Bab 12 JUM'AT

7 2 0
                                    

Serambi-serambi hatiku masih kosong. Dan aku baru menyadari kekosongan itu. Akan kuisi dengan kehadiran-Mu.
-Baso Rahmat Hasyim-

Shubuh. Azan Shubuh menggema, membangunkan Baso dari tidur pulasnya. Panggilan tuhan itu terdengar begitu syahdu, bersahut-sahutan dari masjid satu dengan yang lainnya. Dan ini pertama kalinya Baso merasakan getaran kuat dari undangan Tuhan itu. Kepalanya berdenyut seiring jantungnya berdetak. Bulu kuduknya meremang dan matanya perih. Shubuh. Inilah waktu yang mengingatkannya kepada tragedi yang tak akan bisa dilupakannya.
Saat itu, ia sudah kelas tiga MTs. Perut  ibunya sudah mengembung. Janin dalam rahimnya sudah berumur delapan bulan. Sebulan sebelumnya, ia pernah dikagetkan oleh suara ledakan trafo tiang listrik depan rumah tempatnya ia tinggal sementara bersama dengan ibu dan adiknya. Ledakan itu membuat tekanan darah ibunya naik drastis, namun tak segera dikonsultasikan dengan pihak dokter sampai saat itu.
Dan di Shubuh itu, nyeri menohok perutnya. Tangan gemetarnya membangunan Baso dan adiknya yang masih terlelap dalam tidur. Azan sudah berkumandang, menyisakan lantunan rekaman murattal Musyari Rasyid surah Luqman. Ia meminta Baso mengambilkan air untuknya sambil ia menahan sakitnya. Dengan tergesa, Baso bangkit, turun dari ranjang dan bergegas mengambil air.
Sebelum ia sempat menyodorkan gelas berisi air itu kepada ibunya, sang ibu terlebih dahulu meminta untuk mengembuskan bacaan ayat al-Qur’an ke air itu. Ia benar-benar berharap pertolongan Tuhan segera menghampirinya dengan  berkah bacaan ayat al-Qur’an itu. Baso yang panik melihat ibunya yang kesakitan segera mengembuskan bacaan surah al-Fatihah ke dalam gelas berisi air itu. Diyakininya dengan sangat bahwa al-Qur’an itu diturunkan sebagai obat, penyembuh dan rahmat bagi siapa pun yang membacanya. Setelah habis mengembuskan surah al-Fatihah kedalam air  itu, segera ia sodorkan kepada ibunya.
“Bismillahirrahmaanirrahiim.” Lirih suaranya membaca kalimat penuh rahmat itu sebelum meneguk sedikit demi sedikit air.
Habis satu gelas itu, masih tampak wajah ibunya yang kesakitan. Adiknya, yang duduk di samping sang ibu, meremas pelan lengan gemetar itu sambil menangis.
“Masih sakit, Ma’?” Tanya adiknya sambil menahan isak tangisnya.
Dengan pelan, kepala sang ibu mengangguk. Masih sakit. Namun perlahan-lahan, matanya yang terpejam kuat mengendur. Nafasnya mulai teratur dan kelegaan menyemburat dari wajah letihnya. Nyeri itu mulai berkurang dan berkurang. Merasa agak mendingan, dengan perlahan diangkatnya tanganya yang lemah itu ke perutnya. Dielus pelan perutnya itu, merasakan si jabang bayi dalam rahimnya.
“E… la baco. Tuoko muenre mallongi-longi.” Lirihnya, mengucapkan sajak Bugis kuno yang amat keramat itu.
Sajak itu adalah bentuk pencurahan harapan besar orang tua kepada anaknya yang masih dalam ayunan. Sajak keramat ini sering dinyanyikan oleh orang-orang Bugis dahulu sebagai pengantar tidur anak-anak mereka, sekaligus menjadi do’a yang mereka panjatkan kepada Yang Kuasa agar anak-anak itu kelak menjadi anak yang berguna, bermartabat dan bermoral.
Keberadaan kebiasaan itu saat ini hanya tersisa di pedalaman tanah Bugis yang masih kaya adat dan budayanya. Tapi mengingat bayi yang masih berada dalam kandungannya, memberi arti sebaliknya. Keputus asaan. Seakan penderitaan yang ditanggungnya tak lagi bisa dihadapinya. Hanya berharap agar anak itu kelak bisa lahir, walau tanpa dekapan hangat seorang ibu lagi.
“Nanti pagi, kita ke rumahnya Ibu AIsyah, ya, Ma.” Baso duduk di samping kaki ibunya yang menelentang.
Ibunya hanya mengangguk, setuju dengan saran putra tunggalnya itu. Ibu AIsyah adalah kenalan ibunya. Ia punya usaha rumahan yang menerima pemesanan kue kering ataupun kue basah dan catering. Dan ibunya adalah salah seorang pekerja di usaha itu. Ibu AIsyah adalah orang yang baik. Meminta tolong padanya adalah pilihan yang tepat.
Beberapa saat duduk, menenangkan diri, akhirnya ibunya memutuskan untuk tidur sejenak, menghabiskan sisa-sisa subuh. Melihat keadaan ibunya yang begitu menyedihkan, Baso terbakar amarahnya. Ayah tirinya, yang rantau ke pulau Jawa tak pernah mengirimkan kabar apa pun. Dalam rantauannya itu bagaikan ia ditelan bumi. Tak ada yang tahu dimana tepatnya ia sekarang. Keluarganya pun tak ada yang tahu keberadaan ataupun kabarnya. Kontak terputus. Jika ia mati di rantauannya, batin Baso, biarlah. Lelaki itu sudah membuat ibunya menderita.
Ibunya terlelap, bersama dengan adiknya yang meringkuk di sampingnya. Baso yang terjaga tak bisa lagi memejamkan matanya. Dan ia putuskan mengambil air wudhu lalu menunaikan shalat Shubuh. Dalam shalatnya, ia tak bisa khusyuk. Terus terbayang wajah ayah tirinya itu. Dadanya menggemuruh menghadap Tuhan, menaruh harapan besar agar lelaki itu ditenggelamkan saja dalam perut bumi.
Lelaki itu adalah seorang duda kematian, sama dengan ibunya yang menjanda kematian. Ayah kandung Baso meninggal saat ia masih kecil. Setahun tiga bulan. Dan adiknya masih dalam kandungan. Dua bulan. Lelaki itu menikahi ibunya di tahun ketiga ia bersekolah di sekolah dasar. Dua tahun menjalin hubungan rumah tangga, lelaki itu raib. Entah kemana ia. Tak ada yang tahu kabar keberadaannya.
Ibunya kembali merasa kesepian. Setahun setelah kepergiannya, lelaki itu kemudian hadir kembali, seakan muncul dari portal dunia paralel. Dan selama dua tahun bersama kembali dengan ibunya, ia kembali pergi dan tak ada kabarnya hingga saat ini.
Dari awal kehadirannya, Baso memang sudah menaruh kebencian kepada lelaki itu. Saat lelaki itu bersikap manis padanya, Baso hanya memasang wajah tak sukanya padanya. Ibunya sering menegurnya apabila ia kembali melakukan itu. Tapi Baso tak mengindahkan larangan ibunya itu. Ia benar-benar benci pada orang itu. Alasannya apa? Tak ada yang tahu. seketika saja, ia membenci sosok brengsek itu, seperti ketidaksukaannya ia pada yang namanya pelukan.
Melihat mentari sudah kembali dari peraduannya, Baso menyudahi lamunannya. Ia menanggalkan sarung dan pecinya, lantas mengenakan celana. Bersiap-siap membawa ibunya ke rumah Ibu AIsyah. Kiranya, sudah ada tukang bemor yang menarik bemornya sepagi ini untuk bisa ditumpanginya ke sana.
Saat Baso hendak membangunkan ibunya yang masih nampak terlelap itu, ia sontak heran. Mulut ibunya terbuka dan bibirnya pucat. Baso kemudian menyentuh kaki ibunya. Dingin. Diletakkannya jarinya di pangkal leher ibunya, mencari seberkas harapan yang tersisa. Namun nihil, seperti yang dikhawatirkannya selama ini. Ibunya sudah dipanggil oleh Yang Punya Kehidupan, al-Muhyi, dan Yang Punya Kematian, al-Mumiit. Tidak, tepatnya, ia dibunuh oleh lelaki brengsek itu. Baso benar-benar tak tahu harus bagaimana sekarang. Ia bahkan tak mampu lagi mengangkat tangannya untuk membangunkan adiknya yang masih meringkuk tidur di samping sang ibu yang sudah tak bernyawa.
Sendi-sendinya terasa terputus. Tulang-tulangnya serasa roboh. Otot-ototnya terburai. Dadanya meledak. Baso terbaring di lantai sambil menangis tanpa terisak. Air mata mengalir dari pelupuk matanya bagaikan aliran sungai. Di kepalanya, terbayanglah semua hari dimana ibunya masih bisa tersenyum. Terbayang masa dimana ibunya masih bisa memarahinya dengan suara yang menggelegar. Terbayang saat dimana ibunya masih  bisa mengelus dan mengecup keningnya. Mengucapkan selamat tidur di malam hari.
Baso tak bisa apa-apa. Jantungnya dirasanya berhenti. Dadanya tak kembang kempis lagi. Ia bahkan, lupa bagaimana cara untuk hidup dalam sekian detik mengerikan itu. Merasa tak tahan lagi, ia berteriak sekencang-kencangnya di pagi yang cerah itu. Adiknya yang meringkuk itu terbangun dari tidurnya.
Ibu telah tiada. Dia sudah dipanggil oleh Allah. Dia sudah dibunuh oleh suaminya!
Adiknya yang malang itu tak lagi bisa menahan ledak tangisnya. Didekapnya tubuh menggigil itu sambil memanggil-manggil si pemilik tubuh. Ibu!!!!
Tak ayal, adiknya yang tak tahu harus bagaimana lagi, mengakhiri hidupnya di arus sungai Padduppa seminggu setelah kematian ibunya. Seorang anak SD bunuh diri? Di usia sedini itu, ternyata sudah ada anak yang nekat bunuh diri? Tak percaya dengan itu, tapi memang begitulah kenyataannya.
Saat tahu kabar bahwa adiknya bunuh diri, Baso dengan sekuat tenaga berjuang untuk bisa menamatkan pendidikan menengah pertamanya yang tinggal dua bulan itu. Tentu dua bulan itu adalah waktu yang sangat lama, apalagi tanpa orang lain yang membantu. Selepas berhasil lolos dari sana, akhirnya ia datang ke panti asuhan, mengharap belas kasihan dari orang-orang di sana. Ia masih mau hidup. Ia belum ingin mengakhiri hidupnya tanpa membawa pulang apa pun. Dan sosok Ibu Khairahlah yang menerima kehadirannya dengan tangan terbuka.
Kembali di Shubuh yang dipenuhi gema azan ini, Baso tersadar dari lamunannya. Iqamat sudah dikumandangkan, dan ia belum beranjak dari tempat tidurnya sedikitpun. Dengan bergegas, ia keluar dari kamarnya, melangkah tergesa menuju kamar mandi. Ia mengambil air wudhu dan membangunkan adik-adiknya setelah ia selesai berwudhu. Berusaha ia agar tidak membuat suara sedikitpun, agar Maria tidak terbangun. Baso hanya menggoyangkan kepala yang lainnya sampai mereka terbangun.
Dengan teratur, mereka berempat mengambil air wudhu. Sementara Baso menunggu mereka selesai mengambil air wudhu, ia membangunkan Ibu Khairah dan Ibu Sira, petugas dapur. Pak Arman dan Anto tak sedang di panti. Mereka semalam pulang ke rumah kerabatnya di Bulukumba. Rencananya, mereka akan kembali lusa.
Mereka semua akhirnya selesai berwudhu, lengkap dengan mukena dan songkok mereka masing-masing. Dalam shalat Shubuh itu, Baso membaca potongan surah Luqman, yang didengarnya di subuh kematian ibunya. Sebenarnya, ia ingin membacakan surah As-sajdah, mangingat Shubuh ini adalah Shubuh Jum’at. Namun ia mengerti, adik-adik pantinya itu tak akan bisa bertahan jika ia melakukannya.
***
Pagi. Pagi kembali memancarkan semaraknya, kesejukannya, dan ketentramannya. Dimanapun itu, pagi adalah saat paling  menakjubkan bagi Cut. Tak ada waktu paling menyenangkan selain pagi. Burung berkicau dan angin berkesiur. Adakah waktu seindah pagi?
Sayangnya, waktu tak selalu pagi. Jika mungkin ia bisa menjadi seorang waliyullah, ia akan mengikuti rotasi bumi agar ia bisa terus berada dalam belahan bumi yang ketibaan pagi.
Pagi ini, bibinya sudah menyiapkan sarapan untuknya. Sarapan kali ini berbeda. Tak lagi nasi goreng dengan teh hijau hangat. Yang terhidang di hadapannya adalah lempeng daging dan telur yang diapit dua lembar roti. Dan teman makannya adalah segelas susu putih yang kental.
“Kenapa bukan nasi goreng, Bi?” Tanya Cut, melihat menu sarapannya yang berbeda dari sarapan-sarapan yang sebelumnya.
“Kamu suka nasi goreng?” Bibinya balas bertanya.
“Bukan, Bi. Maksud saya, kenapa sarapannya roti lapis. ‘Kan biasanya nasi goreng?” Ujarnya dengan gamblang.
Bibinya mendengus. Ia terdiam sejenak, sambil menggenggam gelas susunya yang isinya tinggal separuh. “Lihat pipi kamu. Tangan kamu. Mulai saat ini, kamu harus menghabiskan apa saja yang bibi hidangkan untuk kamu. Bibi malu dibilang sama keluarga Pak Abdul Ghani yang kiranya kamu tidak dikasih makan sama Bibi. Kurus.”
“Loh? Bukannya selama ini berat badan Cut stabil-stabil saja, Bi?”
“Iya. Ibu tahu itu. Badan kamu yang sekarang ini ideal. Tapi, dalam pandangan orang Bugis, langsing itu kurus. Justru yang berisi itu yang ideal. Tapi mereka juga tidak suka yang gemuk. Kamu bisa lihat wataknya si Naini lah kalau kamu mau tahu mana yang ideal bagi mereka.”
Naini memang punya tubuh dan lengan yang berisi. Jika dibandingkan dengan Cut, lengan Cut hanya duapertiga besar lengannya. Selain itu, Naini juga baby face. Cubby. Dagunya berlapis dan tumitnya kecil. Semua itu tak dimiliki Cut. Dan setelah mendengar komentar itu dari keluarga Pak Abdul Ghani, akhirnya ia bersikeras untuk menaikkan berat badannya Cut.
“Kalau kamu tetap begini saat ikut dengan mereka nanti,” Sambung bibinya “Kamu tak akan bisa menolak untuk menaikkan badan. Kamu sendiri tahu, kan. Walau makanan di rumah orang lebih mewah daripada di rumah kita, kita akan tetap teringat dengan makanan rumah. Kamu harus banyak-banyak makan, supaya nanti di sana, kamu tidak kerepotan jika dikasih makanan banyak.”
Cut mengangguk, melahap roti lapisnya itu dengan penuh selera. Roti lapis yang lezat. Tak kalah dengan roti lapis di restoran-restoran yang ada.
“Ini buatan bibi?” Tanya Cut.
“Iya. Kenapa? Enak?”
Cut mengangguk. “Kalau bibi mau buka usaha, saya dukung deh.”
Bibinya tersenyum puas dengan komentar Cut. “Semoga saja ada kesempatan mewujudkannya.”
Beberapa saat kemudian, akhirnya Cut selesai sarapan. Jam sudah menunjukkan pukul enam lewat 15 menit. Kegiatan pagi sudah dimulai. Cut segera pamit pada bibinya dan berangkat ke sekolah.
Sebenarnya, hari ini adalah hari libur. Tapi, kepala sekolah memberikan kelas tambahan untuk santri kelas tiga. Berbeda dengan MANAC yang menjalankan sekolah sore, MALPI tetap menjalankan kelas khusus di sore hari dan bimbingan tambahan untuk persiapan ujian nasional di hari Jum’at.
Sesampainya di sekolah, Cut kembali datang bersamaan dengan Zuhra. Melihat kehadiran Zuhra, Cut melemparkan senyum padanya. Zuhra tak membalas, hanya menyeringai sambil berlalu dari area parkiran. Cut lagi-lagi merasa harus menghentikan semua ini. Sudah berapa lama hubungannya dengan Zuhra tak kunjung membaik. Malah makin hari makin parah, seperti borok yang makin membusuk. Setelah motornya ia kunci, Cut segera berjalan, turut meninggalkan area parkiran.
Seperti biasa, yang pertama kali menyambut kedatangan Cut adalah Musdalifah. Bagi Cut, Musdalifah adalah timbal balik dari sosok Zuhra. Ia tidak secantik Zuhra, namun ia cukup manis untuk dikatakan manis. Cerewet, namun tak suka dengan pertikaian. Tepatnya, ia bukan pendendam. Selain itu, mau bagaimanapun kesalnya Cut pada Musdalifah, komunikasi mereka tak pernah terputus. Begitupun jika sebaliknya. Namun untuk Zuhra, hanya satu kata yang bisa mengungkapkannya. Different.
“Hafalan tambahan yang Ibu Rosyidah kasih sama kamu sudah sampai dimana?” Tanya Musdalifah dengan antusias.
Ibu Rosyidah memberi Cut hafalan tambahan, karena ia sudah menghafal semua surah yang menjadi standar untuk setiap santri kelas tahfidzul qur’an. Sampai saat ini, baru tiga orang yang berhasil lolos. Nurul Huda dan NurWahidah. Nurul Huda memang sosok pendiam dan rajin. Guru-guru memujinya sebagai santri paling sabar di MALPI. Sedang NurWahidah bukanlah sosok yang ideal dari segi fisik. Ia kurus dan pendek. Tingginya hanya sekitar satu setengah meter. Tapi kalau masalah hafalan, ia yang terbaik di kelasnya. Nurul Huda memang lebih dulu sampai hafalannya, karena dari sepuluh surah yang jadi standar penilaian, dia sudah menghafal empat diantaranya. Tapi karena NurWahidah memulai dari nol, ia jadi yang ketiga setelah Cut dan Nurul Huda.
“Baru sampai empat perlimanya.” Jawab Cut. Surah yang diberikan padanya dan tiga lainnya yang berhasil lolos lebih dulu, adalah surah Thaha.
Musdalifah menggeleng-gelengkan kepalanya. Kagum. “Pastilah kamu yang akan sampai duluan.”
“Benarkah? Bagaimana dengan Huda dan Ida?” Huda adalah panggilan untuk Nurul Huda dan Ida adalah panggilan untuk NurWahidah.
“Sebenarnya, Ida sudah banyak juga hafalannya. Dia sudah sampai dua pertiganya. Kalau Huda baru sampai setengahnya.” Jelas Musdalifah. “Tapi kalian bertiga memang jago dalam masalah hafalan al-Qur’an. Baru enam hari setelah Ibu Rosyiah memberi kebijakan itu, kalian sudah hafal banyak. Entah kapan aku juga bisa seperti kalian bertiga.”
Cut tertawa. “Tak perlu jadi orang lain untuk bisa berhasil. Kalau kamu mau jadi orang lain, terus, orang lain mau jadi apa? Susah ‘kan?”
“Idih pintarnya ngomong.” Gemas Musdalifah mencubit lengan Cut.
***
Maria sudah bangun.  Dia sudah ada di pangkuan Ibu Khairah. Ia sedang makan dengan Ibu Khairah yang menyuapinya. Anak-anak yang lain sudah bersiap untuk ini. Kotak-kotak kado yang semalam tak jadi dibuka kini berada dalam dekapan mereka. Baso mengabulkan permintaan mereka untuk membiarkan Maria membuka kado-kado itu.
Mereka kemudian mendatangi Maria yang sedang makan. Melihat kedatangan itu,  Maria tersenyum gembira.
“Ayo. Kamu harus buka kadonya sekarang.” Ucap Dawai sambil menyodorkan tiga kotak kado itu.
Maria minta turun dari pangkuan Ibu Khairah dengan Isyarat. Ibu Khairah yang mengerti itu segera menurunkan Maria dari pangkuannya. Satu persatu, kotak kado itu dibukanya. Maria tertawa saat melihat kado yang berisi boneka Dawai.
“Akhirnya Maria punya boneka.” Ucapnya dengan pelan. Sepertinya ia juga sudah paham dengan kondisi pita suaranya. Walau hanya mengerti tentang tenggorokannya yang sakit.
Mukena biru hadiah dari Dawai segera dipasangnya. Agak kebesaran, tapi dia sudah suka itu. “Warnanya cantik. Kayak warna kerudungnya Kak Tian.” Ujar Maria, memberi komentar pada mukena itu.
Malam itu, Cut memang mengenakan stelan busana bernuansa biru yang dipadu dengan putih dan kelabu. Penampilannya memang sangat menarik dengan perpaduan warna itu. Dalam hatinya, Baso memikirkan satu hal. Mengapa Cut tak pernah menjenguk Maria? Mungkinkah Cut marah karena tak terlalu mempedulikannya waktu di rumah sakit malam itu?
“Kak Tian itu siapa?” Tanya Ibu Khairah saat  mendengar nama itu disebut Maria.
“Temannya Kak Baso. Masa Ibu tidak tahu siapa dia?” Ucap Maria.
“Itu, Bu. Yang Ibu bilang kerabatnya Pak Abdul Ghani.” Jawab Baso.
Ibu Khairah mengangguk-angguk. “Dia kenal sama anak-anak?”
Baso mengangguk. “Saya pernah bawa mereka ke rumahnya. Itu pun karena dia yang minta. Berat rasanya jika saya menolak permintaannya itu.”
“Dia kelihatannya anak yang baik.” Ujar Ibu Khairah.
Maria segera melahap cokelat yang didapatnya di dalam kotak kado yang terakhir.  Untuk makanan yang manis-manis, dokter membolehkan. Hanya saja, untuk jumlah yang banyak, sudah dipantangkan. Sebenarnya manisnya itu tak berpengaruh pada pita suaranya. Hanya saja, karena makanan manis dapat membuat tenggorokan gatal dan lengket, jadi, jumlahnya dibatasi.
“Kalau tenggorokan kamu gatal, minum air, ya.” Baso memberitahu Maria yang fokus pada cokelatnya. “Minumnya juga hati-hati. Kalau tersedak, masalahnya jadi lebih besar lagi nantinya.”
Maria mengangguk.
Setelah mengurus kado itu, Baso segera kembali ke kamarnya. Ia meraih poselnya yang terselip di saku celananya yang tergantung di belakang pintu. Semalam, ia tak sempat mengeluarkannya. Segera tidur saat kantuk mendatanginya.
Baso mencari nomor kontak itu. Ya. Nomor kontak Cut. Sejenak, ia memperhatikan nomor itu. Ini adalah nomor yang dihubunginya sore hari sebelum Maria terjatuh dan masuk rumah sakit. Orang yang mengangkatnya bukan Cut. Tapi juga bukan pemilik ponsel itu. Masih ada kemungkinan bahwa nomor itu adalah benar-benar nomornya Cut. Ia meyakinkan diri terlebih dahulu, baru kemudian menekan tombol call.
Beberapa saat kemudian, panggilan itu dijawab.
“Halo?” Sapa orang di seberang. Itu bibinya.
“Assalamu ‘alaikum. Ini dengan Tian, ya?”
“Wa’alaikum salaam. Kamu temannya yang dulu datang kemari bersama dengan adik-adik kamu?” bibinya Cut balas bertanya.
“Oh, Ibu ini tantenya, ya?”
“Dia sedang tak ada di rumah.”
Baso seakan tak tahu arah pembicaraan ini akan berakhir dimana. Setiap ia melontarkan pertanyaan, jawabannya tak pernah ada yang kena sasaran.
“Kalau begitu maaf, ya, Bu. Kalau Tiannya sudah pulang, tolong beri tahu dia kalau saya tadi menelpon.”
“Sebenarnya, kamu punya hubungan apa dengan Cut?” Bibinya Cut kembali bertanya, tak mengindahkan permintaan Baso.
“Em.. maksudnya apa, Bu? Cut itu Tian, ya? Saya temannya. Saya kira Ibu sudah tahu itu.” Baso hanya menjawab sekenanya.
“Kalian berdua baru saling kenal. Kenapa bisa Cut langsung mengundangmu ke rumah?” Selidiknya, tak memberi ampun.
“Saya juga tidak tahu kenapa. Dia tiba-tiba saja mengajak saya ke rumah Ibu malam itu.”
“Malam itu? Kapan?”
“Di toko boneka.”
Di seberang sana, bibinya Cut terdiam sejenak. Ia mengingat-ingat saat itu. Saat Cut memintanya untuk mencari di rak lain dan ia mencari di rak lainnya. “Baiklah, saya akan bicara dengannya nanti.” Ucapnya sambil menekan tombol reject.
“Halo? Halo?” Baso masih ingin mengatakan sesuatu, namun keburu diputuskan oleh bibinya Cut.
Dengan muka kusut, Baso meletakkan ponselnya itu di samping bantal. Ia ingin berbicara dengan Cut, tapi orang yang mengangkat panggilan itu selalu bukan dia. Tapi setidaknya sudah jelas bahwa nomor itu benar-benar nomornya Tian. Baso hanya ingin mengatakan satu hal yang sampai sekarang dipendamnya. Cut belum tahu kenyataan bahwa Baso adalah anak panti. Sampai sekarang, Cut masih mengira bahwa rombongan panti itu adalah kerabat-kerabatnya Baso. Dan itu masih bisa diperbaikinya jika saja ia bisa menghubungi Cut secepatnya.
Sudah lima tahun lebih ia tak pernah berteman dengan perempuan. Bermula saat ia masuk kelas tiga MTs. Baso tak punya minat dalam organisasi sekolah, jadi, kesempatannya untuk bisa berbaur dengan perempuan semakin kecil. Ditambah lagi, ia tak tahu berbicara dengan wanita asing. Sebenarnya ia pernah punya minat untuk bergabung dalam kelompok UKS, karena menurutnya, hanya organisasi itu yang punya kinerja nyata, bukan hanya sekadar simbol. Namun karena kepengurusan UKS di madrasanya dulu tak jelas pembimbingnya, akhirnya sampai sekarang, ia tak pernah punya riwayat organisasi.
Tapi, kehadiran Cut memberinya pengertian lain. Wanita bukanlah borok berduri. Mereka adalah garam untuk sayur. Sayur sulit ditelan tanpa garam. Namun, tanpa sayurpun, garam bisa ditelan dengan senang hati. Ia harus bisa bangkit dari masa lalunya itu. Mumayiz. Not Child Anymore. Sudah jelas baginya benang hitam dan putih di waktu fajar menyingsing. Mau kemanapun, ia tak akan bisa lepas dari wanita.
Singkatnya, kali ini, ia ingin membuktikan pada dunia, pada dirinya sendiri, pada keesaan Tuhan, bahwa ia sudah berusaha merubah dirinya. Ia sudah bertekad dan berusaha untuk menemukan jati dirinya. Untuk usia yang masih sedini ini, itu bukan jadi penghalang baginya untuk memulai. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
***
Matahari semakin naik, mendaki menuju puncaknya. Dan kota Sengkang kembali dipanggang sinarnya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Satu dua masjid sudah membunyikan lantunan rekaman shalawat. Sebentar lagi shalat Jum’at. Kelas bimbingan tambahan itu pun berakhir. Ia mengerjakan soal terakhir yang sebenarnya dikerjakan di rumah. Tapi karena moodnya belajar matematika sedang baik, maka ia tak menyia-nyiakan itu. Setelah selesai, barulah ia menggendong tasnya dan bergegas menuju parkiran.
Ia yang terakhir keluar dari kelas. Hanya segelintir santri yang masih ada di area sekolah. Di tengah perjalanannya, ketika ia sampai di gerbang sekolah yang memisahkan lahan MTs. Putra dengan MA. Putri,  Zuhra menghadangnya. Sekolah sudah sepi. Tak ada siapa pun yang bisa menjadi saksi apa pun.
Zuhra menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Sedang Cut tak tahu harus bagaimana. Dalam situasi lengang seperti ini, ia tak lagi berani berlagak sok jago. Nyalinya putus menatap sosok geram itu.
Langkah Zuhra pelan mendekati Cut yang berdiri, mematung memandangnya dengan tatapan cemas. Satu persatu langkahnya bagaikan detik jarum jam yang berjalan amat lambat. Cut makin cemas. Zuhra makin dekat dengannya. Hanya berkisar tiga meter darinya. Lari?  Itu malah akan membuat masalah makin besar.
“Z-Zuhra,” Cut membuka suara. Satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk membela diri. “Jika ini tentang kejadian beberapa hari yang lalu di parkiran, saya minta maaf.”
Tapi tak ada respon dari yang diajaknya bicara. Langkah kaki itu makin cepat dan jarak yang memisahkan makin dekat. Tinju Zuhra mengepal dan bibirnya terkatup rapat. Keningnya bertaut dan nafasnya berembus berat. Emosi.
Jarak antara mereka tingallah setengah meter. Dan Cut tak bisa apa-apa selain mematung di tempatnya sambil gemetar ketakutan. “Zuhra, aku tak ingin…
Belum sempat Cut menghabiskan kalimatnya, Zuhra sudah lebih dulu menghentikannya. Seperti melihat hitam yang menjadi putih. Seakan melihat bulan yang pecah jadi bintang. Seakan melihat gurun yang menjadi lautan. Cut tak bisa mengungkapkan apa-apa saat Zuhra mendekap tubuhnya dengan erat. Erat dan lekat. Ia seakan masuk kedalam dunia surealnya. Tapi ini bukanlah mimpi. Ini benar-benar nyata.
Zuhra terisak. “Maafkan aku, Cut. Maafkan aku.” Lirihnya tanpa mengendurkan pelukannya. Malah makin erat dirasa oleh Cut.
Mendengar kalimat itu keluar dari lidah Zuhra, ia tak bisa menahan tangisnya. Cut turut menangis dan membalas pelukan itu. Matahari yang memanggang tak lagi dihiraukan mereka. Apalah yang lebih tentram selain ukhuwah yang terjalin dengan erat dan baik. Adalah kiranya jika sebelah tangan dihilangkan, asal ukhuwah tetap tersambung, buat apa mengutuk takdir. Dan itulah yang dirasakan oleh dua sosok ini. Mereka menyadari bahwa semuanya memang butuh proses. Sesuatu yang baik itu tak ada yang instant. Setiap ukuran punya perhitungan yang tepat, namun mencari yang cocok butuh waktu.

Not Child Anymore  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang