Bab 4 Kemarin, Sekarang dan Esok

16 4 0
                                    

Sosok itu datang disaat aku terlelap. Ia bukan monster ataupun hantu-hantu dalam film layar
lebar. Tapi sosok itu adalah Iblis.
-Baso Rahmat Hasyim-

Empat bulan kemudian…
Baso memeluk erat teman-temannya. Tiga tahun terasa begitu singkat baginya, seakan baru
bermula di kemarin hari dan berakhir di hari ini. Hari ini adalah hari dimana semua pihak MA.
Nurul As’adiyah Callaccu merayakan kelulusan anak didik mereka. Perjuangan tiga tahun itu terasa
begitu mebekaskan kenangan yang amat indah. Seperti kata orang, bahwa sesuatu itu baru akan
dirasa kehadirannya setelah ia tiada.
Baso memperbaiki selempang yang bertuliskan namanya. Dengan langkah yang mantap, ia
berjalan menuju sesosok wanita paruh baya yang sedang tersenyum ria melihat santri-santri didiknya
menikmati momen-momen terakhir kebersamaan mereka. Dia tepat berhenti di depan wanita itu.
Melihat kehadiran Baso, wanita itu tersenyum sambil berdiri. Baso segera meraih tangan wanita itu
dan menenggelakan wajahnya di punggung tangan yang sehangat belaian tangan ibunda tercintanya
yang sudah jauh dalam dekapan tanah.
“Selamat, ya, Baso. Kamu sudah lulus” Ucap wanita itu.
Baso tak kuasa menahan tangisnya. Wajahnya lantas ditenggelamkannya pada pundak kanan
wanita itu, setengah memeluknya.
“Maafkan saya, Pung. Kalau selama ini saya punya banyak salah sama ibu.” Ucapnya penuh
perjuangan menghadapi isak tangisnya.
Tak urung, wanita paruh baya itu juga tak mampu menahan bendungan air matanya. “Kamu
anak yang baik, nak. Kau belajar yang baik-baik, ya. Jangan segan-segan kirim kabar sama ibu kalau
kamu punya masalah, ya. Ibu akan berusaha membantu sebisa ibu.”
Ibu Hasrianah. Wanita itulah tempat pelariannya dari segala masalah yang ia hadapi selama
ini di sekolah. Dari awal hingga sekarang, ia jaga serapat-rapatnya tentang tempat tinggalnya.
Namun Baso hanya luluh kepada sosok itu. Dan sampai sekarang, hanya Ibu Hasrianah seorang yang
tahu kalau Baso tinggal di panti asuhan.
Ia juga yang membantunya di setiap masalah. Membelanya di depan staf tata usaha jika
tunggakan semesternya sudah tiba. Namun, ia hanya mendapat tagihan di tahun pertama belajarnya,
karena ia sudah mulai mendapat kesempatan mencari penghasilan dengan menjual jasa kaligrafi saat
ia naik kelas sebelas.
“Saya sudah punya uang, kok, Pung. Saya tidak layak lagi dibebasbiayakan.” Ucap Baso
kepada Ibu Hasrianah kala ia menerima uang muka dari masjid pertamanya.
“Oh…, saudara kamu yang di Kalimantan itu sudah tahu kabar kamu?” Tebak Ibu Hasrianah
sambil mengingat-ingat segala yang sudah diceritakan Baso kepadanya. Nyaris semuanya diceritakan
kepada Ibu Hasrianah. Sehingga jadilah ia satu-satunya guru yang paling tahu latar belakang Baso.
Ayah Baso punya empat istri. Dan ibu kandung Baso adalah istri terakhirnya. Dari keempat
istrinya itu, ia hanya punya anak dari dua diantaranya. Istri ketiga dan ibunya Baso. Dari istri
ketiganya ini, ia punya tiga anak. Dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Anak laki-lakinya
inilah yang paling peduli pada Baso, selaku adik sebapaknya.
“Bukan, Pung.” Baso menggeleng. “Saya cuma dapat sedikit penghasilan dari hasil kerja
masjid.”
“Cleaning service? Di masjid mana?” Tebakan Ibu Hasrianah yang terkesan terlalu polos situ
membuatnya tertawa.
“Bukan, Pung. Saya punya kontrak untuk menghias masjid. Dan pihak masjid sudah kasih
saya sedikit uang muka. Dan saya rasa, uang muka itu cukup untuk pembayaran uang semester saya
untuk semester ini, Pung.” Jelasnya dengan gamblang.
Ibu Hasrianah mengangguk-angguk. “Kamu dikasih berapa?” Begitulah ia kalau penyakit
keponya sudah kambuh lagi. Ibu Hasrianah akan melontarkan sekian pertanyaan yang menurut Baso
sama sekali tidak penting untuk ia ketahui. Namun karena itu juga,Ibu Hasrianahlah yang sering kali
membuatnya bingung atas pernyataan yang telah diberikannya.
“Tidak terlalu banyak, Pung.”
Dan dua tahun terakhir, dirinya sendirilah yang membayar uang sekolahnya dari hasil usaha
penjualan jasanya itu.
Baso mengangkat wajahnya dari pundak Ibu Hasrianah sambil menyeka air matanya dengan
ujung kemeja yang ia kenakan. Merasa sudah agak berkurang air matanya, ia mulai memandang
wajah Ibu Hasrianah yang juga basah oleh air mata. Ia nampaknya juga susah payah menghapus air
matanya. Setelah merasa sudah agak mendingan, diumbarnya senyum termanis yang ia punya.
“Oh, iya.” Seru Ibu Hasrianah padanya, mengingat sesuatu.“Teman kamu dari MALPI ada
yang kirim sesuatu. Tunggu sebentar, ya.” Ia berbalik, berjalan menuju tasnya yang terduduk lesu
diatas sofa. Ia mengorek isi tasnya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah kotak yang dibungkus kertas
kado biru dan disimpul pita berwarna hijau cerah. Dua warna kombinasi yang amat disenanginya.
Ibu Hasrianah menyodorkan kotak itu kepadanya. “Maaf, ya. Ibu baru kasih kamu. Ibu sering
lupa untuk memberikannya. “ ucapnya. “Siapa lagi namanya?” Tanyanya menggoda anak murid
kesayangannya itu.
“Tian, Pung.” Jawabnya dengan malu-malu. “Terima kasih, Pung.”
“Kamu ditaksir sama dia, ya? Atau kamu yang naksir dia?” Ibu Hasrianah tak hentinya
menggoda Baso yang semakin salah tingkah dibuatnya.
“Saya cuma kenal baik sama dia karena adik-adik panti saya. Tidak ada yang spesial dari dia,
kok.” Akunya. Padahal kala Cut menyatakan bahwa dirinya udah punya tunangan, ia seakan tak tahu sedang berada dimana. Kepalanya seperti pening akibat dihantam pagar besi. Andai ia tak pandai-
pandai mengatur emosinya, mungkin ia akan mengamuk bagai beruang yang tertusuk duri.
“Jadi belum ada yang naksir sama kamu?” Tanya Ibu Hasrianah dengan nada yang lebih
terarah.
Baso menggeleng. “Kok ibu nanya yang kayak gituan, sih.”
Ibu Hasrianah tertawa lebar sambil menepuk pundak Baso. “Tidak. Ibu hanya bercanda.”
Ucapnya. “Kamu nanti yang sukses, ya!”
Berbeda dengan Cut, acara pisah tamatnya sudah dilangsungkan berminggu-minggu yang
lalu. Setelah kelulusannya, ia merasa seperti seorang pengangguran. Ia tak tahu harus melakukan apa
di rumah. Semuanya dikerjakan oleh Bibinya, dan bibinya tak ingin ia menyentuh cucian, piring
kotor dan sapu.
“Ini masa tenang kamu, Cut.” Kata bibinya, menasehatinya jika ia kembali menyentuh sapu.
“Pokoknya kamu harus bebas dari beban apa pun, ya. Shalat kamu diperbaiki saja. Juga manfaatkan
waktu luang untuk mengaji atau dengar-dengar ceramah. Kalau perlu, ceramah tentang kehidupan
berrumahtangga. Karena rencananya, pesta pernikahan kamu nanti diadakan sesudah Ramadhan.
Apalagi Pak Abdul Ghani itu orang yang kental adatnya. Dalam adat Bugis, wanita yang sudah
dipinang itu tidak boleh lagi keluar rumah. Jadi sebenarnya, sejak acara lamaran itu kamu tidak lagi
boleh keluar rumah. Tapi karena kamu sekolah, ya, apa boleh buat?”
Dibalik jendela kaca, Cut memandang keluar. Hujan baru saja habis mengguyur kota
Sengkang. Sisa-sisa titik air hujan yang menetes dari ujung dedaunan, diperhatikannya. Begitu
saksama, seakan memperhatikan papan permainan catur.
Dalam hatinya, Cut bertanya, “Apakah Baso sudah membaca surat didalam kado yang saya
berikan?”
Sejak ia menitip kado itu kepada Ibu Hasrianah, sampai sekarang sudah ada lima hari.
Didalam kado itu, Cut melampirkan sepucuk surat yang berisi beberapa pesan dan sebuah
pertanyaan. Dan ia amat menanti jawaban dari pertanyaannya itu. Sebelum ia berangkat ke Malili
untuk menghabiskan Ramadhannya di sana.
Istri Pak Abdul Ghani, Ibu sitti Kristina, adalah orang asli Malili. Kedua orang tuanya adalah
orang Luwu yang memutuskan membuka lahan di pedalaman Luwu Timur. Atas saran dari istrinya,
Pak Abdul Ghani setuju dan meyampaikan itu kepada calon menantunya. Cut tak punya pilihan lain
untuk menolak. Ia mengiyakan ajakan itu. Dan itulah yang ia renungkan saat ini.
Harapnya, agar Baso memberikan balasan atas surat yang dilampirkannya itu sebelum ia
meluncur ke sana.
***
Tiga bulan yang lalu…, dua minggu setelah acara lamaran Cut…
Cut masih tak kuat mengingat keputusan yang telah ia jatuhkan walau waktu sudah berjalan
dua minggu. Dalam masa-masa lesunya itu, bibinya selalu mendapati wajahnya sembab karena habis
menangis sepanjang malam. Untung bibinya adalah orang yang positif thinking, sehingga jika
melihat keadaan itu, ia hanya akan tersenyum dan memberikan nasehat untuk tidak menangis lagi
saking gembiranya ia menanti pernikahannya.
Hari-harinya di sekolah jadi semakin keruh. Ia semakin sulit untuk bisa konsentrasi pada
pelajarannya. Matanya memang berusaha menyaksikan dengan cermat dan telinganya mendengarkan
dengan saksama, namun pikirannya amat sulit untuk ia kendalikan. Dalam situasi terdesak, ia akan
memilih untuk menyontek tugas temannya dibanding mengerjakan tugas sendiri. Ia benar-benar
kehilangan passion belajarnya.
Dan akhir-akhir ini juga, ia lebih sering berada di aula berdiam diri. Shalat Dhuha, lalu
melanjutkan hafalannya. Jika ada satu hal yang sampai sekarang masih membuatnya fokus, maka itu
adalah hafalan al-Qur’annya. Malah mungkin karena keresahan yang ia alami, maka ia lampiaskan
semua kesahnya dengan untaian firman Allah itu. Semakin hari, hafalannya semakin banyak dan
meninggalkan hafalan teman-teman satu bimbingannya. Ibu Rosyidah kagum jadinya melihat
bagaimana Cut menghafal dengan begitu cepatnya.
Didalam do’anyalah ia meluapkan isi hatinya yang paling dalam. Dan tak jarang ia
melaksanakan istikharah, meminta jawaban atas benar atau salahnya keputusan yang telah ia ambil.
Karena keputusannya itu, ia jadi diselimuti rasa bersalah. Apakah ia sudah mengambil jalan yang
tepat di persimpangan itu atau malah mendapatkan jalan yang buntu.
Semalam, ia berbicara dengan ibunya lewat telepon. Itu adalah kali pertamanya ibunya
menelpon setelah lamaran itu diadakan.
“Kenapa ibu tak bilang apa pun kepada saya tentang perjodohan itu?” Lirih suara Cut,
mengeluh pada ibunya.
“Maafkan ibu karena tak beritahu kamu lebih dulu.” Ucap ibunya. “Ibu tak beritahu kamu
awal-awal karena ibu tahu, kamu pasti tidak akan setuju dengan ibu. Ibu pikir, dengan cara ini, kamu
bisa lebih percaya dengan pilihanmu sendiri tanpa paksaan dari ibu.”
“Tapi ini adalah paksaan bagi saya, Bu.” Protesnya dengan nafas berkejaran. “Sebenarnya
saya tak setuju dengan lamaran itu, bu. Sama sekali tak setuju, bu!”
Di seberang sana, ibunya mengembuskan nafas pelan. “Ibu hanya pikir, kalau kamu itu bukan
anak kecil lagi. Kamu itu sudah baligh, sudah tahu membedakan antara yang haq dengan yang bathil.
Mumayyiz. Ibu yakin, kamu tidak akan membantah setiap apa yang ibu bilang, karena kamu besar
dengan dininabobokkan oleh sabda-sabda nabi, dicilukbakan dengan firman-firman Allah. Kami
orang tua takut kena laknat Rasul, nak.” Jelas ibunya dengan penuh rasa. “Kamu tahukan, nabi
pernah bersabda, jika tangga rumahmu sudah didaki oleh seorang lelaki peminang, dan kamu sudah
senang dengan agama dan akhlaknya, maka terimalah pinangan itu. Sesungguhnya jika kau tidak
menerimanya, maka penolakanmu itu akan mendatangkan bala bagimu.”
Air mata mengalir dari sudut matanya. Cut tahu, ia harus belajar mengalah. Ia jadi teringat
pesan almarhum ayahandanya. “Kamu jangan terlalu pandai menilai dari luar. Karena jangan sampai
sesuatu yang kamu anggap baik itu adalah buruk nantinya untuk kamu. Dan begitupun sebaliknya.
Hidup ini memang sebuah teka-teki yang sulit, Cut. Kita tak tahu apa pun kedepannya. Yang paling
kita tahu adalah apa yang telah lalu. Dan yang paling penting untuk kita ketahui adalah apa yang
sedang terjadi.”
Cut membanting tubuhnya, yang dirasanya semakin ringkih, diatas kasur. Matanya
menerawang memandang langit-langit kamarnya. Ia membayangkan masa depan yang akan
dihadapinya. Tak ada lagi buku tugas. Tak ada lagi presentasi kelompok. Tak ada lagi momen-
momen menegangkan menghadapi amarah Ibu Rosyidah. Mungkin, pikirnya, yang ada hanya panci
berisi air. Penanak nasi. Baskom berisi cucian. Jepitan baju. Atau, makhluk kecil lain yang akan
membuat rahimnya melar diambang batas normal.
Sementara itu, di dalam panti yang penuh kehangatan , Baso masih segar membuat adik-
adiknya berteriak kegirangan dengan permainan adu cepat operasi hitung sederhana. Mereka semua
duduk berjejeran di depan Baso dan memasang perhatian penuh.
“Skor Ryan 15. Skor Maria 10. Skor Roni 20. Skor Tian 17 dan skor Dawai 20.” Papar Baso
membacakan skor mereka masing-masing.
“Wah! Roni sama Dawai skornya seri.” Celetuk Maria. “Kok malah skornya Ryan sama Tian
yang beda?”
Tian dengan kesal langsung mengacak rambut Maria. Maria paling tidak suka diacak
rambutnya. Di pagi hari, ia akan menghabiskan 15 menit di depan cermin dengan sisir bergigi rapat
yang mengurai rambutnya. Kadang ia diejek oleh anak-anak yang lain karena Dawai saja yang
rambutnya sepunggung hanya butuh tak lebih dari satu menit untuk menggerai rambutnya. Kenapa
justru Maria yang rambutnya hanya seleher yang paling lama bergelut dengan sisir di depan cermin.
Maria menangis diacak rambutnya oleh Tian. Baso dengan tampang kesal bercampur gemas
segera menghampiri adik termudanya itu. Dielusnya rambut Maria sambil jemarinya menghapus air
matanya. “Sudah jangan nangis. Nanti kakak bantu nyisir rambutnya, ya.”
Mata bulat Maria yang bercahaya menatap Baso dengan penuh pengharapan. “Bener, ya,
kak?” Dimintanya penegasan dari Baso.
Baso mengangguk. “Iya. Kakak janji. I’m sure.”
Dengan malu, Maria kembali mengembangkan senyumnya.
“OK!” Baso kembali ke pertandingan. “Karena skor Dawai sama Roni sama, maka kita akan
berikan pertandingan terakhir. Sipakah yang akan berhasil mendapatkan cokelat silver queen jumbo
ini.” Ujarnya sambil memamerkan sebatang cokelat itu di depan mereka semua.
“Yah… berarti kita ga’ dapat, dong.” Keluh Ryan sambil mengelus kepala botaknya. “Akhir-
akhir ini, cuma Dawai sama Roni yang sering kebagian hadiah. Ngga’ kayak dulu-dulu.”
Baso tersenyum. Ia sengaja melakukan itu. Pesan Ibu Khairah di malam itu adalah apa yang
ia lakukan akhir-akhir ini. Ia ingin membuat anak-anak ini punya tekad dan tidak mengandalkan
kalimat ‘yang penting dapat’ dalam kerja keras mereka.
Sebelum malam itu, Baso memang selalu memberikan hadiah kepada setiap anak, baik yang
menang maupun yang tidak. Hanya saja, hadiahnya lebih ringan. Dan kali ini, ia kumpulkan semua
harga itu untuk dihadiahkan nantinya kepada anak-anak yang dapat juara satu, dua dan tiga. Jadinya,
hadiahnya jadi lebih besar. Dan yang tak dapat juara hanya bisa mengeluh kesal.
“Kalau ya, kalian harus berusaha. Jangan ketika dalam pertandingan, kalian baru mau
berusaha. Lihat Dawai sama Roni. Di waktu senggang, mereka belajar. Ngga’ nonton TV melulu.
Siapa yang berusaha, dia yang dapat.” Godanya sambil memperlihatkan tiga bungkus cokelat untuk
juara satu, dua dan tiga.
Ryan manggut-manggut. Anak-anak lain menyerunya dengan teriakan Hu… yang panjang.
Melihat itu, Baso segera memulihkan perhatian mereka.
“Baiklah. Soal terakhir untuk dua grand final kita.”
Roni dan Dawai sudah bersedia dengan kertas dan pensil. Mereka memasang pendengaran
terbaik mereka. Pensil digenggamnya dengan kuat, sementara tangan yang lain memegangi kertas
agar tidak bergoyang saat mengerjakan soal.
Baso memainkan spidol di tangannya, sengaja berlama-lama untuk membuat dua anak itu
panas. Merasa sudah cukup, Baso menulis soal di papan tulis dengan cepat, lalu menghindar dari
hadapan mereka berdua.
“Dawai! Dawai! Dawai!” teriak anak-anak yang lain. Ya. Mereka lebih mengharapkan Dawai
yang jadi juaranya dibanding Roni.
Roni adalah anak yang pendiam. Tapi ia senang bernyanyi dengan anak-anak yang lain. Dari
mereka berlima, Roni yang paling mudah terbakar emosi. Dari itu, anak-anak tak suka mengajaknya
bercanda dan lebih sering mengabaikan keberadaannya.
“Yee….!!” Teriak anak-anak yang lain saat Dawai menyodorkan kertasnya kepada Baso.
Roni yang masih belum selesai tampak putus asa.
“Jangan putus asa, Roni!” Baso menyodorkan kembali kertas milik Dawai. “Kerja ulang.”
Jawaban Dawai salah.
Mereka yang tadinya bersorak riang, berbalik mengelukan sorak kekecewaan. Sambil
menggaruk kepalanya yang berambut lebat, Dawai mengerjakan ulang soal itu. Dengan gesit, jemari
Roni melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena melihat Dawai yang lebih dulu
menyodorkan kertasnya. Tepat sebelum Dawai sampai di pertengahan operasi, Roni sudah berbalik
menyodorkan kertasnya pada Baso.
Baso tersenyum. “Pemenangnya Roni!”
Dawai melemparkan pensilnya sambil mengacak rambut panjangnya. Ia kesal tak mampu
menyelesaikan soal itu dengan cepat dan tepat.
“Dawai, pensilnya kenapa dilempar?” Baso menegur Dawai yang masih dirundung pilu.
“Ayo diambil. Nanti tak bisa main kayak gini lagi, gimana?”
Dengan wajah yang masih terlipat, Dawai berjalan menuju pensil yang tadi dilemparnya.
“Juara satu dalam kompetisi ini masih diraih oleh juara bertahan kita dua kali berturut-turut.
Roni!” Baso menarik tangan adiknya yang masih kesal itu. “Dan juara kedua, diraih oleh mantan
juara bertahan kita lima kali berturut-turut. Dawai!” anak-anak yang lain bertepuk tangan. Dan juara
tiga, masih diraih oleh juara tiga bertahan kita tujuh kali berturut-turut. Tian!”
Baso memberikan hadiah coklat itu kepada mereka bertiga. “Ayo, salaman. Supaya kaya
pertandiangan beneran.” Pintanya. Dan dengan patuh, mereka bertiga bersalam-salaman.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Jam tidur untuk anak-anak panti.
Baso menggiring mereka dengan meminta mereka saling memegang pundak, berjalan teratur menuju
kamar. Dengan riangnya melangkahkan kaki kecil mereka sambil bernyanyi.
“Naik kereta api tut…tut…tut… Siapa hendak turun. Ke Bandung, Surabaya, bolehlah naik
dengan percuma….”
Setelah mereka semua masuk, Baso meminta Ryan untuk memimpin membaca do’a sebelum
tidur. Awalnya, Ryan menolak. Namun saat dibisik oleh Baso, dijanji akan diberikan sepapan cokelat
putih, akhirnya ia melakukannya.
“Mimpi yang indah.” Baso mengucapkan salam kepada adik-adiknya. Dan mereka
menjawabnya dengan salam serupa.
Di ruang tamu, tampak Ibu Khairah yang begitu kusam. Ia sepertinya sedang memikirkan hal
yang memusingkan. Kertas-kertas dokumen berserakan diatas meja. Sambil memeriksa setiap
dokumen, mulutnya juga tak henti-hentinya menjawab pertanyaan dari orang yang berada di
seberang telepon. Ponselnya diselipkannya pada jilbabnya karena kedua tangannya sibuk memilah
kertas-kertas yang ada.
Itu berlangsung agak lama. Si penelpon mengakhiri pembicaraan saat jam menunjukkan
pukul sepuluh malam. Dengan pura-pura tidak tahu, Baso mendekati Ibu Khairah. Ia mengambil
tempat duduk di samping Ibu khairah sambil memperhatikan kertas-kertas yang berserakan itu.
“Ini kertas-kertas apa, Bu?” Tanya Baso, penasaran. Dari dekat, ia bisa melihat kerutan yang
semakin bertambah di sekitar bola mata Ibu Khairah.
“Dokumen-dokumen panti asuhan.” Jawab Ibu Khairah sambil mulai membereskan kertas-
kertas itu.
“Yang tadi menelpon itu, siapa, ya?” Baso masih penasaran.
Mendengar pertanyaan itu, Ibu Khairah menghentikan kegiatannya. Ia mengusap wajahnya
yang terlihat begitu kelelahan. Ia mengembuskan nafas pelan, seakan mengembuskan segala beban
pikirannya. “Pimpinan panti asuhan.”
Baso mengernyit. “Memangnya ada masalah apa, Bu?”
“Sebenarnya, ibu berat mengatakan ini sama kamu. Tapi tak apalah. Ibu rasa, kamu sudah
berhak mengetahuinya.” ucap Ibu Khairah “Panti asuhan ini rencananya hendak diberhentikan.”
Jawabnya denga penuh keterpaksaan.
Mata Baso membulat. Ia merasa tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Ibu Khairah.
“Kok bisa begitu, Bu?”
“Katanya, dari sekian cabang panti asuhan yang ada, panti ini yang paling kecil, sepi, dan
tidak steril.”
“Tidak steril bagaimana? Jadi maksud pimpinan panti asuhan, kita harus mengedarkan
brosur-brosur, atau pasan iklan di surat kabar, atau semacam itu agar penghuninya bisa lebih banyak?
Atau membagikan amplop-amplop yang berisi permintaan bantuan agar orang-orang bisa memberi
sedekah untuk panti ini?” Baso merasa tidak setuju dengan keputusan itu.
“Panti asuhan ini terlalu jauh dari pusat. Jadi, kontrolnya susah, kata mereka. Maunya
mereka, panti cabang ini akan dipindahkan ke Makassar.” Jelas Ibu Khairah. “Hal-hal menyangkut
penyaluran dana, pengadaan perabot dan pendidikan untuk penghuni panti akan lebih mudah jika
dipindahkan ke Makassar. Tepatnya, menurut mereka, membuka cabang di sini memakan dana yang
lebih besar dua kali lipat.”
“Bukannya cabang madrasah Muhammadiyah juga ada di sini? Kenapa mereka tidak bekerja
sama saja dengan pihak panti asuhan, bu?” Baso memberikan usulan.
“Ibu tak tahu apa-apa menyangkut hal itu. Yang jelas ini permintaan dari atasan, dan
bangunan ini akan disewakan sebagai penghasilan taambahan untuk panti asuhan…”
“Ini tidak masuk akal sama sekali, Bu.” Potong Baso dengan ketus. “Apa susahnya bagi
mereka membuat koneksi dengan pihak Madrasah? Kalau mereka mau diberi saran, lebih baik ibu
coba membicarakan hal itu pada mereka. Pihak madrasah pasti bisa menyetujuinya. Kalau mereka
menolak, saya yakin, pasti ada orang yang bergerak dibalik layar, Bu.”
Ibu Khairah terdiam. Apa yang diakatakan Baso memang ada betulnya. Namun berhadapan
dengan pimpinan yayasan bukan perkara yang mudah. Apalagi, mengingat dirinya yang hanya
sebagai pengurus di panti asuhan cabang.
“Ibu akan usahakan itu, nak.” Putus Ibu Khairah dengan tenang.
Baso terdiam. Ini adalah sebuah mimpi buruk baginya. Kemana ia akan kembali?
Mendaftarkan diri sebagai penghuni asrama? Ia sudah puas dengan segala kengerian yang ada di
asrama sejak ia mengenyam pendidikan di Madrasah Tsanawiyah. Lebih tepatnya, asrama hanyalah
kata yang indah di telinga, namun borok di mata.
***
Hanya ia dan Ibu Khairah yang punya ruangan pribadi. Anak-anak panti, tukang masak dan
petugas keamanan harus saling berbagi tempat dengan teman mereka masing-masing di dalam satu
kamar sempit. Baso mendapat kamar khusus karena kebijakan dari pimpinan. Tak lain sebabnya
karena ia sedikit banyak membantu pendanaan panti. Saat tagihan dari PDAM dan PLN datang, dan
belum ada dana dari pusat, maka Baso yang akan mentalanginya. Dan beberapa fasilitas yang
diperbaiki, seperti kamar mandi, palfon setiap kamar, dan perabot-perabot dapur adalah sumbangan
dari Baso. Semua itu ia lakukan untuk adik-adik pantinya, dan keberlangsungan panti ini kedepannya. Itulah mengapa Baso begitu tidak terima saat mengetahui bahwa panti asuhan ini akan
diberhentikan dan dipindahkan ke Makassar.
Baso termenung sambil tengkurap. Ia masih memikirkan perbicangan tadi. Ia tak mampu
membayangkan dirinya kembali ke asrama. Cukup di masa lalunya ia membuang kebahagiaannya di
tempat itu.
Sebenarnya, asrama dengan masa lalunya yang kelam itu tak ada hubungannya sama sekali.
Hanya saja, karena saat setelah kejadian itu, ia tak punya tempat untuk mengadu, akhirnya Baso
tenggelam dalam ketakutannya sendiri dan menyalahkan asrama yang tak bisa memberikan perhatian
padanya. Tapi itu juga karena Baso yang tidak melaporkan kejadian itu kepada pembinanya.
Itu terjadi saat Baso sudah naik kelas dua Mts. Setahun menghabiskan umurnya di kelas satu
serasa menjalani hari tanpa kebahagiaan selama satu windu. Hanya karena tekadnya untuk
membahagiakan ibundanya sehingga ia masih mampu bertahan sampai saat itu.
Malam itu, Baso yang masih polos sedang berjalan seorang diri dari toko buku yang jaraknya
agak jauh dari kampus pondoknya. Ia dari membeli buku yang begitu menarik perhatiannya. Return.
Itu judul bukunya. Setelah menabung beberapa minggu, akhirnya uangnya genap untuk membeli
buku itu. Dan ia berangkat malamnya seorang diri dan pulang seorang diri dengan penuh kepuasan.
Di tengah jalan, tiba-tiba ada seseorang yang bertanya pada Baso.
“Kantor pengadilan agama dimana, ya, dek?” Tanya orang itu kepada Baso.
Baso kemudian menunjukkan rute yang harus ditempuhnya agar orang itu bisa sampai di
sana. Namun orang itu kelihatannya kurang paham dengan penjelasan Baso. Bukan kurang paham.
Itu adalah bagian dari strategi.
“Bisa antar saya ke sana, tidak, dek?” Pinta orang itu dengan begitu ramah.
Baso yang begitu polos segera saja naik ke jok motor, bersedia menjadi pemandunya.
Akhirnya, orang itu berhasil membawa Baso ke sebuah jalan yang sunyi. Tak ada kendaraan dan
rumah penduduk yang nampak di sana. Orang itu kemudian memberhentikan motornya, dan
meminta Baso untuk turun dari motor. Ia kemudian memperlihatkan sebuah badik yang terselip di
pinggangnya, mengancam Baso untuk melakukan apa saja yang diperintahkan padanya.
Barulah Baso sadar saat itu bahwa dia telah dibawa lari oleh seorang yang terkena gangguan
kejiwaan. Penganut LGBT.
Apa yang bisa Baso lakukan selain pasrah. Baso hanyalah seorang anak kecil yang mana
mungkin mampu melawan orang yang membawanya itu. Terlebih lagi, orang itu punya senjata yang
siap mengakhiri hidupnya jika dia macam-macam.
Lengkaplah penderitaan Baso saat orang yang membawanya itu mulai menyiksanya.
Baso masih sangat ingat hari itu. Tanggal 26 Februari 2015, malam Jum’at. Di malam itu,
yang terpikir dalam kepalanya hanyalah kematian. Betapa tak menyangkanya ia, dirinya akan
berakhir dengan mengenaskan di tempat ini. Sungguh buruknya kisah hidupnya. Namun ternyata
Tuhan masih ingin melihat Baso hidup.
Setelah melampiaskan hasratnya, orang yang menggagahinya itu meminta ia untuk segera
kembali naik ke motor. Baso kemudian diantar sampai ke depan gerbang kampus. Beberapa resimen
mahasiswa tampak masih berjaga di pos resimen. Baso ingin melaporkan orang itu kepada mereka,
namun orang itu sudah terlanjur pergi. Malam pun sudah terlalu larut untuknya. Ditambah lagi,
badannya benar-benar letih dan sakit.
Saat Baso memasuki gerbang, seorang resimen mahasiswa menagih penjelasan. Mengapa
Baso baru kembali tengah malam. Baso yang tak bisa melayaninya hanya bisa memperlihatkan buku
yang dibelinya itu.
Berharap mendapatkan belas kasihan, ia malah mendapat hukuman. Baso disuruh push up
sampai 20 kali. Itu jumlah yang cukup sedikit. Tapi dalam keadaan seperti ini, lima kali push up pun
serasa merobek-robek otot. Setelah mendapat hukuman, Baso kemudian diperbolehkan kembali ke
asrama. Di asrama pun, ia kembali dihukum oleh pembinanya karena dikira keluyuran. Sempurnalah
malam penuh penderitaan itu bagi Baso.
Semenjak kejadian mengerikan itu, ia jadi semakin sensitif dengan hal-hal yang berbau intim.
Apakah itu memang berhubungan dengan hal intim, maupun yang tidak ada hubungannya sama
sekali. Dan semenjak itu pula, Baso mengharamkan dirinya untuk menginjakkan kaki di tempat yang
dinamakan asrama. Baginya, seburuk-buruknya tempat kembali di dunia ini adalah asrama.
Sebagaimana buruknya neraka selaku tempat kembali paling buruk di hari akhir.[]

Not Child Anymore  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang