“Saya harus bisa melupakan kamu untuk melakukan itu.”
-Cut Tian Humairah-Tanggal 30 April 2018
Ini hari terakhir Cut di Sengkang sebelum rencana meluncur ke Malili. Tapi belum ada kabar yang ia dapatkan dari Baso. Ia makin khawatir, jika Baso tak akan jadi menyanggupi ajakannya itu. Ia sudah terlanjur menjamin itu pada ayahnya Wahid.
Di sisi lain, Baso masih mempertimbangkan mana yang akan ia putuskan. Entah sudah berapa lembar kertas yang memenuhi tempat sampahnya, namun belum ada yang jadi diberikannya pada Cut. At the crossroad. Tak tahu harus memutuskan apa, tapi ia harus memilih. Ditambah lagi, kabar dari dokter yang memvonis Ibu Ratna harus menjalani operasi untuk mengeluarkan gumpalan darah yang ada di kepalanya akibat kecelakaan, menambah beban pikirannya. Seluruh sekolah akan sangat merasa kehilangan jika operasi itu berujung kepada malapetaka.
Belum lagi selesai dengan kasus Ibu Ratna, sudah ada kabar lagi yang datang. Ibu Sitti Aminah, istri Pak Akis, sakit parah. Ibu Sitti Aminah adalah salah seorang guru di MALPI. Ia mengajar Ilmu Ekonomi di sana. Namun karena Cut adalah santri jurusan MAK, maka Cut tak pernah diajar olehnya. Tapi, ia cukup tahu siapa Ibu Sitti Aminah.
Kanker payudara. Penyakit itulah yang menggerogoti tubuh istri tercintanya Pak Akis. Tahun lalu, kabarnya ia pernah masuk ke rumah sakit, dirawat di sana untuk beberapa saat. Dan tahun ini, penyakitnya semakin parah. Kesaksian kerabat-kerabat guru yang menjenguknya mengatakan bahwa badannya benar-benar turun drastis dan pucat. Dalam sakitnya itu, ia masih sampat-sempat bangun untuk menyambut kerabat-kerabat guru seyayasan suaminya, Pak Akis. Keadaannya semakin buruk saja. Namun sayangnya, Cut belum mengetahui itu.
Baso meraih ponselnya. Sejak dari rumah sakit kemarin, ia belum pernah menyentuhnya. Lima panggilan tak terjawab. Dari nomornya Wahid. Baso melihat rincian panggilan itu. Lima panggilan itu berturut-turut menderingkan ponselnya mulai dari jam enam pas sampai lewat sepuluh menit. Saat itu, ia masih di rumah sakit.
Merasa penasaran, Baso menghubungi nomor itu.
“Halo. Ada apa, Baso?”
“Kemarin malam kamu nelpon, ya?”
“Kemarin malam?”
“Iya. Maghrib.” Baso memperjelas.
Wahid mengingat-ingat. Maghrib. Saat itu, mereka sedang berkumpul dengan keluarganya dan Cut. Iya. Cut. “Oh! Mungkin Cut yang nelpon kamu. Dia memang pinjam HP aku saat itu. Dia mau tanya kamu soal jadi atau tidaknya kamu ikut sama kami ke Malili.”
“Itulah. Saya juga tidak tahu apakah jadi atau tidak.”
Wahid mengernyit heran. “Bukannya kamu sudah pasti ke sana?”
“Ah? Siapa yang bilang?” Baso juga tak merasa pernah mengiyakan ajakan itu.
“Loh? Bukannya Maghrib itu kamu bicara sama Cut?”
“Kan saya yang nanya, kenapa ada missed call yang masuk. Saya tidak ada di panti saat Cut menelpon.”
“Tapi kenapa Cut bilang kamu sudah pasti akan ikut dengan kami?”
Baso makin heran. “Tidak pernah saya beri kabar.”
Wahid menepuk kepalanya. “Tapi kamu jadi ikut dengan kita, kan?” Wahid berharap agar Baso mengiyakan. “Soalnya, pihak masjid di sana sudah mendaftar kamu sebagai muballigh rangkap dengan imam di sana.”
“Em… bagaimana, ya.” Baso berpikir, sejenak. “Saya akan hubungi saja nanti kalau sudah ada kepastian.”
“Yah…usahakan bisa, ya. Soalnya, akan rumit kalau sampai batal” ujar Wahid. “Saya akan beritahu Cut. Katanya dia sudah hubungi kamu, tapi ternyata belum, ya.”
“Iya. Saya akan usahakan untuk menyanggupinya” Pungkas Baso. “Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salaam.”
Baso masih menatap ponselnya. Heran. Ia tak pernah memberi jawaban apa pun atas tawaran yang terlampir di surat itu. Dan Cut sudah pernah menghubunginya. Cut berbohong?
Sementara itu, Wahid yang masih ada di kantornya segera menghubungi Cut. Tepatnya, menghubungi nomor bibinya Cut.
“Assalamu ‘alaikum, Tante.”
“Iya, wa’alaikum salaam. Ada apa, ya, Nak Wahid?”
“Saya mau bicara sama Cut, tante.” Ujarnya tanpa basa-basi.
“Oh, ya. Sebentar.” Bibinya memanggil Cut yang sedang mencuci pakaiannya.
Cut meninggalkan cuciannya dengan tangan yang masih berbusa. Bibinya sudah memperbolehkannya mengerjakan pekerjaan rumah. Itu karena badan Cut sudah sampai di titik idealnya. Dan untuk menjaga agar badannya tidak melar, ia menyeimbangkan makannya dengan banyak-banyak beraktifitas di rumah.
“Halo, Daeng?” Cut menerima ponsel itu.
“Saya baru saja bicara sama Baso. Katanya dia masih belum jelas akan ikut atau tidak dengan kita.”
Cut tersentak kaget. Ini masalah. Bagaimana bisa Wahid menelpon Baso? “Kok tidak jadi, Daeng?” Tanya Cut setengah hati.
“Ya justru saya yang bertanya sama kamu. Kenapa kamu bilang dia jadi ikut? Kamu belum bicara sama dia, ‘kan, saat selesai makan malam kemarin?” Wahid tak menyisakan tuduhannya. Langsung disemburkan semuanya kepada tunangannya itu.
“Saya hanya tak ingin membuat Pak Abdul Ghani menunggu sesuatu yang tidak jelas.” Akunya dengan lirih.
“Justru kamu makin tidak memperjelasnya dengan berbohong seperti itu.” Sergah Wahid, setengah hati mengomeli Cut. “Kalau Baso ternyata benar-benar tak jadi datang, bagaimana? Makin susah, kan. Ditambah lagi, nama ayahku akan tercoreng nantinya.”
Cut hanya bisa terdiam, tak berani bersuara. Karena sedikitpun ia bersuara nantinya, ia akan dibalas dengan sergahan yang lebih.
“Halo?” Wahid memastikan telponnya tidak terputus.
“Iya. Halo, Daeng.” Jawab Cut. “Kita tunggu saja keputusannya kalau begitu. Siapa tahu Baso menyanggupinya.”
“Kalau tidak jadi?”
“Saya akan cari yang lain kalau begitu, Daeng.” Putus Cut.
“Sudah, kamu tidak usah cari cadangan.” Ujar Wahid. “Meloma’ puadakki’, makkeda narekko engka anu temmanessa makkuaro, aja’na yassakkarengngi. Jujur saja kalau memang belum ada kepastian. Tidak usah disembunyi-sembunyikan, Nri’.”
“Iye, Daeng. Tabe’. Maafkan saya.” Angguk Cut.
“Iya, iya. Saya tidak akan memberitahu ayah saya tentang ini. Akan saya usahakan agar Baso jadi ikut dengan kita.” Putus Wahid. “Kamu sedang apa, sekarang?” Tanya Wahid, hendak mengakhiri pembicaraan itu.
“Saya lagi mencuci, Daeng.”
“Oh, purani pale’na. Kamu lanjutin cucian kamu, ya. Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salaam.”
***
Malam. Langit berawan. Tiada bintang gemintang. Rembulan pun hanya bersinar remang. Baso terpekur di ruang shalat seorang diri. Ia sedang resah memikirkan kesanggupannya menerima tawaran Cut dan tentang bagaimana keadaan Ibu Ratna saat ini. Operasinya dimulai tadi setelah Ashar. Dan sampai sekarang, Baso tidak pernah melepaskan ponselnya, menunggu kabar yang akan datang.
“Kak Baso.” Sebuah suara menyadarkan Baso dari pekurnya. Maria.
Baso berbalik, melihat si pemilik suara. Dipanggilnya Maria untuk duduk di dekatnya. Dan dengan patuh, Maria berlari dan duduk di dekat Baso. “Ayo makan.” Ucap Maria, mengutarakan tujuannya ia kesini.
“Kakak mau nanya sama Maria.” Baso mengelus kepala Maria yang masih terbungkus mukena.
“Nanya apa, Kak?”
“Apakah Maria mengijinkan kalau kakak tidak Ramadhan sama Maria di sini?” Tanya Baso.
“Memangnya kakak mau kemana?” Maria malah balas bertanya, tanpa menjawab pertanyaan dari Baso.
“Kakak mau pergi sama Kak Cut, Kak Wahid, Kak Naini, Kak Litsah dan Kak Rabiah ke kampungnya mereka. Kakak ditawar jadi imam tarwih dan penceramah di sana.” Jelas Baso, berusaha sehalus mungkin, agar Maria tak merasa amat tertekan dengan pertanyaan yang lebih mirip pernyataan itu.
“Kenapa harus di sana, Kak? Memangnya kakak tidak bisa ceramah di Sengkang saja?” Ujar Maria.
Baso tersenyum, mengerti apa jawaban Maria. “Ayo kita makan.”
Mereka kemudiann berjalan menuju ruang makan dalam bisu. Maria yang mengikuti langkah Baso, menengadah, menatapnya. Tatapan yang penasaran, apakah Baso bersungguh-sungguh atau tidak.
Saat makan pun, Maria tak mengalihkan perhatiannya dari Baso. Baso tak menyadari itu. Barulah ia sadar saat Ibu Khairah yang menanyai Maria.
“Ada apa, Maria? Kamu melamun?” Tanya Ibu Khairah.
Maria menggeleng, lalu menyuap makanannya, berpura-pura tak telah terjadi apa-apa.
Selepas makan, Baso berbincang-bincang dengan Ibu Khairah di ruang tamu. Baso meminta pendapat Ibu Khairah. Apakah lebih baik ia menerima tawaran itu atau tidak.
“Kamu full satu Ramadhan di sana?” Ibu Khairah bertanya.
Baso mengangguk. “Iya, Bu. Kata anaknya Pak Abdul Ghani, saya sudah didaftar di sana sebagai muballigh tetap selama sebulan.”
“Tapi kamu sebelumnya memang sudah menyetujui itu?”
“Nah, itu masalahnya, Bu.” Ujar Baso. “Cut baru menawarkan saya untuk ikut dengan mereka ke sana. Dan saya belum memberikan jawaban apa pun, lantas nama saya sudah diblok di sana, Bu.”
“Loh? Kenapa bisa begitu? Kamu belum mengiyakan kok sudah disangka akan ikut?”
“Yah…” Baso mengerling. Tak seharusnya ia mengatakan bahwa Cut berharap besar padanya untuk menerima tawaran itu. “Saya juga tidak tahu, Bu.” Dan ia putuskan untuk berkilah saja.
“Kalau begini, kamu mau tak mau harus tetap ke sana.” Ucap Ibu Khairah, setengah hati. Ia tak ingin Baso ke sana. Tak akan ada yang menghibur anak-anak di waktu luang. Tak akan ada tawa dan senda gurau. Menjalani segalanya bagaikan air sungai yang mengalir tenang. Ditambah lagi, Baso tak akan tinggal lama lagi di sini. Ia sudah lulus SMA sederajat. Setelah itu…
“Tapi jika umpamanya masih ada keputusan lain, apakah lebih baik saya menolaknya, Bu?’ Baso meminta pendapat.
“Tentu lebih baiknya kamu di sini saja. Apalagi, ini Ramadhan terakhir kamu di sini, ‘kan?”
Baso menghela nafas. Memori itu baru hadir kembali di kepalanya. Masih ia kira ada Ramadhan tahun depan untuk ia dan adik-adik pantinya bersama. Ia lupa bahwa ia harus melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.
“Kalau saya menolaknya, bagaimana, Bu?”
Ibu Khairah menggeleng. “Jangan kamu tolak.” Ia tak setuju dengan ide Baso, walau ia juga merasa berat melepasnya pergi. “Orang sudah menunggu kamu di sana. Jika kamu tolak, apa yang akan mereka bilang? Hukum karma masih berlaku. Kita tidak boleh bertindak seenaknya seperti itu. Jika ternyata ini sudah terlanjur, tak usah dirombak lagi. Jadinya pasti akan lebih runyak nantinya.”
Benar apa yang dikatakan Ibu Khairah. Tak ada yang lebih mengerikan dan berkuasa selain hukum karma. Tak ada yang bisa menolak itu, karena datangnya dari Sang Khaliq. Baso jadi mati kutu untuk menolak tawaran itu. Ia akan menerimanya. Tapi, masih belum utuh. Masih ada yang perlu ia perjelas sebelum menjatuhkan pilihan.
“Saya mau bertanya satu hal lagi, Bu.” Ucap Baso.
“Apa itu, nak?”
Sejenak, Baso terdiam. Kemudian bertanya. “Ibu pernah jatuh cinta dengan seseorang?”
Ibu Khairah terhenyak mendengar pertanyaan itu. Sejenak. Kemudian tertawa. “Kamu kenapa menanyakan ini?”
“Em.., saya hanya ingin tahu saja. Bagi-bagi pengalaman.” Baso tak mengutarakan tujuan utamanya mengapa ia menanyakan itu.
“Namanya manusia itu memang akan melalui masa-masa penuh gelora seperti kamu.” Ujar Ibu Khairah, tak langsung pada jawabannya. “Degaga tau melo tuo ale-ale. De’to gaga tau melo mallaleng ale-ale. Tidak ada orang yang ingin hidup seorang diri di muka bumi ini. Tidak pula ada orang yang ingin dan mampu menghabiskan hidupnya untuk dirinya sendiri saja. Tuhan Maha Tahu. Itulah mengapa Sitti Hawa diciptakan. Ia selimut dikala kedinginan. Teman dikala kesepian. Gairah dikala putus asa.
“Ibu pernah dekat dengan seorang laki-laki. Saat itu, Ibu masih belajar di Madrasah ‘Aliyah Putri. Dia santri Hufadz Masjid Jami’. Tak butuh banyak alasan bagi ibu untuk tertarik pada sosoknya. Ia orang yang ramah, sederhana dan penjaga firman Tuhan. Saat kami bertemu di acara penamatan umum As’adiyah, Ibu menyatakan perasaan Ibu padanya. Ibu benar-benar malu jika mengingat kejadian itu.”
Baso tersenyum, terhanyut dalam cerita Ibu Khairah.
“Dan dia menerimanya.” Sambung Ibu Khairah. “Setelah Ibu tamat MA, Ibu melanjutkan pendidikan di Ma’had ‘Aliy As’adiyah Sengkang. Dan kebetulan, dia mendaftar disitu juga. Jadinya, kami lebih dekat lagi. Ibu benar-benar jatuh cinta pada dia. Itu cinta pertamanya ibu dan sekaligus cinta terakhir.
“Saat dia memperkenalkan Ibu kepada orang tuanya, Ibu benar-benar senang. Dia sungguh-sungguh ingin mengkhitbah Ibu. Orang tuanya pun juga suka dengan ibu. Hanya saja, mereka meminta sebuah kejelasan.
“Pernikahan yang berkah itu adalah yang murah maharnya dan murah rahimnya. Mereka meminta Ibu untuk memeriksakan diri. Apakah Ibu kelak bisa memberi cucu kepada mereka atau tidak. Karena anak mereka adalah anak tunggal. Jika dia tak dapat cucu dari anak tunggalnya itu maka terputuslah keturunannya.
“Alhasil, Ibu ditemani dia ke rumah sakit. Ibu dengan percaya diri masuk ke ruang pemeriksaan. Dokter yang memeriksa ibu saat itu juga adalah dokter yang menangani Maria. Setelah pemeriksaan, Ibu diminta menunggu sebentar untuk mendapat laporan dari hasil pemeriksaan itu.
Ibu Khairah berhenti sejenak. Wajahnya yang tadi berbunga-bunga, dihiasi senyum, kini suram dan kusam. Matanya berkaca-kaca dan nafasnya tertahan. Ia tampaknya tak mampu meneruskan ceritanya. “Dan alangkah hancurnya hati Ibu saat mendapat laporan dari tes itu. Rahim ibu rapuh, tak mampu menopang jabang bayi. Dan itu berarti, kami berdua harus mengakhiri hubungan itu. Mau tak mau. Karena apa boleh buat? Itu adalah kenyataan yang Tuhan berikan kepada Ibu. Tak ada gunanya menyesali semua itu. Ibu diberi kesempatan mengenal yang namanya cinta dan pedihnya menanghadapi takdir. Dan itu sudah cukup bagi Ibu.
“Tak ada,” air mata Ibu Khairah meleleh. “Tak ada yang lebih membuat Ibu menangis sampai harus mendekam lama di dalam rumah selain dia. Dan sampai sekarang, Ibu sadar akan apa yang Tuhan takdirkan. Tuhan Maha Tahu. Dengan menggadisnya ibu hingga saat ini, tak pernah membuat Ibu merasa putus asa untuk hidup. Ibu dipertemukan dengan anak-anak, sehingga menjadi alasan bagi Ibu untuk tetap berjuang. Sadar, Ibu tak akan pernah mampu mendapatkan anak dari rahim ibu sendiri. Tapi anak-anak ini tak kurang dari apa yang ibu harapkan. Dan kamu, kamu hadir untuk menguatkan hati Ibu, nak.”
Ibu Khairah menghapus air matanya. Melihat itu, Baso ikut merasa terharu mendengar curahan hati Ibu Khairah. Sesakit itukah yang namanya cinta?
“Maaf, Bu.” Lirih Baso. “Saya tidak bermaksud membuat Ibu teringat masa lalu itu.”
“Tidak apa-apa, nak. Ibu orangnya memang gampang nangis kalau berbicara masa lalu. Rindu rasanya kembali ke masa-masa muda. Sebenarnya, sebelum pemuda itu, Ibu juga pernah dekat dengan seorang laki-laki. Tapi itu tidak terlalu penting.”
Baso tertawa hambar. Ia tahu, Ibu Khairah tak ingin menceritakan itu lebih lanjut. Walau sebenarnya ia juga penasaran, tapi ia memilih untuk tidak menyinggung laki-laki pertama yang pernah dekat dengan Ibu Khairah itu. “Ibu masih muda, kok. Ibu belum nenek-nenek.”
Ibu Khairah ikut tertawa. Usianya memang belum terlampau tua. Usianya baru 37 tahun. Masih terlampau muda untuk dipanggil nenek oleh anak-anak.
Baso dikejutkan oleh suara dering ponselnya. Panggilan masuk. Dari Zulkifli. Itu berarti, sudah ada kabar dari rumah sakit.
“Halo. Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salaam. Apakah kamu sedang di kampung?”
“Iya. Bagaimana kabar Ibu Ratna? Operasinya berhasil?”
“Gagal, Baso. Ibu Ratna meninggal tadi sehabis shalat Maghrib.”
“Innalillahi wainna ilaihi roji’uun.” Lirih suara Baso melafadzkan kalimat itu saat mendengar kabarnya. “Uppanna ripatabbawa? Kapan dia akan dikebumikan, Zul?”
“Mungkin besok pagi, Baso. Kamu datang, ya.”
“Iya. Kamu bisa jemput aku nanti di tempat yang kemarin itu?”
“Di depan panti asuhan?”
“Iya.”
“Oh, ya. Aku akan jemput kamu di sana. Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salaam.”
Baso menutup teleponnya. Matanya nanar menatap sekitar. Lidahnya kelu. Matanya keruh. Nafasnya menderu. Hatinya serasa diiris sembilu, ditusuk onak yang melintangbujur. Baso merasa menyesal. Tak menghargai kehadiran Ibu Ratna yang begitu berharga.
Ia akan pergi ke rumah sakit. Sekarang juga.
***
Cut, bibinya dan pamannya berangkat ke rumah Wahid. Pak Abdul Ghani memanggil mereka untuk pergi bersama-sama ke rumah sakit melihat keadaan istrinya.
Sesampainya di sana, Pak Abdul Ghani dan anak-anaknya baru selesai makan malam. Tapi Naini sudah berangkat lebih dulu untuk menjaga ibunya. Dari dapur, Litsah datang membawa nampan, menghidangkan teh untuk mereka menunggu sejenak.
“Tolong pinjamkan ponselnya Daeng Wahid.” Pinta Cut saat Litsah menyodorkan cangkir teh kepadanya.
Litsah mengangguk. Ia segera membawa kembali nampan itu ke dapur dan mencari kakaknya. Beberapa saat kemudian, Litsah kembali dengan ponsel Wahid.
“Terimakasih.” Ucap Cut, menerima ponsel itu.
“Sama-sama.”
Cut membuka daftar kontak, mencari nomor kontaknya Baso. Ingin meminta maaf karena membuatnya masuk kedalam masalah. Meski itu tak terlalu berarti untuk disepadankan dengan kondisi ibunya Wahid.
“Assalamu ‘alaikum.” Cut segera memberi salam saat mendengar teleponnya diangkat.
“Wa’alaikum salaam. Cut? Ada apa?”
Cut tak tahu harus memulai dari apa. Ia menatap bibi dan pamannya yang memperhatikan ia menelpon. Tidak seharusnya mereka tahu hal ini. Cut beranjak dari tempat duduknya dan keluar di teras. Setidaknya, suaranya terlalu jelas didengar oleh paman dan bibinya jika ia di sini.
“Kamu sudah bicara dengan Wahid?” Tanya Cut.
“Tadi sore. Saya yang menelpon. Katanya, soal…
“Iya. Saya minta maaf soal itu.” Potong Cut. “Waktu saya menelpon, kamu tidak angkat. Ayahnya Wahid juga minta kepastian dengan segera. Jadi saya terpaksa bilang iya.”
“Tidak apa-apa.” Jawab Baso.
Cut mendesah. “Kamu sedang di panti?”
“Saya sedang di rumah sakit.”
“Di rumah sakit?” Cut heran. “Kamu sedang apa di rumah sakit?”
Baso berdeham. “Ibu Ratna, guru saya meninggal. Saya sedang menunggu mayatnya selesai diurus oleh pihak rumah sakit.”
“Innalillahi wainna ‘ilaihi raaji’uun.” Ucap Cut. “Jadi kamu masih disitu, ‘kan?”
“Iya. Mungkin urusannya masih lama. Belum lagi asuransi dan agreementnya.”
“Kebetulan kami semua juga ingin ke rumah sakit menjenguk ibunya Wahid. Kalau kamu mau, kamu bisa menunggu kami disitu. Dan kamu juga bisa berbicara dengan ayahnya Wahid soal keberangkatanmu itu.”
Baso terdiam. Antara iya atau tidak ia ingin menunggu mereka. Tapi… “Baiklah. Aku tunggu di sini.” Putus Baso setengah hati. Jawaban yang akan ia berikan masih belum ada kepastiannya. Iya atau tidak.
“Oke. Kami akan segera datang.” Ditutupnya percakapan itu dengan salam.
Cut lagi-lagi mendesah. Ia akan bertemu kembali dengan Baso setelah tak ada kontak selama beberapa minggu.
Cut kembali masuk. Duduk dihadapan cangkir tehnya yang masih utuh isinya. Kepul asapnya sudah hilang. Sudah cukup dingin untuk diminum. Tapi Cut belum ingin menyentuhnya sedikit pun. Ia tak berselera.
“Cut.” Bibinya meminta ia untuk segera meminum tehnya. “Pak Abdul Ghani sudah selesai siap-siapnya.”
Gagang cangkir itu diraihnya dengan jari tengah dan telunjuknya. Jempolnya menjadi penopang untuk gagang bagian luarnya. Teh itu disesapnya sambil memejamkan mata. Teh yang pekat dan wangi. Ini mengingatkan Cut pada neneknya, ibu ibunya. Ia seorang pekebun teh dan tahu semua seluk beluk dan jenis-jenis teh mulai dari rasa, warna, dan aromanya. Bisa dikatakan, ia seorang maestro teh. Dan bakatnya itu, mengalir kepada kedua anaknya. Ya. Bibinya dan ibunya Cut. Bagaimana tidak jika mereka dibesarkan dengan aroma daun teh. Selama bertahun-tahun, mereka besar di lingkungan dan keluarga petani teh. Wajar jika warisan itu menurun kepada mereka. Namun karena ibunya menikah dengan anak seorang saudagar, jadinya, warisan itu tak menurun hingga ke Cut.
Beralih. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang berdebu dan dipenuhi sarang laba-laba. Orang-orang lebih sibuk mengurus dagangan mereka yang tak pernah lagi menghitung satu dua juta rupiah, namun seratus dua juta sekali hantar. Dalam kesibukan lingkungan ayahnya Cut, hanya ibunya yang mengurus Cut, memberinya perhatian dan pendidikan dalam agama. Dan memori itulah yang terlupa dalam benak Cut, sehingga ia gelap mata, membenci ibunya sendiri yang sudah melimpahkan kasih sayang padanya.
Tak pernah lagi ada telpon dari ibunya setelah dimalam pertengahan di bulan Maret. Sekalipun tak pernah ada lagi. Biasanya, setiap satu atau dua minggu, ibunya akan menelpon setidaknya pada bibinya. Tapi kali ini sekalipun tidak pernah lagi. Dan itu sudah sebulan setengah sejak terakhir kali ibunya menelpon. Diantara mau dan tidak Cut ingin menghubungi ibunya. Tapi mereka keburu berangkat ke rumah sakit.
***
Mobil yang dikemudikan Pak Abdul Ghani memarkir di parking area rumah sakit. Dari pintu utama rumah sakit, tampak keramaian. Seseorang dimasukkan kedalam mobil ambulance yang meraung-raung sirinenya. Anak-anak berkopyah tampak mengerumuni mobil itu. Dari penampilan mereka, sudah bisa ditebak bahwa mereka adalah anak pesantren.
Rombongan mereka kemudian turun dari mobil. Cut yang masih menggenggam ponselnya Wahid segera menghubungi Baso.
“Halo, kamu dimana sekarang?” Tanya Cut langsung saat Baso mengangkat telponnya.
“Di depan UGD. Di dekatnya ambulance.” Jelas Baso.
“Oh. Jadi yang dimasukkan kedalam mobil itu gurumu yang meninggal?” Cut mencocokkan dengan apa yang ada.
“Iya.” Baso memperhatikan sekitar, mencari Cut dari kejauhan. “Kamu sendiri dimana?”
“Di park area. Saya akan ke sana.” Cut langsung menutup telepon dan bergegas ke sana. “Litsah, temani saya.” Lengan Litsah ditariknya.
“Kemana?” Tanyanya sambil mengikuti langkah Cut.
“Baso ada di kerumunan itu.” Ucap Cut sambil menunjuk kerumunan yang sudah mulai berhambur. Mobil ambulance sudah siap merayap pergi. Santri-santri yang ada segera berlari menuju parking area dan mengendarai motor masing-masing, menyusul ambulance yang sudah keluar dari gerbang rumah sakit.
“Baso!” panggil Cut saat didapatinya Baso yang berdiri bersama dengan Zulkifli menyaksikan kepergian mobil ambulance itu.
“Itu siapa, Baso?” Tanya Zulkifli saat melihat gadis yang memanggil Baso.
“Temanku.” Jawab Baso sekenanya.
“Sejak kapan kamu punya teman perempuan?”
“Sejak kamu tak mengira aku punya teman perempuan.” Baso menepuk bahu Zulkifli. “Aku pergi dulu.”
Baso segera menghampiri Cut dan Litsah. “Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salaam.” Jawab mereka berdua.
“Wahid dan yang lainnya dimana?” Tanya Baso.
Cut menunjuk ke area parkir. “Di sana. Ayo ikut kami.”
Baso mengekor merek berdua, berjalan menuju area parkir. Dari kejauhan, Baso sudah bisa melihat mobil itu. Wahid dan yang lainnya tampak menunggu di sana. Baso segera bersalam-salaman dengan mereka semua. Lekat terutama untuk Wahid.
“Ayo kita ke ruangan tempat ibuku dirawat.” Wahid memimpin rombongan, diikuti oleh yang lainnya.
Dalam perjalanan, tak ada percakapan lebih antara mereka berdua tentang jadi atau tidaknya keberangkatan Baso. Wahid hanya menanyakan kenapa ia bisa berada di rumah sakit. Dan Baso mengalasankan Ibu Ratna dan menjelaskan kronologisnya, mulai dari kecelakaan Ibu Ratna hingga operasi yang gagal itu. Sambil bercerita, Baso juga memikirkan, tepatnya mempersiapkan jawaban jika nanti ia ditanya soal tawaran itu. Kemungkinan besar ia akan menyanggupinya. Mau apa lagi?
Ruang tempat Ibu Sitti Kristina dirawat adalah di bangunan bagian utara. Bangunan itu adalah bangunan yang baru selesai dibuat beberapa bulan yang lalu dan mulai dipakai sebulan yang lalu. Terdapat enam ruangan di bangunan baru itu. Setiap ruangan dihuni untuk tiga orang. Dan kebetulan,pasien seruangan Ibu Kristina juga sedang dibesuk, sehingga ruangan itu ramai. Saat rombongan Wahid masuk, petugas segera mengkordinir para pembesuk. Batas pembesuk hanya untuk lima orang saja. Dan keputusan dijatuhkan. Pak Abdul Ghani, Paman Asse, Bibi Citra dan Wahid yang masuk. Karena Naini ada didalam, maka hanya empat yang boleh masuk. Menyisakan Cut, Litsah, Rabi’ah dan Baso yang menunggu di luar.
Menunggu. Cut merasa ini kesempatan yang baik. Wahid, dan yang lainnya sudah berada di dalam. Litsah dan Rabi’ah tak akan mengerti alur pembicaraan mereka. Cut mendekat pada Baso yang duduk di kursi samping pintu bersama dengan pembesuk-pembesuk lain yang diminta untuk keluar untuk sementara waktu.
“Jadi, keputusan kamu bagaimana, Baso?” Tanya Cut, memulai pembicaraan.
Baso menengadah, menatap Cut yang berdiri di depannya. Sejenak, Baso mengerling ke arah Litsah dan Rabi’ah. Mereka sedang sibuk dengan ponsel masing-masing, tak mempedulikan Cut dan dirinya. “Entahlah, Cut.” Desah Baso. “Rasanya, berat bagi saya untuk berangkat. Bukannya menolak, tapi ini Ramadhan terakhirku bersama dengan anak-anak di panti.”
Cut merasa bersalah atas tindakan yang ia lakukan. “Kamu sudah baca surat itu, ‘kan?” Ia masih meminta pertimbangan pada Baso.
“Aku mengerti itu, Cut.” Ungkap Baso. “Kamu ingat saat itu, aku yang lebih dulu menghubungimu dan menyatakan semuanya. Tapi…”
“Sayang kamu lebih besar untuk mereka.” Potong Cut. “Semuanya sudah jelas bagi saya. Dan sengaja saya bela-belain menawarkan ini, karena kemungkinan besar, ini adalah kesempatan terakhir bagi saya juga, Baso. Tahun depan, mungkin saya tidak di Sengkang lagi. Mungkin saya akan terbang ke Sumatera.”
Baso berdiri. “Kita tak bisa membicarakan hal itu di sini.” Bisik Baso.
Litsah dan Rabi’ah menoleh, melihat Baso yang berdiri dari duduknya. Baso melemparkan senyum kepada mereka berdua, memberi jawaban bahwa tak sedang terjadi apa-apa. “Aku akan menghubungi kamu nanti sepulang dari sini.” Baso merogoh saku celananya, mengeluarkan sebatang pulpen. “Kamu tak mungkin membawa ponsel Wahid kemanapun kamu pergi, ‘kan? Mungkin nomor ponsel bibimu adalah ide yang baik.”
Cut menghela nafas pelan. Ia kemudian menyebutkan nomor kontak bibinya. Tepat setelah ia menyebutkan nomor kontak bibinya itu, pintu ruangan tempat Ibu Sitti Kristina dirawat terbuka. Paman Asse, Bibi Citra, Pak Abdul Ghani, dan Naini keluar. Mempersilahkan kepada Cut, Litsah, Rabi’ah dan Baso untuk masuk.
Ibu Sitti Kristina terbujur lemah diatas sana. Wajah lemah itu tersenyum melihat putra sulungnya yang tak lama lagi akan menempuh kehidupan baru.
“Assalamu ‘alaikum, Pung.” Cut memberi salam, segera menggapai tangan calon mertuanya itu, lalu menciumnya.
“Wa’alaikum salaam.” Ibu Sitti Kristina tampak senang. “Nak Cut makin gemuk saja. Hati-hati, ya. Nanti cantiknya hilang kalau tambah gemuk lagi.”
Cut tertawa. “Bagaimana keadaannya, Pung?”
“Alhamdulillah, sudah baik. Kata dokter, besok sudah bisa pulang.”
“Besok? Jadi besok langsung berangkat ke Malili?’
“Eh, berangkatnya tak jadi besok. Nanti hari Kamis malam, kita berangkat.” Jelasnya. “Kalau yang ini siapa?” Ia menanyakan Baso.
“Itu Baso, Ma’.” Wahid menjawab. “Temannya Cut yang mau ikut sama kita ke Malili.”
“Oh… yang mau jadi imam tarwih di masjid Salo Mabbombong?” Tebaknya.
“Iya, Ma’.”
“Hafalannya berapa, nak?” Tanyanya lagi.
“Alhamdulillah delapan juz, Pung.” Jawab Baso.
Sewaktu masih kelas sepuluh, Baso memang pernah ikut program tahfidzul qur’an. Ia tinggal di asrama penghafal selama kelas satu dan berhasi menghafal delapan juz sebelum ia memutuskan untuk menyudahi hafalannya sampai disitu saja. Baso mengkhawatirkan dirinya lupa hafalan sebelumnya jika ia terlalu banyak menghafal. Baginya, delapa juz ia rasa sudah cukup sebagai modal. Dan tinggal di asrama penghafal itu adalah pengalaman asramanya yang paling indah setelah lepas dari jenjang MTs.
***
“Assalamu ‘alaikum.”
Seperti yang dijanjikannya, Baso menghubungi Cut sesampainya ia di panti. Kebetulan, Cut sudah mengantisipasi itu dengan meminjam ponsel bibinya sesampainya ia di rumah. Dan tepat saat ia sampai di kamarnya, panggilan masuk dari Baso tiba.
“Wa’alaikum salaam.” Jawab Cut. “Terimakasih, sudah menyanggupi tawaran itu.”
Saat itu, saat mereka berempat keluar dari ruangan tempat ibunya Wahid dirawat, Pak Abdul Ghani memberitahu Baso untuk mempersiapkan segala perlengkapan yang akan ia bawa nanti ke Malili.
“Kamu jangan coba-coba bawa sandal mahal. Karena sandal jepit saja, sangat rawan jadi sasaran pencuri.” Kelakar Pak Abdul Ghani saat dalam perjalanan pulang. “Jadi, besok, kamu sudah harus mempersiapkan semuanya. Tidak usah tunggu masa. Kalau sudah kamu persiapkan, kamu tidak pusing lagi memikirkan apa yang harus kamu bawa. Wahid sama adik-adiknya sudah mengemas baju-bajunya sejak seminggu yang lalu.”
Baso mengangguk. “Insya Allah, Pung. Saya akan mempersiapkan semuanya.” Jawab Baso, menjatuhkan keputusan.
“Tak usah berterimakasih. Saya yang seharusnya berterimakasih sama kamu, sudah memberikan lowongan untuk saya keluar cari pengalaman.”
“Hm.” Cut membaringkan diri diatas tempat tidurnya. “Tapi kamu akan lebih berterimakasih jika kamu boleh menolak tawaran itu, ‘kan”
“Aku berusaha, Cut. Kamu tidak usah mengorek itu lagi. Aku memilih jalan ini karena aku sadar, aku masih suka sama kamu. Kamu tidak usah merasa bersalah.”
Sejenak, Cut terdiam. Kemudian bersuara. “Kalau boleh, saya ingin bertanya.” Pinta Cut dengan lirih.
“Kenapa harus minta izin?”
“Karena aku masih suka sama kamu.”
Baso tertawa. “Aga melo takkutanang? Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Apakah kamu ingin menjaga ini semua?” Tanya Cut.
“Menjaga apa?”
“Misalkan sesudah resepsi pernikahan saya nanti, kita tetap teman, ‘kan?”
Baso kembali tertawa. “Aku mengerti, Cut. Ini bukan tentang pertemanan. Kita sama-sama tak punya daya apa-apa untuk menolak apa yang terjadi. Tapi tak akan ada yang bisa menghalangi untuk kita saling suka. Kita bukan anak kecil lagi. Itu hak kita.” Ujarnya. “Hanya saja, kamu juga tak boleh bersikap kejam sama Wahid. Dia orang yang pantas sama kamu. Aku yakin, kamu akan bisa mencintainya setulus hati kamu.”
Cut tertegun. Sampai sekarang, ia tak tahu mau ia apakan hubungannya nanti dengan Wahid. Apa yang dikatakan Baso seakan menyentak seluruh urat sarafnya. Remang.
“Saya,” Cut bersuara. “Saya harus bisa melupakan kamu untuk melakukan itu.”
***
Kembali ke hari kedua Ujian Nasional…
Selasa, 2 April 2019
Cut menyelesaikan soalnya dengan hati-hati. Matematika bukanlah pelajaran yang disukainya. Namun karena mata pelajaran ini adalah salah satu dari mata pelajaran terpenting di sekolah, maka Cut tetap bekerja keras untuk bisa menyelesaikannya dengan baik. Ia satu dari beberapa yang paling terakhir selesai. Itupun Cut masih kurang yakin dengan jawabannya. Tapi saat waktu yang sudah ditentukan berakhir, mau tidak mau, ia harus menyelesaikannya dengan segera.
Sehabis ujian, Cut langsung pulang ke rumah. Bibi dan pamannya sedang tidak ada. Pintu rumah terkunci. Cut jadinya harus menunggu sampai mereka datang. Tapi tak mengapa, ia memang sedang menunggu sesuatu datang ke rumah ini. Pesanan.
Ini sudah dipersiapkan Cut sejak beberapa minggu yang lalu. Tanpa sepengetahuan Baso, Cut melihat facebooknya Baso. Ia mencari tanggal lahir dan bio. Empat April 2002. Sebenarnya, Cut agak ragu meyakini kebenaran tanggal lahir itu. Banyak akun-akun yang mencantumkan tanggal lahir palsu hanya sekadar memenuhi syarat agar akunnya bisa berlaku. Tapi Cut percaya pada Baso. Ia bukan pembohong. Begitulah Baso dimata Cut.
Seperti yang diharapkan Cut, pesanan itu tiba. Agen pos menyodorkan pesanannya dan surat bukti terima pada Cut. Setelah selesai menandatanganinya, petugas pos itu kemudian berangkat kembali. Tiga buah buku novel karya Veronica Roth. Divergent series. Nama novel itu tercantum di bio akun facebooknya Baso.
‘Divergent dan The Hunger Games adalah mimpi, tekad memiliki salah satu diantaranya.’
Begitu bunyi bionya.
Tak lama sejak kedatangan petugas pos tadi, bibi dan pamannya sudah datang. Mereka dari pasar. Belanjaan bibinya ada beberapa kantong. Cut tak tahu apa saja isinya. Namun ia yakin, semua itu adalah untuk tekad bibinya menaikkan berat badannya, selaku keponakan bibinya. Dan untuk yang kesekian kalinya, Cut mendesah karenanya.
Cut langsung naik ke kamarnya. Di sana, ia sudah menyiapkan kotak kado yang sudah lengkap dengan pembungkus dan pitanya. Didominasinya dengan warna biru dengan pita hijau, karena itu adalah warna favorit Baso. Cut menuliskan surat yang akan dilampirkannya didalam kotak itu. Surat yang berisi ungkapan hatinya dan harapan terbesarnya. Ya. Surat yang isinya sudah kalian baca.
Di hari keempat ujian nasional, Cut membawa kado itu ke sekolah. Membisu didalam tasnya. Setelah ujian berakhir, Cut mendekati Musdalifah.
“Saya mau minta tolong, Ifah.” Cut menepuk pundak Musdalifah, langsung ke poin pembicaraan. Tanpa basa-basi.
Musdalifah yang sedang memperbaiki ikat tali sepatunya tersentak kaget. “Kamu ini.” Gerutu Musdalifah. “Kamu mau ditolong apa?”
“Temani aku ke Callaccu.”
Musdalifah membelalak. Ia seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut Cut. “Kamu mau apa di sana?” Tanya Musdalifah. “Jangan-jangan kamu sudah punya…”
“Kamu mau atau tidak?!” tegas Cut, tak ingin mendengar ocehan Musdalifah.
“Ya, mau dong.” Jawab Musdalifah dengan wajah cerah. “Sekarang?”
“Tahun depan.” Cut meraih pergelangan tangan Musdalifah dan menyeretnya menuju parkiran. Mudalifah hanya bisa mengaduh kesakitan saat tangannya dipuntir terlalu keras oleh Cut.
Mereka berdua kemudian melaju menuju Kampus Induk Pondok Pesantren Nurul As’adiyah Callaccu. Di tengah perjalanan, Musdalifah tak henti-hentinya menggoda Cut yang tengah fokus mengendarai motor. Merasa kesal, Cut langsung tancap gas saat jalanan agak sepi dari kendaraan. Musdalifah menjerit saat Cut memuntir pedal gas. Ia hampir terjatuh.
“Makanya kamu tidak usah banyak omong.” Gerutu Cut, menurunkan laju motornya.
Satu belokan terakhir, akhirnya mereka sampai di tujuan. Masjid Jami’ Nurul As’adiyah Callaccuu. Masjid yang pernah mendapatkan piala penghargaan sebagai masjid paling megah di masanya. Mereka berdiri, memandang bangunan itu.
“Sudah banyak yang pulang, Cut.” Ujar Musdalifah, memandang bangunan masjid yang rangkap dengan ruang kelas dan fasilitas sekolah didalamnya.
“Kita naik saja. Siapa tahu, dia belum pulang.” Putus Cut.
Cut memberanikan diri melangkahkan kaki, memasuki pekarangan masjid. Ia gugup. Apalagi melihat Musdalifah yang tak malu-malu mengumbar senyum kepada santri-santri yang masih belum beranjak dari sekolah. Ada yang cuek dengan kedatangan mereka, namun terkadang, ada yang memberi respon lebih dengan bersiul atau memanggil mereka dengan sebutan ukhtii. Itu membuat Cut merasa makin kesal pada Musdalifah yang memancing mereka lebih dulu. Untungnya mereka sudah sampai di ruang kantor. Mereka masuk lewat pintu samping dan mendapati petugas piket di sana.
Sejenak, Cut berpikir untuk mempertimbangkan apakah ia harus memberikan kado itu langsung kepada Baso atau lewat perantara…
“Ibu Hasrianah ada?” Tanya Cut, memilih untuk menitipnya saja pada sosok yang pernah Baso ceritakan padanya. Petugas piket itu kemudian beranjak dari tempatnya dan masuk ke ruang guru. Beberapa saat kemudian, akhirnya Ibu Hasrianah datang.
Cut dan Musdalifah langsung menyambut Ibu Hasrianah dengan mencium tangannya.
“Cari siapa, nak?” Tanya Ibu Hasrianah.
“Em.., kira-kira, Baso sudah pulang, ya, Pung?” Cut mengatakannya dengan suara tertahan. Ia tak ingin Musdalifah mendengarnya. Namun tak bisa ditolak, Musdalifah tetap mendengar itu.
“Baso? Baso siapa?” Ibu Hasrianah meminta nama lengkap. “Banyak yang namanya Baso di sini.”
“Baso Rahmat Hasyim, Pung.” Cut menyebutkan nama itu dengan jelas.
Ibu Hasrianah mengangguk, dan Musdalifah tersenyum lebar, merasa menang karena bisa tahu siapa nama orang yang ingin ditemui temannya itu. Cut hanya bisa pasrah.
“Mungkin dia sudah pulang, nak.” Ucap Ibu Hasrianah. “Memangnya ada apa?”
Cut dengan ragu membuka tasnya. “Saya mau titip sesuatu, Pung. Kapan saja Ibu punya kesempatan memberinya. Tapi kalau bisa secepatnya, Pung.” Ujar Cut sambil menyodorkan kotak itu.
Ibu Hasrianah menerima kotak itu. “Aganna ki’ Baso? Kamu apanya Baso?”
“Temannya, Pung.” Jawab Cut malu-malu. “Laoka’ pale’na jolo’, Pung. Saya pamit dulu.” Cut meraih tangan Ibu Hasrianah, menciumnya. Bergegas, tak tahan dengan Musdalifah yang makin bertingkah. “Terimakasih, Pung. Assalamu ‘alaikum.” Lantas berlalu dari tempat itu.
“Wa’alaikum salaam.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Child Anymore (End)
RomanceJika kita masih dianggap anak kecil oleh dewasa-dewasa disana, biarlah disini kita yang merasa lebih dewasa dari mereka.