Bab 9 Maria

7 3 0
                                    

Saya bertekad, bukan berambisi. Tekadku adalah semata-mata untuk-Nya.
-Cut Tian Humairah-

Malam, selepas shalat Isya, Ibu Khairah mendapat undangan makan untuk seluruh penghuni
panti. Ibu Khairah segera meminta semuanya untuk bersiap-siap. Adik-adiknya itu segera berlarian
menuju lemari, mengambil baju masing-masing. Namun Baso segera mengeluarkan baju-baju baru
yang ia beli selepas gaji jasanya itu diterimanya. Tak tanggung, mereka semua bersorak kegirangan
mendapat baju baru. Ibu Khairah hanya bisa bertolak pinggang sambil menggelengkan kepala.
“Kamu membeli baju lagi untuk mereka?” Tanya Ibu Khairah dengan senyum mengembang.
“Soalnya, baju lama mereka sudah pada lusuh, Bu. Jadi, tidak apa-apa, ya, Bu.”
“Kamu ini. Ayo semuanya cepat.”
***
“Undangannya kemana, Bu?” Tanya Baso saat di perjalanan.
Pak Arman mengemudikan mobil. Anto mengendarai motor, bersama dengan Rian dan Roni.
Sementara Maria, Tian dan Dawai duduk di jok tengah mobil bersama dengan Baso.
“Nanti juga kamu tahu.”
Karena Pak Arman lihai menyetir, mereka tiba di tampat undangan tak sampai sepuluh menit.
Rumah bertingkat tiga itu tampak ramai oleh orang-orang bermukena dan bersongkok. Bisa
ditebaknya bahwa orang-orang itu adalah jama’ah-jama’ah masjid yang juga turut diundang.
Maria, Tian dan Dawai berlompatan turun dari mobil. Begitupun dengan Ryan dan Roni.
Mereka berlima kemudian berkumpul di sekeliling Ibu Khairah.
“Kalian jangan nakal-nakal di dalam, ya. Jangan ribut dan jangan berebutan makanan.” Ibu
Khairah mengingatkan mereka semua sebelum masuk kedalam rumah itu.
“Ini rumah siapa, Bu?” Tanya Baso pada Ibu Khairah.
“Rumahnya Pak Abdul Ghani. Kepala Kemenag Wajo.” Jawab Ibu Khairah.
Baso mengangguk.
“Ayo kita masuk” Ibu Khairah memimpin rombongan kecil pantinya masuk ke dalam rumah
yang megah itu. Anak-anak, seperti yang diberitahukannya pada mereka, masuk dengan mulut
tertutup tanpa suara. Para undangan yang hadir menatap mereka semua. Ibu Khairah bersalam-
salaman dengan keluarga Pak Abdul Ghani.
“Langsung ke sana, Bu.” Pak Abdul Ghani menunjuk meja berisi hidangan. Di sana, Ibu Sitti
Kristina, Ibu Sitti Hajar, Bibi Citra dan Cut melayani undangan-undangan acara syukuran itu. Tapi,
Baso belum melihat sosok Cut dibalik lalu lalang orang-orang.
Ibu Khairah dan semuanya kemudian berjalan menuju meja hidangan. Masing-masing
mengambil piring, termasuk Baso. Piring-piring mereka mulai diisi oleh Ibu Sitti Kristina dan yang
lainnya. Ibu Khairah tampak begitu akrab dengan istri Pak Abdul Ghani itu. Tentu. Mereka selalu
bertemu setiap rapat besar diadakan di kantor Kemenag.
“Eh! Tian! Kak Baso mana?” Suara itu mengagetkan Baso yang tengah dalam antrian. Ibu
Khairah juga nampak penasaran melihat Cut yang kenal dengan anak-anak pantinya.
“Itu, di belakang!” seri Tian sambil menunjuk Baso.
Melihat Cut berdiri di sana ia merasa seperti diempas ke tanah. Udara dalam dadanya
menyembur keluar, nyaris tak tersisa. Sebelum Cut menyapanya, ia sudah lebih dulu
mengembalikan piring itu ke tempatnya dan berjalan keluar.
“Baso!” Cut memanggilnya, namun Baso tak berhenti. Malah langkahya semakin cepat.
Cut meletakkan sendok sayur yang digenggamnya lalu mengangkat kakinya, hendak
mengejar Baso yang sudah berada di ambang pintu. Namun sebelum kakinya terangkat untuk
mengambil langkah kedua, tangannya sudah ditahan sang bibi.
“Jangan bikin Bibi malu, Cut.” Bisiknya kepada keponakannya itu.
Menyadari itu, Cut segera berkilah. “Dia mau kemana, Bu?” Tanya Cut kepada Ibu Khairah.
“Saya juga tidak tahu, nak” jawab Ibu Khairah dengan tampang yang tak kalah herannya.
Lebih tepatnya, khawatir. Apa yang terjadi padanya?
Sementara itu, Baso gemetaran di dalam mobil. Dielusnya rambutnya dengan setengah
menjambak. Nafasnya berkejaran dan wajahnya panas, sementara ujung jemarinya dingin. Ini buruk,
batinnya. Jika sampai Ibu Khairah mengatakan semuanya kepada Cut tentang dirinya, maka
berakhirlah kebohongannya.
“Kak! Kak Baso!” Suara Maria memanggilnya dari luar.
Baso mengintip dari dalam mobil. Di sana, di tangga teras rumah itu, Maria berdiri sambil
celingak-celinguk dengan piring yang berada dalam dekapannya. Kedua lengan mungilnya memeluk
piring itu.
“Kak Baso! Ibu Khairah cari kamu!” panggilnya lagi, tapi ia tak berani bersuara. Ini pertama
kalinya ia membiarkan Maria seperti itu.
Maria menuruni tangga sambil tetap menyapu sekitar dengan pandangannya. Ia tak
memperhatikan langkah kakinya, dan Baso pun tidak menyadari itu. Sebuah palang besi yang
membatasi anak tangga pertama dengan pekarangan mengait kaki mungilnya dan…
Prang!!!
Tamu-tamu yang sedang menikmati makanan mereka di teras sontak terkaget. Mereka segera
meletakkan piring mereka di lantai dan menolong gadis kecil itu. Baso yang bersembunyi di dalam
mobil pun melompat keluar saat melihat pemandangan naas itu.
Seorang lelaki paruh baya menggendong Maria masuk ke dalam rumah.
“Cepat bawa ke rumah sakit! Dada sama lehernya kena pecahan beling!” teriak salah seorang
yang melihat darah yang bercucuran dari area leher dan dada Maria.
Maria kecil menangis. Namun semakin menangis ia, wajah kesakitannya semakin tampak.
Tangisnya terputus sambil matannya terpejam.
“Pak Arman! Cepat bawa Maria ke rumah sakit!” Teriak Baso sambil menarik tangan Pak
Arman.
“Jadi, yang menangis itu Maria?” Ucapnya dengan tampang bodoh.
“Aduh, Pak. Ayo cepat!” paksanya sambil terus menarik tangan pak Arman.
Pak Arman segera bergegas dengan kunci mobil di tangan. Ibu Khairah panik saat mendengar
bahwa Maria tertusuk pecah beling. Saat Maria, Baso, Ibu Khairah dan Pak Arman masuk ke dalam
mobil, mesin mobil segera dihidupkan. Pak Arman menancap gas, keluar dari pekarangan rumah Pak
Abdul Ghani.
“Anto! Kamu jaga anak-anak, ya!” teriak Ibu Khairah sebelum mobi keluar dari pekarangan.
Cut baru bisa menerobos keramaian setelah mobil itu berangkat. “Tian!” Cut menggapai
tangan Tian yang berdiri sambil menangis. “Kamu kenapa?”
“Tian mau ikut antar Maria ke rumah sakit.” Rengeknya.
Cut membelalak. “Jadi yang tadi itu Maria?!”
Tian mengangguk sambil menyeka air matanya dengan lengan kanannya. “Daeng! Daeng Wahid!” ia berlari, mencari keberadaan Wahid dalam kerumunan. Dan
akhirnya ditemukannya Wahid yang sedang berdiri di pojok paling belakang bersama dengan Litsah
dan Rabiah. “Kita susul mereka!” tegas Cut sambil meraih tangan Wahid.
Wahid terkejut menyadari tangannya digenggam oleh Cut. Selama ini, ia tak pernah
menyentuh Cut secara langsung, dan begitupun sebaliknya. Tapi sekarang…
“Kenapa melamun? Kita harus segera menyusul mereka, Daeng!” resah Cut dengan wajah
penuh kekhawatiran.
Wahid segera menerobos kerumunan, bersama dengan Cut.
“Tian! Kemari!” gadis kecil bermata sipit itu digendongnya dan dibawanya menuju mobil.
“Wahid! Cut! Kalian mau kemana?!” Pak Abdul Ghani meneriaki mereka. Wahid sempat
berhenti sebentar. Namun saat Cut kembali meraung, ia tak peduli dengan teriakan ayahnya Wahid
itu. Dihidupkannya mesin mobil dan menancap gas, mengejar mobil panti asuhan yang sudah jauh
meninggalkan area kejadian.
***
Sesampainya di rumah sakit, Maria segera dilarikan ke ruang UGD. Suster-suster dan
perawat lainnya segera menyambut mereka. Maria yang kesakitan hanya bisa berbaring lemah diatas
matras dingin, sementara suster-suster mendorongnya.
Ibu Khairah dan Baso sedari tadi sudah meleleh air matanya. Hanya Pak Arman yang masih
bertahan dengan mata yang kering. Ia berusaha menahannya karena takut, konsentrasinya ketika
menyetir raib.
“Ya Allah, Ya Robbii. Semoga Maria baik-baik saja.” Ibu Khairah tak henti-henti
memanjatkan do’a agar Maria baik-baik saja.
Baso yang mengerti, bahwa semua ini karena dirinya, hanya bisa diam di kursi sambil
meremas tangannya.
Beberapa saat kemudian, akhirnya Wahid dan Cut tiba di area rumah sakit. Cut segera keluar
dengan Tian dalam gendongannya. Ia dan Wahid bergegas menuju mobil yang dikendarai Pak
Arman. Baso yang melihat Cut menggendong Tian tak lagi mampu menyembunyikan wajahnya.
Malah dengan penuh keyakinan, ia melangkah ke arah Cut.
Mata mereka saling bertatapan satu sama lain selama beberapa saat sebelum kemudian Tian
yang ada dalam gendongannya diraih oleh Baso. Wahid yang melihat pemandangan itu merasa
heran. Siapa anak itu, batin Wahid. Tapi menanyakan itu dalam situasi yang tidak jelas seperti ini
bukanlah hal yang tepat.
“Sudah, ya. Sudah. Maria baik-baik saja.” Baso berlutut di depan Tian sambil menyeka
seluruh air matanya.
Cut tetap mematung di tempatnya, memperhatikan Baso yang berusaha membuat Tian
berhenti menangis. Wahid mendekatinya. Lengannya terulur, hendak meraih bahu Cut, namun ia
urung melakukannya. Belum ada ikatan apa-apa. Ia menghargai Cut atas kehati-hatian Cut. Apa yang
dilakukan Cut tadi hanyalah semata-mata karena Cut panik dan tak menyadari itu.
Cut masih tetap mematung di tempatnya, dengan Wahid yang berdiri di sampingnya. Wahid
tak tahu apa yang sedang ada dalam benak Cut. Penuh pertanyaan.
“Nak ini kenapa kemari?” Tanya Ibu Khairah yang menghampiri Cut dan Wahid.
“E-em, saya hanya ingin memastikan, bahwa Maria akan baik-baik saja nanti.” Jawab Cut,
terbata-bata.
Ibu Khairah mengangguk. “Terimakasih sudah membawa Tian, ya, Nak.”
“Iya, Bu. Tidak masalah bagi kami.” Ujar Wahid.
Mereka berenam menunggu di ruang tunggu. Sedikit lama. Selama menunggu itu, Cut tak
bersuara sedikitpun. Namun benaknya melontarkan segala macam pertanyaan. Kenapa Baso lari dari
jamuan itu. Mengapa ia menghindar. Dan Apa yang akan dikatakan Bibinya nanti.
15 menit kemudian, seorang perawat keluar, memberitahu mereka tentang keadaan Maria.
“Sudah kami tangani luka-lukanya. Dia akan baik-baik saja. Tidak perlu terlalu
dikhawatirkan. Mungkin salah seorang dari kalian ada yang bisa bicara dengan saya?”
Ibu Khairah menyahut. “Ada apa, Bu?”
“Kita harus bicara empat mata, Bu. Supaya tidak ada kekeliruan dan kepanikan nantinya.”
Sejenak, Ibu Khairah menyapu semuanya dengan pandangannya. Barulah setelah itu, ia ikut
dengan perawat itu. Jadilah mereka berlima kembali menunggu. Sesuatu yang dibicarakan empat
mata bukanlah sesuatu yang kecil. Jika bukan tentang apakah gadis itu baik-baik saja, berarti itu
adalah kapan gadis itu akan baik-baik saja.
“Kamu temannya Cut?” Wahid yang tak bisa menahan penasarannya akhirnya bertanya.
Baso mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. Sorot mata tegas itu menatapnya
jauh kedalam. “Ya.” Jawabnya dengan singkat.
“Kami berteman baru-baru ini. Dan kamu bisa berteman baik dengannya, Daeng.” Tambah
Cut sambil meraih tangan Wahid dan tangan Baso. Dijabatkannya kedua tangan itu. Untuk beberapa
saat Wahid dan Baso bingung harus melakukan apa.
“MuWahid Abdul Ghani.”
“Baso.”
“Nama belakang? Nama depan?” Tanya Wahid, yakin bahwa nama itu bukan nama
lengkapnya.
“Baso Rahmat Hasyim.” Pungkasnya sambil melepas jabatan tangannya.
***
Pagi ini, gerimis kembali membungkus kota Sengkang. Langit kelabu. Matahari tak
menampakkan dirinya. Selain suara derung motor dan mobil yang berlalu lalang, hanya suara rintik
hujan yang memenuhi telinga. Rencananya, ia ingin menjenguk Maria pagi ini. Ibu Khairah mungkin
sedang kelelahan di sana semalaman, menjaga Maria seorang diri di ruang perawatan.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, tak ada tanda-tanda bahwa gerimis ini akan
mereda. Malah sebaliknya, hujan semakin deras. Ia sudah lengkap dengan seragam hijau dan celana
hitamnya. Tasnya sudah sedari tadi menggantung di kedua pundaknya. Melihat hujan yang semakin menjadi-jadi ini, ia mengembuskan nafas kesal. Ia memutuskan untuk mengintip sejenak adik-
adiknya yang masih tertidur pulas setelah melaksanakan shalat Shubuh.
Saat shalat Shubuh tadi, Tian sampai tak bangkit dari sujudnya karena mengantuk. Semalam,
mereka bertiga baru pulang saat jam menunjukkan pukul 11 malam. Tian memang sudah tertidur
dalam pangkuan Baso saat masih di rumah sakit. Dan dalam perjalanan pulang, ia terjaga dan baru
tidur kembali saat jam menunjukkan pukul 12 malam.
Sedang Cut dan MuWahid kembali dari rumah sakit pada pukul sembilan. Cut sebenarnya
ingin menunggu kepastian, namun karena Wahid sudah dapat telepon dari ayahnya untuk segera
pulang, akhirnya Cut mengalah. Ia tak ingin egois, dan ia memang bukanlah sosok yang egois.
Malah ialah yang menjadi korban keegoisan. Keegoisan ibunya.
Sampai di rumah Pak Abdul Ghani, Cut kembali diseret oleh bibinya. Ia diomeli habis-
habisan di dalam kamar tempatnya bermalam malam ini di rumah Pak Abdul Ghani. Cut hanya bisa
diam saat bibinya melontarkan sekian omelan padanya.
“Wahid sudah kenalan dengan dia, Bi.” Akhirnya Cut bersuara saat bibinya mengangkat
nama Wahid dalam omelannya.
“Kenalan?”
“Iya. Wahid sudah kenal dengannya dan dia tidak keberatan.” Jelas Cut.
“Tapi bibi yakin, Wahid pasti merasa kurang enak dengan temanmu itu.”
“Bi.” Cut bangkit dari kasur dan berdiri di depan bibinya. “Saya mohon, Bi. Saya tidak ingin
berdosa sama bibi lagi. Tentang teman saya itu, anggap saja bagaimana saya dengan saudara-
saudaranya Wahid. Saya tak ada niat macam-macam, Bi.”
Bibinya terdiam. Tertegun. Ia jadi terpikir, terlalu mengekang Cut tidaklah lagi sepantas dulu.
“Ya.” Sahut bibinya. “Bibi memang terkadang lupa, bahwa kamu bukan anak kecil lagi. Tak lama
lagi, kamu akan punya kehidupan sendiri dan lepas dari bibi. Dan pada akhirnya, bibi akan kembali
kesepian.”
Ia lama mendambakan jabang bayi tumbuh dalam rahimnya. Namun sekalipun, tak pernah ia
mendapatkan tanda-tanda keberadaannya. Pernah dikonsultasikannya hal itu pada seorang dokter
kenalan suaminya. Pemeriksaanpun diadakan. Setelah diteliti, ternyata jatuhlah vonis yang
menyatakan bahwa ia tak akan bisa hamil. Sel telurnya tak bisa dibuahi. Padahal, rahimnya kokoh
dan bibit milik suaminya prima. Saat mendengar kabar itu, ia tak bisa apa-apa selain menangis
sejadi-jadinya dalam pelukan suaminya.
Salah seorang temannya pernah mengusulkan untuk mengambil anak angkat. Ia merasa cocok
dengan saran itu dan diberitahukan rencananya itu kepada suaminya. Namun saat hendak
membulatkan tekad, telepon dari kakaknya datang. Dan mulai saat itu, ia urung memelihara anak
angkat. Alasan yang klise. Kenapa harus mengambil orang asing, sedang ada saudara yang
membutuhkan?
“Bibi tidak boleh berkata begitu.” Tegas Cut. “Saya tak mungkin meninggalkan bibi seorang
diri.”
“Ya memang begitu kenyataannya.” Ujar bibinya. “Bibi akan senang jika kamu tinggal
dengan bibi. Tapi bibi lebih senang lagi jika kau menikah dengan lelaki baik-baik seperti Wahid.
Setiap ada pilihan yang baik, pasti ada pilihan yang terbaik. Tapi keduanya tak saling menyalahkan.
Hanya saling melengkapi atas segala kekurangan.”
Baso baru memutuskan berangkat sekolah setelah hujan reda. Masih gerimis, tapi langit yang
ditutupi awan kelabu tak memberi tanda baik. Jika ia memutuskan untuk tetap menunggu sampai hujan benar-benar reda, maka besar kemungkinan ia akan menunggu sampai jam pulang sekolah
tiba.
Dasmul, satpam sekolah menghadangnya di pintu gerbang dengan jas hujannya.
“Kenapa terlambat?” Tanyanya dengan aksen yang digarang-garangkan.
“Kan hujan.” Baso tak merendahkan suaranya. Bertampang memelas di depan orang tua itu
hanya akan memperpanjang masalah.
“Jam enam tadi belum hujan.” Tapi ia juga tak memberi kesempatan bagi Baso untuk masuk
dengan alasan itu.
“Saya ada ulangan hari ini, pak. Saya sudah terlambat satu jam. Masa saya harus tambah
masa lagi untuk meladeni bapak?” Ketusnya sambil melindungi wajahnya dari terpaan air hujan.
Dasmul mengedarkan tatapannya dari ujung sepatu Baso hingga kepalanya. Sebenarnya ia
mempertimbangkan pesan dari Pak Usman, Kepala Madrasah MANAC yang baru, untuk tidak
memberikan kebijakan kepada santri-santri yang terlambat datang. Tapi melihat keadaan Baso yang
sudah basah akibat gerimis air hujan, akhirnya ia mempersilahkan Baso masuk.
“Lapor ke Pak Usman sebelum masuk kelasmu.” Ia membuka gerbang.
Baso tak menyahut. Ia lantas segera berlari menuju tangga dan menyusuri lorong menuju
kelasnya. Omong kosong dengan laporan itu, batinnya. Banyak santri yang lebih parah kasusnya
daripada keterlambatannya, tapi seakan tak diperhatikan oleh pihak madrasah. Pengurus Konseling
atau Kepala Madrasah yang tidak menanganinya? Siapa pun diantara mereka, mereka berdua
tetaplah salah. Setidaknya di mata Baso sendiri.
“Baso? Terlambat lagi?!” Berang Ibu Selfi sambil tangannya tetap menggores ujung spidol di
papan tulis. “Tabe’, Pung. Tadi hujan dan tidak ada mobil yang berangkat pagi.” Karangnya pada alasan
kedua itu.
“Hujan?” Kini Ibu Selfi menarik spidolnya dari papan tulis. Menatapnya tanpa senyum
sedikitpun. Baso hanya bisa menunduk pasrah. “Ibu tadi start dari Soppeng sama Pak Edy kemari.
Kamu? Cuma di Sabbangparu ji tinggal kok terlambat?”
Ia tak bisa mengemukakan alasan lain. Memberikan alasan lain hanya akan semakin
menyudutkannya.
“Akhir-akhir ini, Ibu dapat banyak laporan dari guru-guru, kalau Baso itu sudah mulai
malas.” Ungkapnya dengan kejam, tanpa rasa kasihan sedikitpun. “Ibu Nurlela, Ibu Indo Nyalla, Ibu
Hasrianah, Pak Edy, Pak Yusmin sama Pak Kamaruddin. Sudah semua melapor sama Ibu kalau Baso
sudah mulai senang datang terlambat.”
Teman-temannya yang lain menggeleng-geleng sambil mengucapkan istighfar, mengeje Baso
yang sedang diomeli Ibu Selfi. Hanya Afdal yang tetap diam, kasihan melihat Baso mematung di
tempatnya.
“Kenapa begitu kah, Baso?” Ibu Selfi kembali bertanya. “Kesiangan?”
Baso menggeleng.
“Lalu apa alasannya, hah?” Ibu Selfi duduk di kursinya, menghadap ke anak muridnya yang
basah kuyup itu. “Padahal banyak guru-guru yang mengacungkan jempol, menaruh harapan untuk
kamu. Malah Ibu Hasrianah pernah menggratiskan pembayaran uang madrasah kamu. Tapi kamu
buat kecewa dia.
“Ini masuk dalam penilaian sikap, ya.” Ucapnya kepada anak-anak yang lain. “Rata-rata guru
begitu. Biar kalian bodoh, yang penting rajin dan tidak bikin masalah sama gurunya, tidak akan tega
gurunya kalau tidak kasih kalian nilai. Ada itu kakak kelas kalian yang lalu. Ibu lupa namanya. Dia tidak pintar. Malah paling bodoh diantara teman-temannya yang lain. Jangankan untuk menulis,
berbicarapun dia setengah mati. Tapi, pas ketika rapat penentuan kenaikan kelas, dia dinyatakan naik
kelas dan teman-temannya yang lain yang jauh lebih pintar darinya tinggal kelas. Itu karena dia rajin
dan punya tekad untuk bisa mampu seperti yang lain. Walaupun dia punya keterbatasan, tetapi dia
lebih disanjung oleh guru-guru karena tekad dan usahanya itu.
“Tapi kalau begini?” Disudutkannya lagi Baso yang tenggelam dalam kepasrahan. “Baso
pintar, iya. Ibu akui itu. Ibu awalnya juga dapat banyak laporan bahwa Baso itu, semenjak naik kelas
dua banyak pengembangan. Tapi sekarang, semenjak naik kelas tiga? Sudah mulai malas, sering
datang terlambat, tugas-tugasnya tidak diselesaikan. Apa lagi? Kamu sudah merasa pintar?”
Kalimat terakhir itu seakan menghantam dadanya. Tak sadar, ia memejamkan matanya,
merasakan betapa merasa tertuduhnya ia atas kalimat itu. Teman-temannya yang lain juga berseru
tertahan saat mendengar itu. Ibu Selfi tahu, bahwa mereka semua tak akan menyangka kalimat itu
akan dilontarkannya.
“Kenapa kalian kaget?” Pancing Ibu Selfi. “Memang begitu, kan?”
Tenggorokannya tercekat. Pangkal rahangnya menegang, sakit. Baso merasakan air matanya
akan segera keluar. Tapi mati-matian, ia menahan itu. Ia akan semakin tersudutkan jika air matanya
keluar.
“Duduk.” Ketusnya, mempersilahkan Baso duduk. “Kamu sudah capek diomeli, ‘kan? Ibu
malah lebih capek lagi ngomeli kamu.”
Ibu Selfi melanjutkan membahas bahan ajarnya yang tertunda akibat mengomeli Baso.
Selama tiga jam pelajaran matematika itu, ia tak pernah diperhatikan oleh Ibu Selfi. Saat Ibu Selfi
memberi kuis adu cepat mengerjakan soal, ia jadinya tak bisa mengerjakannya.
Menambah kasus keterlambatannya sudah menambah list guru yang memberinya peringatan.
Ibu Selfi dan Ibu Hasrianah. Entah siapa lagi nantinya.
***
“Nanti sore, kamu datang, ya. Aku khawatir, jangan sampai Ibu Rosyidah memasukkan
namamu ke blacklist-nya.” Bujuk Musdalifah kepada sahabatnya itu.
“Iya. Nanti sore aku akan datang, kok.” Cut meyakinkan sahabatnya yang meresahkan
dirinya. Cut merasa senang. Siapa yang ingin mengkhawatirkan kita secara cuma-cuma?
“Zuhra jadi yang terdepan sekarang. Hafalannya sudah sejajar dengan hafalanmu.”
Cut mengingat-ingat. Kurang lebih ada 20 hari ia tak masuk kelas khusus. Dan saat itu,
setahunya, hafalan Zuhra berada jauh dibanding hafalannya. Butuh tekad yang kuat untuk bisa
mencapai itu dalam waktu singkat.
“Kalau begitu, akan saya pungkaskan semuanya nanti sore.” Ujar Cut sambil tersenyum
lebar.
“Eh? Maksud kamu?” Heran Musdalifah.
“Surah Luqman, surah al-Mu’minuun dan surah al-Anbiyaa’ akan kusetor nanti sore.”
Ungkapnya.
“Beneran, Cut? Kamu sudah hafal semuanya?” Tanyanya setengah berseru.
Cut mengangguk. “Mana mungkin saya biarkan orang lain mendahului hafalanku.”
Bola mata Musdalifah berbinar-binar, kagum, seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan
Cut padanya. “Itu luar biasa, Cut! Itu luar biasa!” kedua bahu Cut digenggam sambil diguncangnya,
membuat Cut merasa aneh.
“Tak usah berlebihan seperti itu juga.” Cut melepaskan bahunya dari genggaman tangan
Musdalifah.
“Tapi itu benar-benar luar biasa! Tak sampai tiga minggu, kamu sudah hafal tiga surah itu!”
“Bertekad dengan berambisi itu beda. Kalau kamu kuat dalam ambisi, kamu akan mudah
lupa dengan hafalan kamu. Tapi tekad akan tetap menjaga hafalan itu.”
“Lah, lah. Sok puitis kamu, Cut.” Musdalifah menepuk pundaknya.
“Tapi memang begitu, kan?”[]

Not Child Anymore  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang