Bab 17 Terima Kasih

5 2 0
                                    

"Setitik nila mungkin memang bisa merusak susu sebelanga. Tapi setetes susu tak bisa melakukan sebaliknya. Jika saya adalah susunya, lindungi saya dari tempiasmu. Jika saya adalah nilanya, maafkan saya yang tak tahu diuntung."
-Cut Tian Humairah-

Tiga hari kemudian, tanggal lima di bulan Mei.
Bertepatan dengan hari Ahad yang cerah. Langit bersih dari gumpalan-gumpalan awan. Mentari bersinar seterang-terangnya. Burung-burung kerkicau sesuka-sukanya. Angin pagi yang menyegarkan berembus sesejuk-sejuknya. Ketenangan suasana pedesaan yang sudah jarang ia dapatkan. Terakhir kali ia mendapatinya adalah lima tahun yang lalu. Ia dan ibunya masih bertahan dari segala macam caci dan maki dari kerabat-kerabat ayahnya, terutama neneknya.
Cut menikmati paginya itu dalam bisu di teras rumah. Termenung. Melamun. Tertegun.
Baso benar-benar tega, batin Cut. Harapan terakhirnya itu adalah yang paling ia dambakan dari Baso sebelum Ramadhan ini usai, sebelum resepsi pernikahannya diadakan. Apakah saya hanya merasa diperhatikan oleh Baso, batinnya lagi. Jika iya, kenapa saya harus percaya? Kenapa tidak bisa tidak saya harus percaya padanya? Banyak orang lain yang butuh kepercayaan dari saya, namun kenapa hanya padanya kepercayan itu saya berikan? Dan kenapa semua orang yang saya harapkan memberi sesuatu yang tidak saya harapkan? Ali? Baso? Mereka berbeda, tapi kenapa mereka memberi kekecewaan yang sama? Apakah memang takdir saya untuk terus menerima kekecewaan?
Apakah saya hanyalah seekor pungguk yang merindukan bulan? Batinnya lirih menanyakan itu pada dirinya sendiri. Selama ini, yang ia tahu adalah Baso bukanlah orang yang suka bermain-main dengan janji. Jika berbohong, mungkin iya. Baso pernah berbohong soal adik-adik pantinya. Tapi itu bukanlah masalah besar bagi Cut. Yang menjadi pertanyaan besar dalam benak Cut saat ini adalah, apakah Baso benar-benar setega itu?
Pak Abdul Ghani berang jadinya karena Baso tak jadi ikut malam itu. Tepatnya, hilang entah kemana. Kontak dengannya terputus keesokan harinya saat Cut mencoba menghubunginya. Nomornya sedang tidak aktif. Mungkin lama-lama, akan mati seperti nomor ibunya.
Oh, ya. Ibunya. Belum ada kabar dari bibinya. Atau mungkin, belum ada kabar yang dikirimkan Darwis, adiknya kepada bibinya untuk disampaikan kepada Cut. Ia tambah resah memikirkan semua itu. Tak sadar, Cut mendengus kesal atas semua yang terjadi.
Dari dalam, Naini keluar membawa dua cangkir teh hangat yang masih mengepulkan uap. Naini mengukir senyum di wajahnya, dan Cut membalasnya dengan malu-malu. Mungkin Naini mendengar Cut yang mendengus kesal.
"Mumpung belum Ramadhan, kak." Ucap Naini sambil menyodorkan secangkir teh hangat itu kepada Cut, lalu mengambil tempat duduk di samping Cut.
Naini memanggil Cut dengan sebutan 'kakak' bukan karena Cut lebih tua darinya. Umur mereka sepantaran, namun Cut memang agak tua beberapa hari dari Naini. Ia memanggil Cut dengan sebutan itu karena Cut lebih matang sikap dan tutur katanya. Ditambah lagi, Cut akan menjadi istri kakaknya sekaligus menjadi kakak iparnya.
"Rabiah sudah bangun?" Tanya Cut. Adik termuda Naini itu masih terlelap saat Cut memutuskan menikmati paginya di teras ini.
"Kakak seperti tidak tahu saja." Ujar Naini sambil menyeruput tehnya yang masih mengepulkan uap. "Dia 'kan tak akan bangun sebelum jam sembilan."
"Jadi, ke sekolahnya dia selalu terlambat, dong?"
"Maksudnya bangun sendiri. Kepalanya harus ditempeleng dulu baru bisa bangun. Kalau berharap dia bangun sendiri, kapan ia berangkat ke sekolah."
Cut tertawa. "Biarkan saja dia tidur. Mumpung dia libur."
"Semoga dia bisa mengatur pola tidurnya jika dia sudah tamat SMP. Bisa susah urusannya kalau begini terus." Keluhnya sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Sesuatu yang bagus memang butuh proses. Tak ada hasil yang bagus untuk usaha yang instant. Bedakan saja dengan ikan kering dan ikan basah. Ikan kering bisa tahan lebih lama karena sudah melalui proses pengeringan. Sedang ikan basah tak akan bertahan sampai satu hari untuk bisa tetap segar dan layak konsumsi." Ucap Cut dengan berlagak seperti seorang presenter TV.
Naini mengangguk. "Jadi kita perlu jemur Rabiah dulu supaya bisa bangun lebih awal dari sebelum-sebelumnya, ya, kak." Guraunya sambil tertawa.
Cut memberengut sambil menepuk pundak Naini. Ia kemudian menyeruput tehnya. Sudah tidak beruap lagi. Namun masih cukup panas untuk diteguk.
"Nanti malam sudah tarwih, loh, kak." Ucap Naini.
"Iya. Saya juga baru ingat."
"Teman kakak itu kok tidak jadi datang, sih. Kata Bapa'ku, pengurus masjid jadinya kepepet cari pengganti"
Cut tertegun. Itu mimpi buruk. "Saya juga tak tahu kenapa dia sampai sebegitunya."
Naini menatap lekat-lekat Cut yang menatap kosong ke udara. "Memangnya kakak dengan dia berteman sudah cukup lama? Kelihatannya kalian sangat akrab."
Cut mendesah. "Dia teman." Lirihnya. "Sekadar teman. Ya. Saya rasa dia hanya teman biasa."
Naini menatap tak mengerti. "Tapi kalian sudah kenal lama, kan?"
"Sejak empat bulan yang lalu."
Naini masih belum mengerti sepenuhnya. Mereka sudah kenal sejak empat bulan yang lalu.
"Benar-benar hanya sekadar teman?"
Tak ada jawaban. Cut masih menatap kosong udara. Beberapa saat membisu, akhirnya Cut kembali bersuara. "Saya juga tak tahu, Naini. Kami berkenalan, dekat dan akrab dengan tiba-tiba. Kami tak punya sesuatu yang spesial untuk diceritakan. Tapi itu terjadi sesudah Daeng Wahid resmi jadi tunangan saya."
Naini tak tahu harus mengatakan apa. Ia sama sekali tak mengerti alur pembicaraan Cut. Apa yang sedang ia katakan? Apakah dia ingin mengatakan bahwa Baso bukan sekadar teman?
Pagi beranjak siang. Matahari mulai memanggang. Angin yang tadinya berembus sejuk, kini membawa hawa panas yang menerpa bagaikan pasir-pasir di gurun. Siang adalah satu dari waktu yang mengerikan bagi Cut. Selain siang, tengah malam adalah waktu yang terburuk baginya.
Makan siang.
Satu meja, dengan mereka bertujuh mengelilinginya. Cut berada di sisi kanan meja, bersama dengan Naini dan Litsah. Tepat di hadapannya, duduk Wahid dengan Rabiah di samping kanannya, dan Ibunya di samping kirinya.
Cut hanya mengambil setengah piring nasi. Ia sedang tak bernafsu makan sejak dua hari sebelum keberangkatannya kemari. Banyak hal yang ia pikirkan. Lebih tepatnya, ia membuat dirinya sendiri banyak pikiran. Padahal lauk yang terhidang cukup untuk membuat air liur meleleh. Tapi makanan-makanan itu bukan masakan rumah. Semuanya dari tetangga. Selama tiga hari ini, mereka belum pernah memasak makanan sendiri.
Cut teringat saat mereka tiba. Pukul setengah lima Shubuh. Petugas-petugas masjid sudah membunyikan rekaman lantunan shalawat. Walau tak seramai di Sengkang, mendengar suara itu membuat Cut teringat dengan kota tempatnya menuntut ilmu itu. Cut hendak ke masjid untuk mendirikan shalat. Namun sekujur tubuhnya terlalu letih untuk bisa berjalan. Ditambah lagi kantuknya. Ia tak pernah tidur sedikitpun saat di mobil.
Wahid dan adik-adiknya memasukkan barang-barang kedalam rumah. Begitupun dengan Cut. Setelah semuanya sudah beres, Cut segera mengambil air wudhu dan mendirikan shalat. Tepat saat azan Shubuh berkumandang.
Sampai fajar menyingsing, Cut belum tidur. Bagaimana tidak. Tetangga-tetangga yang ada pada turun, menyambut kedatangan Ibu Sitti Kristina dan keluarganya. Wahid menjadi bahan pembicaraan utama. Apa lagi jika bukan tentang pernikahan anak sulung Pak Abdul Ghani itu? Tetangga-tetangga memuji Cut.
"Wah, cantik, ya."
"Iya le. Bukan muka-muka Sulawesi."
"Kayak orang Jawa."
"Nak Cut ini memang bukan orang Sulawesi." Jelas Ibu Kristina kepada tetangga-tetangganya itu. "Dia orang Aceh."
"Oh.., Sumatera le?"
"Iya. Kan istri saudaranya Bapa' orang sana. Nah, ini keponakan istrinya itu." Tambah Ibu Kristina.
"Oh..." Mereka mengangguk, mengerti. "Memang pintar ibu cari pasangan buat Wahid. Sudah Wahidnya ganteng, calon istrinya juga cantik." Puji mereka tanpa henti.
Melihat antusias tetangga-tetangga yang turun disaat itu membuat Cut sadar, tenyata Pak Abdul Ghani dan Ibu Kristina sangat disenangi dan disegani di sini. Semuanya bertutur yang sopan. Bahkan, memanggil Pak Abdul Ghani dengan sebutan 'Karaeng'. Sedang karaeng itu sendiri adalah sebutan untuk orang-orang yang tinggi tingkat kebangsawanannya di tanah Bugis-Makassar. Orang-orang terhormat dari keturunan bangsawan.
"Kok kamu makannya sedikit?" Tanya Ibu Sitti Kristina, melihat Cut yang makan dengan malas-malasan. "Sejak hari pertama, kamu makannya selalu sedikit? Ada apa?"
Cut tersenyum. "Tidak apa-apa, Pung."
Wahid menatapnya, mencuri-curi pandangan. Dari wajahnya, Wahid merasa Cut sedang resah. Kusut, kusam, buram. Ia tak sesegar saat di Sengkang dulu.
"Saya sudah konfirmasi sama petugas masjid kemarin dan mereka sudah dapat penceramah baru." Ujar pak Abdul Ghani, mengabarkan kabar baik itu. Setidaknya kabar baik untuk mereka. Tidak untuk Cut. "Katanya, mereka ambil dari Sengkang juga. Sekarang, dia sedang dalam perjalanan kemari."
Dalam diam, Cut mendesah. Andai saja Baso ikut...
"Dia akan tinggal dimana nanti?" Tanya Wahid.
"Mungkin di rumahnya Pak Kepala Desa."
***
Maria tak henti-hentinya menangis sejak tadi pagi. Di hadapan makan siangpun, ia tak bisa berhenti menangis. Ibu Khairah merasa prihatin melihat Maria yang menangis, mati-matian menahan agar suaranya tidak keluar. Yang lainnya juga tampak begitu lesu dan tak mampu menelan makanannya dengan lahap. Sedih.
"Maria, sudah, jangan nangis." Ibu Khairah membujuk Maria untuk berhenti menangis. "Di depan makanan, kita tidak boleh menangis. Nanti Tuhan marah, lo. Kalau Tuhan marah, siapa yang akan kasih kita makanan." Ibu Khairah menarik piring Maria, menyendok nasi yang ada di sana. "Ayo Ibu suap, ya." Disodorkannya sendok itu ke mulut Maria.
Tapi sebelum sempat sendok itu menyentuh bibirnya, Maria sudah lebih dulu menepisnya dengan keras, hingga sendok itu terlempar. Nasi yang ada dalam sendok itu berhamburan di atas meja dan lantai. Anak-anak yang lain tersentak kaget melihat itu.
"Maria! Apa yang kamu lakukan?!" bentak Ibu Khairah, tak menyangkan Maria akan melakukan itu.
"Maria mau disuap sama Kak Baso! Bukan sama Ibu!" rengeknya dengan suara yang menggelegar. Ibu Khairah ingin menimpalinya, namun takut, Maria akan berteriak lagi.
Dengan lembut, Ibu Khairah menenangkan Maria yang seperti kesetanan itu. "Sudah, nanti kita bicara sama Kak Baso, ya. Dia masih di jalan sekarang. Belum bisa ditelfon."
"Kok Kak Baso tega tinggalin Maria, ya?" Ucapnya sambil terisak. "Padahal Kak Baso udah janji untuk tinggal di sini."
Begitulah. Maria menganggap pertanyaan Baso saat di ruang shalat itu berarti Baso tidak akan menerima tawaran Cut untuk menjadi penceramah.
"Apakah Maria mengijinkan kalau kakak tidak Ramadhan sama Maria di sini?"
"Memangnya kakak mau kemana?"
"Kakak mau pergi sama Kak Cut, Kak Wahid, Kak Naini, Kak Litsah dan Kak Rabiah ke kampungnya mereka. Kakak ditawar jadi imam tarwih sama penceramah di sana."
"Kenapa harus di sana, Kak? Memangnya kakak tidak bisa ceramah di Sengkang saja?"
"Apakah benar yang Kak Baso bilang? Dia akan jadi kaya' ibu tirinya Ikram?"
Ibu Khairah mengernyit, heran. "Ikram? Siapa itu Ikram?" Tanya Ibu Khairah dengan begitu penasarannya.
"Itu dongeng yang Kak Baso ceritakan malam sebelumnya, Bu." Jawab Dawai.
"Ikram punya ibu tiri yang sangat kejam, Bu. Setiap hari Ikram dimarahi sama ibu tiriya." Tambah Tian.
"Dan ibu tirinya meninggalkan Ikram dan ayahnya saat ayah Ikram masuk penjara." Ryan mengikut.
"Ikram tak pernah merasa senang di rumahnya. Sampai dia memutuskan untuk menjual di toko kaset pamannya di pasar sentral." Roni menutupnya dengan lugas.
Ibu Khairah tertegun. Apa yang Baso ceritakan pada mereka hingga mereka seperti ini. Apakah sengaja, atau hanya menginginkan agar mereka mendengarkan petuah yang ada dalam dongeng yang dimaksud mereka.
"Padahal Maria juga sudah janji tidak nakal-nakal lagi. Tapi kenapa Kak Baso tetap pergi? Tanpa pamit pula." Ratap Maria dengan begitu pedih. "Salah Maria apa, Kak?!!"
***
Malam yang indah. Seindah pagi yang mengantarkan kesejukan. Langit yang berhiaskan bintang tampak begitu cerah, walau tanpa kehadiran bulan. Ya. Ini malam pertama di bulan Ramadhan tahun ini. Malam Senin. Malam kedua dalam minggu Islam. Bintang-gemintang yang memenuhi langit seakan tersenyum dan berseru kepada sekalian penduduk bumi.
Marhaban Yaa Ramadhaan!
Dan malam ini pula yang Cut harapkan sebagai malam dan kali pertamanya Baso bisa menjadi imam untuknya. Namun sayangnya, semuanya raib bagaikan debu yang diterpa tempias air hujan. Walaupun Cut amat kecewa dan terpukul atas semua itu, ia berusaha untuk tidak su'udzan pada Baso. Mungkin ia sedang punya urusan yang lebih penting dan mendadak sehingga ia tak sempat. Tuhan mengatur semuanya. Manusia hanya punya daya untuk berharap dan berusaha.
Cut sudah lengkap dengan mukenanya. Mukena yang sama. Mukena pemberian ibundanya tercinta. Yang sampai detik ini belum ada kabar dari bibinya, Bibi Citra.
Wahid juga sudah siap dengan baju koko, sarung dan kopiahnya. Ia masih mempertahankan itu sebagai stylenya sendiri. Tak seperti kebanyakan orang yang menganggap dan melihat busana sarung dan baju koko adalah busana yang kuno. Wahid malah menganggap sebaliknya. Baju gamis muncul lebih dulu di masa Rasulullah Saw. Dan penggunaan sarung muncul belakangan. Apakah ini berarti sesuatu yang kuno itu adalah sesuatu yang muncul belakangan? Atau sesuatu yang trendy itu adalah yang muncul sejak jaman dulu?
Selain itu, Wahid juga membanggakan busana seperti itu sebagai busana khas santri. Walaupun ia tidak pernah punya riwayat pendidikan agama sedikitpun, ia tetap merasa dirinya harus berpenampilan seperti santri, selaku penduduk Kota Sengkang yang sejak sebelum kemerdekaan Indonesia sudah dikenal sebagai Kota Santri seantero Sulawesi. Kenapa lagi kalau bukan karena pondok pesantren raksasa, As'adiyah, itu?
"Kita berangkat, Nri'. Sebentar lagi adzan." Ujar Wahid pada Cut yang sedang duduk termenung di teras. Tepat di kursi yang ia tempati pagi tadi.
"Naik mobil?" Tanya Cut.
"Kita naik motor saja. Bapa' dan yang lainnya akan menyusul dengan mobil." Jawabnya.
Cut tersenyum. "Taparajangekka' addampeng, Daeng. Saya sangat minta maaf, Daeng. Saya berangkat sama yang lainnya saja."
"Kenapa?"
"Kita baru sebatas tunangan. Saya belum bisa menyentuh Daeng Wahid, dan Daeng Wahid juga belum bisa meyentuh saya." Jelas Cut.
"Kamu pakai mukena. Kita tidak bersentuhan secara langsung."
"Tapi Daeng Wahid suka sama saya, 'kan? Saya juga suka sama Daeng Wahid. Ini Ramadhan pertama. Pahala berlipat ganda, begitupun dengan dosa. Saya hanya belum bisa melewati lampu kuning di perempatan jalan, Daeng."
Wahid terdiam, mencerna apa maksud dari yang Cut katakan. Melihat Wahid yang terdiam, Cut merasa takut Wahid tersinggung. Wahid mungkin hanya berusaha menjadi sosok yang baik bagi Cut. Tapi akhirnya, Wahid tersenyum.
"Kalau begitu, saya pergi dulu, ya, Nri'." Ujar Wahid dengan tersenyum. "Assalamu 'alaikum." Lalu berlalu dari Cut.
"Wa'alaikum salaam."
Wahid melaju dengan motornya. Hatinya berbunga-bunga. Ia baru pertama kali ini mendengar pernyataan itu dari Cut. Cut mencintainya. Seperti mimpi di siang hari. Apa yang didengarnya tadi seperti bukanlah dari alam nyata ini. Wahid benar-benar senang. Dan memang itulah yang terpaksa Cut putuskan. Ia tak mungkin lagi ingkar pada dirinya sendiri.
Saya harus bisa melupakan kamu untuk melakukan itu.
Ia sadar, mungkin Baso tak bisa hadir untuknya di setiap waktu. Tapi Wahid bisa. Jadi apa alasan untuk tetap keras kepala. Mungkinkah Baso begitu terpaksa membatalkan keberangkatannya itu? Walaupun itu iya, setidaknya Baso lebih memilih hal lain daripada Cut. Baso bukan siapa-siapa. Ia hanyalah anak kemarin sore, yang ia temui dan terhipnotis oleh bayang-bayang Ali di tanah Aceh sana. Dan pada akhirnya, tak ada yang kesampaian. Ia memutuskan untuk mencoba mencintai Wahid setulus hatinya.
Namun disisi lain, itu adalah pesan dari Baso.
Aku yakin, kamu akan bisa mencintainya setulus hati kamu. Kamu juga tak boleh bersikap kejam sama Wahid. Dia orang yang pantas sama kamu.
Baso tak menepati janjinya, dan Cut ingin melakukan hal serupa. Dan jika ia menerima Wahid setulus hati, berarti Cut mengabulkan permintaan Baso. Apa yang harus saya lakukan, batin Cut berteriak.
"Loh? Nak Cut belum berangkat?" Heran Ibu Sitti Kristina saat melihat Cut yang masih duduk di teras. "Wahid kemana?"
"Saya yang minta dia pergi duluan, Pung." Cut bangkit dari duduknya.
"Kenapa tidak ikut?"
"Saya Cuma kurang enak saja, Pung. Tidak ada apa-apa, kok."
Adzan Isya sudah berkumandang. Mereka semua kemudian berangkat dengan naik mobil. Hanya sekitar lima menit didalam mobil, akhirnya mereka sampai di tujuan. Masjid yang tidak terlalu besar, namun tidak juga kecil. Ukurannya ideal untuk menampung banyak orang.
Cut segera masuk ke masjid, bersama dengan adik-adiknya Wahid. Para jama'ah yang ada langsung mengerubungi mereka dengan tatapan penasaran. Apakah Pak Abdul Ghani punya empat anak perempuan? Begitu arti dari tatapan mereka saat menyadari ada empat gadis rombongan Pak Abdul Ghani yang masuk ke masjid. Tetangga-tetangga yang sedari hari pertama sudah mengetahuinya langsung menyebarkan informasi hangatnya. Yang paling cantik itu calon menantunya Ibu Sitti Kristina!
Cut merasa risih, diperhatikan oleh semua jama'ah yang ada di sekitarnya. Ia hanya bisa menunduk sambil menunggu iqamat. Tujuh menit setelah adzan berkumandang iqamat akhirnya dikumandangkan. Semua jama'ah berdiri, menyusun shaf serapat dan selurus mungkin. Shalat Isya didirikan.
Allahu Akbar
Takbir dari sang imam menandakan bahwa shalat sudah dimulai. Cut pun mengangkat kedua tangannya, ikut bertakbiratul ihram. Lalu disusulnya dengan membaca do'a iftitah.
Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Surah al-Fatihah mulai dilantunkan. Merdu dan meresap hingga kedalam hati, bacaan ayat suci itu. Cut merasakan hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ini pertama kalinya seluruh tubuhnya gemetar saat mendengar bacaan al-Fatihah dari imam yang memimpin shalat.
Ghairil maghduubi 'alaihim waladhdhaalliin....
Aamiin
Sampai shalat habis ditutup dengan salam, Cut masih tak bisa mengendalikan dirinya. Sekujur tubuhnya benar-benar bergetar. Inikah hidayah dari-Mu? Tak sadar, Cut melelehkan air matanya. Membasahi pipinya yang kering. Teringat segala dosa yang telah ia perbuat, terlebih kepada ibunda tercinta.
Naini menyadari itu. Ia memperhatikan Cut yang sedari habis salam terus menghapus air matanya. Sesekali terdengar isak tangisnya yang ia tahan. Bukan hanya Cut. Naini memperhatikan semuanya. Banyak jama'ah yang bertingkah sama. Mereka menangis bagaikan menyesal hidup di muka bumi ini. Malah ada yang tak tanggung-tanggung, memperdengarkan suara tangisnya. Apa arti semua ini, batinnya. Apakah hanya aku yang masih tertutup hati menyadari betapa agungnya ibadah shalat-Mu ini?
Sehabis berdo'a, semua jama'ah melanjutkan dengan shalat sunnah ba'diyah Isya. Cut lagi-lagi tak mampu menahan getaran dalam hatinya. Cut minta perlindungan dari Yang Memegang Seluruh Hati manusia, agar bisa khusyu' dalam shalatnya. Dan segala puji baginya, Yang Mendengar do'a setiap hambanya yang berdo'a. Cut bisa menyelesaikan shalatnya dengan tenang.
Beberapa saat kemudian, seseorang naik ke mimbar. Panitia masjid. Ia mengumumkan beberapa penyampaian dari pemerintah pusat dan segala hal yang terkait dengan Ramadhan, seperti waktu masuknya imsak, waktu masuknya Shubuh, keluarga yang dapat giliran menurunkan buka puasa di masjid. Setelah menyampaikan beberapa penyampaian, panitia masjid itu kemudian turun dari mimbar dan mempersilahkan muballigh yang kata Pak Abdul Ghani, mereka ambil dari Sengkang untuk menyerukan beberapa ayat Tuhan sebagai pembuka di bulan suci Ramadhan ini.
Cut yang sedari tadi tertunduk hanya bisa membatin. Seandainya Baso ikut berangkat di malam itu, ialah yang akan berdiri di atas mimbar itu malam itu.
Assalaamu 'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh...
Para jama'ah menjawab salam itu, termasuk Cut. Dan ia menyadari sesuatu dalam salam itu. Suara itu...
Cut mengangkat wajahnya, dan melihat orang yang berdiri di atas mimbar itu. Tak lain dan tak bukan. Baso?!
"Alhamdulillaahilladzii an'ama 'alainaa bini'matil iimaani wal islaam. Alladzzii khalaqnaa min dzakarin wa untsaa....
Cut tak mampu menahan gejolak yang menghambur dalam dadanya. Ia menunduk dan menangkup wajahnya dengan kedua belah tangannya yang terbungkus mukena. Ia menangis sejadi-jadinya dalam diam. Ini bukan mimpi. Baso benar-benar menepati janjinya untuk mengimami shalat saya. Tak terbayang, bagaimana senang dan terharunya Cut. Di malam pertama bulan suci ini, terkabullah do'a seorang gadis rapuh yang mengharap perlindungan kepada Tuhan dari yang membisikkan kejahatan dalam dadanya. Baik dari golongan jin maupun manusia.

Not Child Anymore  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang