pada menikmati masakan Ibu Sira. Tampak Ryan dan Roni yang masih dengan baju kokonya melahap makan siang itu. Mereka berdua selalunya shalat di masjid yang dekat dari panti. Baso selalu menemani mereka ke sana. Lalu setelah itu, ia akan melanjutkan perjalanan menuju masjid Jami’ As’adiyah Sengkang yang jaraknya tak terlampau jauh dari panti. Tak sampai harus keluar keringat untuk menempuhnya.
“Kak Baso!” seru Maria saat melihat kehadirannya. “Ayo makan sama Maria.”
“Hus! Ingat pesan dokter. Jangan teriak-teriak.” Ibu Khairah, yang duduk, menyuapinya, di sampingnya menegur. Maria yang baru sadar, segera menutup mulut sambil menyembunyikan wajah malunya.
Baso tersenyum, melihat Maria yang lupa akan pesannya. Mungkin obat itu sudah menghilangkan rasa sakit di tenggorokan Maria, sehingga Maria lupa, bahwa ternyata ia tak boleh teriak-teriak seperti dulu lagi. Itu bukan pertanda buruk. Berarti, obat itu benar-benar menguatkan pita suaranya. Walau hanya untuk jangka waktu tertentu.
“Mau disuap?” Baso duduk di seberang meja, tepat di depan Maria dan Ibu Khariah.
Maria seketika mengangguk. “Iya, Kak. Mau.”
“Tapi kan sudah ada Ibu Khairah yang suap?”
Maria mengangkat kepalanya, menatap Ibu Khairah dengan penuh pengharapan. Maria menunjuk Baso, memberi Isyarat bahwa ia ingin disuap oleh Baso. Ibu Khairah agak kesal dengan itu, sekaligus gemas dengan tingkah Maria. “Sudah. Makan cepat, lalu makan obat.” Tukas Ibu Khairah, menyodorkan sesuap nasi ke mulut Maria.
Maria cemberut. Ia ingin disuap oleh Baso. Tapi pada akhirnya, mulutnya tetap terbuka, mengunyah suapan dari Ibu Khairah.
Setelah makan, Baso langsung ke kamarnya. Kepalanya dipenuhi berbagai macam dugaan-dugaan. Jadinya, dalam sadar, ia melamun dalam konflik di kepalanya. Itu berlangsung beberapa saat sebelum ia memutuskan untuk mengakhirinya. Ponsel. Itulah yang harus dilakukannya terlebih dahulu. Tak ada sesuatu yang lebih jelas selain fakta yang sudah terbukti, dan tidak ada hal yang mengecoh daripada fakta yang sudah jelas. Ungkapan detektif fiksi legenda itu—Sherlock Holmes, mungkin tepat mengungkapkannya.
Baso menekan ikon daftar kontak dan mencari nomor kontak Cut. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Cut tak mungkin masih di sekolah. Kelas tambahan itu berakhir sebelum Jum’at. Tanpa ba bi bu, ia menekan tombol call.
“Halo. Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salaam. Baso, ya?” Tebak Cut sehabis membalas salam.
“Iya.”
Cut tersenyum, mengingat Baso yang tak pernah diketahuinya menghubungi nomornya setelah beberapa minggu ini. “Ada apa? Kok kamu baru telpon?”
“Yah…aku sibuk beberapa hari yang lalu.” Baso memilih untuk berbasa basi dulu.
“Sibuk? Kamu sibuk mengurus adik-adik kamu?”
Baso tertawa. “Itu salah satunya.”
“Oh, ya. Bagaimana keadaan Maria? Saya jadi tidak enak tak pernah menjenguk dia.”
“Maria sudah keluar dari rumah sakit.” Jawabnya. “Semalam.” Tambahnya sebelum Cut melontarkan pertanyaan untuk jawaban itu.
“Semalam? Panjang umur dong. Semalam saya juga memikirkan bagaimana keadaan Maria. Untung saya tidak pergi, ya.” Kelakarnya.
“Iya. Maria sudah bisa bermain dengan anak-anak yang lain. Luka jahitannya sudah mulai mengering. Dia sudah lebih baik dari sebelumnya.” Ujar Baso, mejelaskan keadaan Maria.
“Alhamdulillah.” Salut Cut, senang mendengar kabar Maria yang sudah membaik itu. “Oh, ya. Saya baru ingat lagi. Malam itu, kenapa kamu lari?”
Baso terperanjat, tak tahu harus mengatakan apa. Kepalanya berputar, mencari, menyusun dan menyeleksi alasan terbaik sebagai jawabannya nanti. Berbohong? Ia berniat untuk melakukannya. Tapi tekadnya dibulatkannya. Ia ingin muncul sebagai Baso yang mengambil jalan lain di persimpangan. Ia ingin hadir sebagai Baso yang baru.
“Em…sebelumnya, aku minta maaf.” Ucap Baso, memulai. Basa basi sudah berakhir. Kini waktunya membicarakan main topic. “Sebenarnya, aku bukan kakak Maria dan yang lainnya. Aku bukan bagian dari mereka dan mereka bukan bagian dari yang lainnya juga.”
Kening Cut berkerut. Alisnya bertaut. Mulutnya mengatup. “Saya tidak mengerti apa yang kamu katakan. Bukan bagian dari mereka? Maksudnya apa, Baso?”
Baso mendengus. “Aku percaya kamu. Semua yang aku bilang sama kamu tentang mereka dan aku itu tak ada yang jujur. Semuanya hanya akal-akalanku saja.”
“Akal-akalan? Maksud kamu, kamu lari karena tak ingin bertemu dengan saya?”
“Mereka bukan adik-adikku, Cut.” Terangnya, tak tahan dengan Cut yang tak henti-hentinya salah paham. “Roni bukanlah kakak siapa pun dari mereka dan Maria bukan adik siapa pun dari mereka. Mereka itu anak panti, Cut. Mereka itu anak pungut!”
Cut terperangah mendengar itu. Ia tak sampai sangka, Baso membohonginya. Tapi yang lebih membuatnya heran adalah panggilan itu. Cut. Darimana ia tahu bahwa namanya Cut? Seseorang memberitahunya?
“Kamu tahu nama itu dari siapa, Baso?”
“Itu tak penting untuk kamu tahu. Tapi nama kamu benar-benar Cut. Aku tak ingin membahas hal yang tak penting seperti itu.” ucap Baso, berusaha menyembunyikan keterkejutannya sendiri. Ia tak sadar, mengucapkan panggilan itu.
“Jadi, kamu berbohong pada saya tentang mereka?” Tanya Cut “Jadi itu kenapa kamu lari di malam itu? Kamu takut kebohonganmu terbongkar?” Cut menegang.
“Ya! Aku tak ingin kamu tahu semua itu.”
“Lalu kenapa sekarang awak mengatakan semua itu sekarang?!” gertak Cut, kembali dikuasai api dalam dadanya.
Baso terdiam sejenak, lalu kemudian menjawab. “Karena aku rasa, ini waktu yang tepat.” Lirihnya. “Sebelum semuanya terlambat. Sebelum perahu tertambat. Sebelum nafas tersendat. Sebelum pedang tertancap.” Kembali terjadi jeda yang agak panjang. Cut juga sedang menunggu apa yang sebenarnya ingin Baso katakan.
“Maksud kamu sebenarnya apa? Saya tak mengerti apa pun. Tak usah bersajak-sajak dengan saya.” Cut tak tahan dengan segala ketidakjelasan yang ia dengar.
“Aku ingin tahu kamu lebih dalam, Cut.” Tegasnya, menggetarkan relung hati gadis di seberang sana. “Aku tak pernah menaruh hati dengan siapa pun. Itu karena aku benci perempuan. Mereka pendusta, pendosa! Itu yang aku tahu selama ini. Tapi kehadiran kamu memberi ruang pikir yang berbeda.”
Cut masih terperanjat dengan ponsel di tangannya. Ia tak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Sosok Ali yang selama ini ia dambakan, lantas hadir di depannya disaat ia tak lagi yakin dengan harapan itu.
“Kamu muncul tibat-tiba. Aku tak mengerti apa arti kemunculanmu itu. Apakah hanya sekadar kebetulan atau sebuah rekayasa, atau memang skenario Tuhan.”
Dalam hatinya, Cut menangis. Ia tak mengerti harus mengatakan apa sekarang.
“Aku seakan melihat pagi yang kembali dari peraduannya dan menatap senja yang kembali ke haribaannya. Kamu cantik. Iya. Tapi aku pernah benci kepada perempuan yang lebih cantik lagi. Sesuatu yang berbeda. Jika dua itu adalah satu tambah satu, aku akan mengatakan bahwa satu tambah satu adalah satu. Paling tidak dua angka satu. Aku tak pernah mengakui bahwa jawabannya dua. Cukup satu. Dan itu tergantung padamu. Satu jawaban saja dari dua pilihan yang ada. Iya atau tidak.” Baso memejamka matanya. “Aku ingin kenal kamu bukan sekadar teman. Apakah kamu…”
“Awak tak bisa lagi! Saya sudah punya tunangan, Baso!” Tegas Cut dengan air mata terburai bagaikan tetes air hujan. Wajanya kelabu bagaikan awan mendung. Sinar matanya terang bagaikan sesambar kilat. Dan semua itu membuat Baso terdiam seribu bahasa. Apalah bodohnya ia tak menanyakan lebih dulu apakah Cut sudah punya kekasih sebelum ini atau belum. Tak salah mengungkapkan rasa, tapi apalah susahnya menanyakan rasa lebih dulu?
“Saya sudah jadi milik orang lain, Baso. Saya tidak bisa menolak itu.” Sambung Cut. “Seandainya saya bisa menolak semua takdir itu saya akan memilih kembali ke kampung dan memutuskan untuk hidup bersama Ali. Pemilik hati saya.”
Baso merasa seperti terjatuh dari puncak gunung. Waktu berjalan begitu lambat, detik waktu bagaikan hendak berhenti. Semuanya hampa.
“Ali itu pemuda baik-baik, Baso. Ramah. Sopan. Rendah diri. Wara’. Walau saya tahu, bahwa saya tak akan bertemu dengan Ali, saya tetap percaya dan menaruh harap padanya agar ikrar kami bisa tercapai di masa depan nanti. Tapi kehadiran kamu membuat saya menolak itu. Kamu adalah Baso, tapi aku melihat kamu sebagai Ali. Kalian sama. Persis. Dan saya sadar, saya salah besar karena saya melihat kamu seperti dia.
“Purani pettu adae, Baso. Tana’ko kaluku lolo, tanekko bine kapa, kodong temmaddapi. Tak ada harapan lagi. Seddima’ paramata pole ri sisebbue paramata. Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik jika kamu mau, Baso.”
Baso terdiam. Mulutnya terkunci. Lidahnya kelu. Tenggorokannya tercekat. Tak bisa diungkapkannya apa yang ia rasakan sekarang ini. Malu, kecewa, putus asa. Andai ada satu kata yang bisa mengungkapkan ketiganya itu sekaligus, maka itulah yang ia rasakan saat ini. Tangannya yang menggenggam ponsel bergetar. Matanya perih. Ia sudah mengambil langkah yang salah.
‘Ketenangan itu dari Allah, dan ketergesa-gesaan itu dari syaitan.’
“Maaf jika saya lancang.” Lirih suara Baso setelah diam selama sekian saat.
“Tidak.” Cut menyela. “Saya ingin bilang sesuatu sama kamu. Walau saya tahu, ini sudah terlanjur terlambat. Tapi kamu berhak tahu itu.” Cut menghapus air matanya. “Saya juga suka sama kamu, Baso.”
Baso seakan ingin menangis mendengar ungkapan dari lubuk hati Cut yang paling dalam itu. Tapi air matanya tak kunjung keluar. Disaat-saat yang begitu perih seperti ini, ia baru sadar, bahwa menangis bisa membuat semuanya lebih baik.
“Saya tahu, saya tidak akan pernah pulang ke kampung halaman saya lagi.” Ujar Cut. “Nenek saya mengutuk tempat itu bagi saya. Saya tidak akan bertemu dengan Ali lagi. Tapi saya melihat Ali waktu di lahan parkir mall. Itu kamu. Saat saya ajak kamu ke rumah, itu karena saya ingin meluapkan segala rindu saya kepada dia. Di saat lain, ketika awak saya larang ke rumah, itu karena saya sudah dipinang oleh Wahid. Putra Pak Abdul Ghani. Rumah yang kamu datangi malam itu. “Saya masih gadis. Saya tak ingin mendatangkan fitnah dan bencana pada diri saya sendiri jika menolak itu. Terima atau tidak, pada akhirnya, saya akan tetap mengikuti arus. Tak ada daya bagi sebutir debu yang jatuh ke sungai untuk melawan jeram.”
“Jadi, orang yang mengantarmu ke rumah sakit itu tunangan kamu?” Baso berusaha membelokkan alur pembahasan. Jika terus begini, keadaan akan semakin memburuk.
“Maaf jika saya tak memberitahumu malam itu.”
“Oh, tak masalah. Memang sebaiknya kamu tak memberitahu itu padaku. Ini memang waktu yang tepat.” Ia tertawa hambar kemudian. “Menurut kamu, apakah aku ini malu-maluin? Maksud aku, apakah kamu merasa malu jika kamu dalam posisi aku?”
Terdengar suara tawa di seberang sana. Tawa yang dihiasi isak tangis Cut. “Wajar. Mungkin saya pernah merasakan hal serupa lebih sering dibanding kamu.”
Baso merasa lega. Akhirnya ia bisa keluar dari topic utama. “Jadi sekarang, kita berteman, ‘kan?”
“Berteman? Bukannya sejak kita kenal kita sudah berteman?”
“Yah, bagaimana, ya. Aku hanya merasa, kalau kamu itu hanya kenalanku saja. Tak lebih dan tak kurang.” Ujar Baso.
Cut kembali tertawa. “Kejamnya. Padahal saya tak menganggapmu kurang dari seorang teman baik.” Ia menghapus sisa-sisa air matanya.
“Jadi, ceritanya, ini bertepuk sebelah tangan, ya.” Kelakar Baso, membuat Cut tertawa untuk yang kesekian kalinya. “Kalau kamu sudah berkeluarga nanti, jangan lupa sama aku, ya. Mungkin kita hanya teman. Tapi kamu mungkin lebih sibuk mengingat musuh kamu dibanding teman-teman kamu di kampung halaman.”
“Cerewet awak ini.”
***
Menuju ke dua hari sebelum keberangkatan Cut
Baso untuk sekian kalinya merobek, merombak dan merubah pilihannya. Dan untuk yang kesekian kalinya, Baso membaca surat itu.
Untuk Baso
Assalamu ‘alaikum. Saya harap, kamu membaca surat ini dalam keadaan baik.
Selmat Ulang Tahun! Semoga Tuhan memberkati umurmu.
Ramadhan tinggal dua minggu lagi. Saya akan berangkat ke Malili lima hari, kalau bukan empat hari sebelum Ramadhan. Di sana rumah mamanya Wahid. Saya rencananya akan menghabiskan Ramadhan di sana. Dan saya mengajak awak untuk ikut ke sana.
Sebelumnya, saya minta maaf, saat saya bilang tak bisa menerima kamu sebagai orang yang lebih dari sekadar sahabat. Saya berusaha menganggap kamu teman,, tapi saya ternyata tidak bisa. Bukanlah lagi karena kamu adalah Ali. Bukanlah lagi karena itu. Kamu berbeda. Kamu bukan Ali. Ternyata, Ali sudah punya pengganti saya juga. Saya tidak sedih dengan kabar itu. Saya malah senang, karena saya tak lagi membuatnya menjadi seekor pungguk yang merindukan bulan.
Saya suka sama kamu, Baso. Tulus dari lubuk hati saya yang paling dalam.
Saya terus membayangkan diri saya berada di belakang awak. Saat awak menjadi imam, dan memimpin ibadah agung itu untuk saya. Tapi saya hanyalah seekor pungguk yang merindukan bulan. Itu tak mungkin terjadi. Tapi masih ada pilihan lain untuk itu. Itulah mengapa saya tulis surat ini.
Imam masjid di Malili sana sedang cari imam tarwih, rangkap dengan witir dan ceramah untuk Ramadhan ini. Saya usulkan kamu pada Paman Abdul Ghani dan dia menyetujuinya. Bibi saya juga tidak keberatan dan begitupun dengan Wahid. Dia malah senang jika kamu yang jadi imam di sana.
Saya akan sangat senang jika kamu menerima tawaran saya. Dengan begini, setidaknya saya bisa menjadi makmumnya awak di bulan yang Ramadhan nanti. Tapi saya juga tak memaksa. Siapa tahu kamu punya kesibukan lain.
Sehabis membaca surat ini, saya harap kamu segera mengirim jawaban. Tak usah lewat telepon. Ponsel saya rusak dan saya hanya memakai ponselnya Wahid jika mau menelpon. Secepatnya, ya. Wassalam.
Ia ingin mengiyakan ajakan itu. Ya. Tapi ia seakan tak tega meninggalkan adik-adik pantinya. Mereka akan menghabiskan Ramadhan tanpa kehadiran dirinya. Pasti mereka akan merasa kesepian, karena selama ini, ia selalu menemani mereka di Ramadhan-Ramadhan tahun lalu.
Baso melihat tanggal. Hari ini tanggal 28. Hari Ahad, minggu terakhir di bulan April. Cut akan berangkat lima atau empat hari sebelum Ramadhan. Berarti kemungkinan, Cut akan berangkat antara tanggal satu atau dua di bulan Mei. Tinggal tersisa dua hari. Tiga hari dengan hari ini.
Iya atau tidak.
Dalam renungnya, ponselnya tiba-tiba berdering, membuatnya segera tersadar. Nama Zulkifli, temannya, terpampang di layar ponselnya. Batin Baso, mengapa Zulkifli menghubunginya? Untuk apa? Ujian sudah berakhir, dan semua santri sudah pulang ke haribaan masing-masing.
“Halo?”
“Baso, kamu dimana sekarang?” Suara Zulkifli terdengar agak panik dan tegang.
“Ah? Saya sedang di rumah.”
“Di Sabbangparu?”
“Iya.” Jawab Baso.
“Kamu bisa ke Sengkang sekarang?”
“Memangnya ada apa?”
“Ibu Ratna kecelakaan.”
Baso sentak berdiri mendengar kabar itu. Ibu Ratna. Ia guru yang baik dan ramah. Murah senyum dan bijak. Santri-santri mengidolakannya sebagai guru terfavorit. Dia tidak pernah marah dalam sejarah mengajarnya. Selalu menghadapi setiap masalah dengan senyuman. Jika ada santri yang remedial di mata pelajaran yang ia ajarkan, ia tak tega memarahi mereka. Namun dibalik kelembutannya itu, ia juga tidak bisa digampangi oleh santri-santri didikannya. Singkatnya, ia salah satu guru yang paling disegani oleh santri-santri selain dua guru killer yang lain, semisal Pak Hadi dan Ibu Aini.
Suaminya adalah seorang kepala sekolah di salah satu cabang As’adiyah di kecamatan Anabanua. Aslinya, ia orang Bulukumba, namun ia sudah bermukim di Sengkang.
“Kebetulan, aku masih di Sengkang.” Baso sadar, ia tak bisa berbohong untuk saat ini.
“Loh? Katanya di Sabbangparu?”
“Aku baru mau pulang. Aku dari pasar sentral. Kamu bisa jemput aku, tidak? Di depan panti asuhan.”
“Oke. Kamu tunggu aku disitu.”
Telepon terputus. Baso memasukkan ponselnya ke saku celananya. Ia kemudian segera mengganti pakaiannya dan keluar dari panti. Ditunggunya Zulkifli, tepat di depan gerbang. Beberapa saat kemudian, Zulkifli tiba. Baso segera naik diatas motor dan melaju menuju Rumah Sakit Umum Lamaddukelleng.
“Kamu belum pulang kampung?” Tanya Baso kepada Zulkifli.
“Belum. Rencanya besok.” Jawabnya sambil tetap fokus pada jalanan.
“Saya kira asrama sudah ditutup sama Pak Roswadi.”
“Belum. Anak-anak di asrama masih banyak yang belum pulang. Mana mungkin dia menutupnya.” Jelas Zulkifli.
“Kamu tahu darimana kalau Ibu Ratna kecelakaan?”
“Pak Roswadi yang kirim kabarnya di grup WA. Guru-guru yang lain juga sudah pada datang di sana. Anak-anak asrama yang belum pulang semuanya ke sana.”
Beberapa saat diatas motor, akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Dari kejauhan, tampak anak-anak berpeci bergerombol di depan ruang UGD. Ibu Selfi dan suaminya juga ada di sana beserta guru-guru yang lain. Baso dan Zulkifli segera berlari menuju kerumunan itu.
“Bagaimana kabar Ibu Ratna?” Tanya mereka berdua saat tiba di kerumunan.
“Belum ada kejelasan. Tapi semoga saja Ibu Ratna baik-baik saja.”
“Aamiin.” Seru mereka.
Sementara itu, disisi lain Cut sedang ditanya oleh Pak Abdul Ghani. Pihak masjid meminta kejelasan apakah temannya Cut, Baso, sudah pasti akan datang atau bagaimana. Karena Ramadhan sebentar lagi tiba. Jika tidak, pihak masjid akan mencari muballigh yang lain.
“Bagaimana, ya. Saya juga belum pernah bicara sama Baso, Pung. Saya mau hubungi, tapi ponsel saya rusak.” Ujar Cut, resah.
“Terus bagaimana? Kita beritahu, kalau dia tak jadi datang?” Pak Abdul Ghani meminta konfirmasi.
“Eh! Tidak juga, Pung. Nomornya ada di ponselnya Wahid. Insya Allah, nanti kalau Wahid sudah pulang dari kantor, saya akan hubungi.” Jelas Cut.
Pak Abdul Ghani kemudian menghubungi kembali pihak masjid, meminta agar mereka menunggu sampai kabarnya datang nanti malam.
Cut kemudian kembali ke kamarnya, setelah ia dipanggil Pak Abdul Ghani. Ia merasa tidak enak. Apakah Baso sudah membaca surat itu? Atau jangan-jangan, kotak kado itu belum sampai di tangannya? Dengan resah, ia memikirkan bagaimana solusinya nanti jika nanti malam, masih belum ada kejelasan dari Baso.
Saat malam tiba, selesai makan malam, pihak masjid kembali menghubungi Pak Abdul Ghani. Saat itu, mereka semua sedang berkumpul di ruang tamu. Melihat itu, Cut segera meminjam ponselnya Wahid.
Cut mencari nomor kontak itu, lalu menghubunginya. Ponsel Baso berdering. Berdering di saku celananya. Saku celana yang ia gantung di belakang pintu. Ia memasukkan ponselnya kedalam sana saat hendak berangkat, dan lupa mengambilnya sebelum ia keluar dari panti. Jadilah ponsel itu bergetar sendiri, tanpa ada yang mendengarnya.
Baso masih ada di rumah sakit, menunggu kepastian dari dokter. Anak-anak yang lain sudah ada yang pulang. Namun ia dan Zulkifli masih tetap setia di sana, demi menunggu kabar Ibu Ratna. Sudah dua jam sejak Ibu Ratna ditangani oleh pihak rumah sakit, namun belum ada kabar sedikitpun. Guru-guru yang lain juga sudah pulang. Yang masih tinggal adalah Pak Roswadi, pembina asrama tahfidz H. Djafar Ba’sam, Pak Erwin, Pembina asrama Ummu Salamah lantai dua, dan Pak Rustan, Pembina asrama Dua lantai satu.
Cut makin resah. Tak ada yang mengangkat telepon itu. Sementara, bapaknya Wahid sudah menunggu dari tadi. Tak ada pilihan lain. Ia memutuskan untuk meletakkan taruhan. Ia percaya pada Baso, dan yakin bahwa Baso akan menerima tawaran itu.
“Sudah pasti, Pung.” Ucap Cut dengan nada yang meyakinkan. Padahal, jantungnya berdebar kencang bagai derap sepatu kuda yang sedang berlari. Bagaimana jika ternyata Baso tidak menerima tawaran itu? Kebohongan apakah selanjutnya yang harus ia buat untuk menutupi kebohongan itu?
“Sekarang masalah yang satu ini sudah selesai.” Ucap Pak Abdul Ghani. “Yang tersisa sekarang adalah tempat resepsi dilaksanakan. Apakah di Sumatera dan Sulawesi, atau cukup di Sulawesi saja.”
Wahid sudah membicarakan hal ini pada ayahnya selepas ia datang ke rumah Cut bersama Naini dan Rabi’ah. Tapi, kala Wahid memberitahu ayahnya tentang itu, ayahnya belum mengemukakan keputusan. Dan di waktu kumpul inilah, waktu yang paling tepat untuk mendiskusikan tentang jadi atau tidaknya dijalankan permintaan Ibu Sitti Kristina.
“Eloku iya’, madecengngi kapang narekko ajana topatettong baruga ri Sumatera. Lebih baik kita mengadakan resepsinya di sini saja, Pak.” Ujar Wahid. “Bukan karena apanya, selain susah, juga terkesan terlalu mewah dan boros biaya. Ripattongengngi Cut narekko mawere’i. Nasaba’ tania ampe selleng takabboro’e. Wajar kalau Cut merasa kurang berkenaan, karena mengadakan resepsi di di sini dan di Sumatera terkesan terlalu boros. Boros itu bagian dari mubazzir dan mubazzir itu sifatnya syaitan.”
“Ini bukan masalah mewah atau bagaimananya acara ini nanti.” Ayahnya meluruskan. “Elona emma’mu, sarekkoammengngi iyaro sumpulolo-sumpulolona Cut ri Sumatera wedding naita abbottingenna Cut. Kehendak ibumu itu, ingin agar handai taulannya Cut yang ada di Sumatera bisa menghadiri resepsi pernikahannya Cut.”
“De’ sumpulolo ri Sumatera, Pung. Kalau yang jadi permasalahan adalah hadirnya kerabat-kerabat Cut di resepsi nanti, sebaiknya kita tak perlu ke Sumatera, Pung.” Bibinya bersuara. Ia yang paling tidak setuju dengan itu setelah Cut. “Saya hanya dua bersaudara. Saya dengan ibunya Cut. De’ni indo ambo’ku. Nainappa sumpu lolo nennia silessurenna bapa’na Cut teani mitai cappa inge’na Cut sibawa emma’na. Orang tua kami sudah meningal. Dan kerabat-kerabat ayahanya Cut juga sudah tak ingin menerima Cut dan ibunya setelah ayahnya Cut meninggal.” Jelasnya dengan gamblang.
Pak Abdul Ghani terperanjat sejenak. Dari apa yang didengarnya, ia seakan menemukan titik terangnya. “Bagaimana, ya. Sebenarnya ini mudah. Tapi yang susah memberikan penjelasan pada ibunya Wahid.”
“Kabarnya bagaimana, Daeng?” Paman Asse bertanya pada Pak Abdul Ghani, tentang keadaan ibunya Wahid.
“Dia sudah agak stabil.” Jawab Pak Abdul Ghani. “Mungkin ia sudah bisa pulang di hari keberangkatan ke Malili.”
“De’ tona naengka tojokka mita-itai kasi’. Kami juga tak pernah pergi menjenguknya barang sekalipun.”
Pak Abdul Ghani mendesah. “Semoga dia bisa mengerti.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Child Anymore (End)
RomanceJika kita masih dianggap anak kecil oleh dewasa-dewasa disana, biarlah disini kita yang merasa lebih dewasa dari mereka.