9

4.9K 464 2
                                    

Revia memandang satu persatu wajah dari sahabat-sahabatnya. Mereka semua kompak menghindari tatapan matanya. Mimik yang dipenuhi gugup, terpancar jelas dari wajah gadis-gadis itu.

"Ha-hai, Vi. Mau pesan apa? Nasi padang? Oke gue pesenin."

Tika lebih dulu membuka obrolan setelah Revia dan Rifa bergabung di meja yang sama dengan mereka.

"Atau lo mau makan Rifa? Eh, umm, ma-maksud gue risoles mayo jumbo kesukaan lo!" seru Elma terbata. Dia menggigit lidahnya kuat. Bisa-bisanya ia keceplosan di situasi mencekam seperti sekarang! Oh Tuhan, menghadapi Revia yang sedang dalam mode senggol bacok sangat tidak mudah. Ternyata, ungkapan 'marahnya orang penyabar' itu amat menyeramkan.

Rifa tertawa canggung. Dia memelototi Elma yang menampilkan senyum tak kalah canggung.

"Lucu, Ma, tapi bener, sih, tadi Revia mau makan gue. Iya, 'kan?" Rifa menyenggol pelan bahu Revia. Sayangnya, Revia sama sekali tidak bergerak. Tubuhnya sekaku kayu!

"Eh bentar, bentar. Diem dulu, ada yang nelepon gue nih." Resi meminta agar yang lain diam. "Halo? Waalaikumsalam, selamat siang, iya dengan saya sendiri. Oh Melisa. Iya kenapa, Mel? Apa? Paketnya sudah di depan? Wah oke-oke. Aku ke sana sekarang. Tunggu bentar, ya, ini aku mau turun ke bawah juga. Sip sip." Setelah memutuskan panggilan, Resi mengajak Tika dan Elma untuk ikut serta menemaninya.

"Gu-gue juga ikut dong," ucap Rifa. "Gue bareng mereka dulu, ya, Vi?"

Revia tahu, pasti mereka semua hanya akan menyisakan dirinya dan Banu. Rencana yang sudah sangat terbaca.

"Apa nggak sekalian gue ikut?" tanya Revia dengan nada sinis.

"Jangan!" Gadis-gadis itu serempak menolak.

"Yang jelas gue nggak bakal lama di sini. Mau kalian tinggalin gue juga terserah," imbuh Revia lagi.

"Mungkin memang ada baiknya kita ninggalin kalian berdua dulu. Takut ganggu, Vi. Banu, kalau mau menyampaikan sesuatu, tolong penjelasannya dibuat sepadat mungkin. Kamu tahu 'kan maksud saya?" ucap Rifa pada Banu dan ditanggapi anggukan cepat oleh laki-laki itu.

Revia memberikan tatapan tidak setuju, tapi bahunya ditepuk pelan oleh Rifa. "Lo tahu 'kan kita semua sayang sama lo? Sekali ini doang, oke?"

Akhirnya Revia tetap ditinggalkan dengan Banu. Situasi kantin yang saat ini cukup sepi, kian menambah keheningan antara mereka berdua, tapi kantin bukanlah tempat yang tepat untuk mengobrol. Pantas saja Resi dan Rifa kekeh memaksanya makan di restoran depan kantor. Pasti itu akal bulus mereka untuk membuatnya bertemu Banu. Sayangnya, mereka tetap tidak kehabisan ide dan menjebaknya dengan cara lain seperti sekarang. Dan sejak kapan mereka mengenal Banu?

Di lain sisi, Banu duduk dalam canggung, takut-takut menatap pada Revia. Tampangnya berantakan, Banu terlihat seperti belum tidur. Wajahnya juga cukup pucat.

"Tiga menit."

"Ya?" tanya Banu blank.

"Cepat katakan."

Dalam benaknya, Revia merutuki inisiatif sahabat-sahabatnya. Seharusnya mereka menemani Revia menghadapi Banu, seharusnya mereka menguatkan Revia kala situasinya kacau seperti sekarang. Seharusnya! Seharusnya! Seharusnya! Semua ini salah. Revia menghargai inisiatif sahabatnya. Namun, bukankah lebih baik jika mereka menemaninya? Bukan malah meninggalkannya seorang diri seperti ini. Seakan tidak mengerti akan posisi Revia dan menyepelekan perasaannya. Revia tidak dapat menahan kedongkolan di hatinya.

"Kak." Banu coba untuk memulai. Dia mengambil pasokan udara yang banyak. "Tolong dengerin aku, ya? Aku benar-benar minta maaf. Aku menyesal, Kak. Demi Tuhan, dalam posisi ini rasanya begitu kacau. Tidak mendapatkan maaf Kakak, sungguh membuat rasa bersalahku membumbung tinggi. Sudah lama aku mencari keberadaan Kakak dan akhirnya membuahkan hasil. Aku nggak tahu bakal sesulit ini menemukan Kakak. Selalu dihantui perasaan khawatir memikirkan bagaimana keadaan Kakak setelah meninggalkan Aritama, di mana Kakak tidur, di mana Kakak tinggal dan bagaimana Kakak melanjutkan hidup. Semuanya sangat kacau setelah kepergian Kakak, aku ... sempat mengalami depresi. Dan sekarang, aku ingin memperbaiki segalanya."

"Tiga bulan yang lalu, aku akhirnya menemukan Kakak. Aku merasa berada di atas awan.  Pencarianku selama beberapa tahun ini tidak berujung kesia-siaan. Aku mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum menemui Kakak. Sayangnya, aku kembali disadarkan oleh realita yang kejam. Kakak tentu tak lagi sudi walau hanya sekadar menghirup udara yang sama denganku. Dan terbukti di malam itu, Kakak amat membenci kehadiranku. Sekarang pun masih tetap sama. Aku sempat putus asa setelah menerima tanggapan awal Kakak pada malam itu. Melihat bagaimana sorot penuh kebencian yang terpancar di mata Kakak, benar-benar menamparku telak. Aku ... berjanji akan memperbaiki semuanya, Kak. Aku minta maaf."

Laki-laki itu tersenyum getir tatkala membayangkan tindakan nekatnya beberapa hari yang lalu. Dia nyaris menabrakkan mobilnya ke pembatas jalan akibat terbawa oleh keadaan menyesakkan yang menghantuinya selama tiga tahun ini.

"Apakah nyawa cukup untuk mengembalikan Kakak ke dalam dekapan kami?"

Ucapan Banu sukses membuat Revia benar-benar menatapnya.

"Kemarin, aku sempat berpikir untuk mengakhiri hidupku agar bisa terbebas dari situasi menyesakkan ini. Namun, saat aku sadar bahwa aku belum mendapatkan maaf dari Kakak, aku urung melakukannya. Itu bukan akal-akalan semata hanya demi mendapatkan balasan atas permintaan maafku pada Kakak. Tidak mengapa jika Kakak menganggapnya kebohongan. Aku hanya tidak tahu harus melakukan hal apa lagi agar Kakak percaya bahwa aku, teramat sangat menyesali semua yang terjadi di masa lalu."

Kata-kata Banu sarat akan keputusasaan. Tatapan matanya begitu sayu. Dia hanya bisa berharap semoga Revia percaya pada semua yang ia ungkapkan.

"Semenjak Kakak pergi, aku selalu dibayangi wajah Kakak yang bersimbah air mata ketika meninggalkan rumah. Tiga tahun ini, terasa berat untuk Aritama. Ketenangan sulit kami didapatkan."

Walaupun Revia diam, telinganya fokus mendengarkan apa saja yang Banu sampaikan. Ekspresinya tetap sama, tidak menampilkan sedikit pun keramahan. Namun, dia memilih untuk tidak mempercayai apa yang Banu katakan. Dia tahu Banu adalah orang yang manipulatif.

"Saat ini, aku hidup terpisah dari Ayah dan Bunda."

Revia mengangkat satu alisnya. Apakah orang yang ada di hadapannya ini benar-benar Banu? Sejak kapan dia bisa lepas dari gelimang harta Aritama?

"Aku tinggal bersama Kak Revo di apartemennya. Ya, Kak Revo juga melakukan hal yang sama denganku. Kami meninggalkan Aritama, seperti yang Kakak lakukan dulu. Bukan tanpa alasan, itu semua kami lakukan karena kami sadar apa yang sudah kita lakuin ke Kakak adalah tindakan bodoh."

Gue nggak peduli sumpah! Jerit Revia dalam hati. Dia mulai sakit kepala mendengar omong kosong Banu.

"Udah ngomongnya?"

Tidak ingin berlama-lama menghirup udara di tempat yang sama dengan Banu, Revia memutuskan untuk menyudahi pertemuan tidak berguna ini.

"Waktunya habis," ujar Revia bersiap untuk pergi.

Perkataan Banu terdengar seperti bualan, membuatnya mual. Revia pun berdiri dan membalikkan tubuh. Dia harus segera menghilang dari hadapan Banu sebelum benar-benar memuntahkan cairan lambungnya.

"Aku punya penyakit kanker!"

Banu yang panik, tanpa pikir panjang langsung mengutarakan apa yang sejak kemarin ingin dia beritahu pada Revia.

"Sudah masuk stadium satu," imbuh Banu lagi.

Pergerakan Revia sontak terhenti, ia menatap Banu dengan raut terkejut.

"A-apa?"

Miss Copywriter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang