Sore nanti selepas Revia pulang dari kantornya, ia berencana akan bertemu Banu. Mencoba untuk memberikan sedikit kesempatan walau dalam hati, Revia tidak henti-hentinya merapalkan jika apa yang akan dia lakukan ini, semata-mata hanya karena ingin menolong Banu yang tengah sakit.
Meskipun ia menolong Banu, bukan berarti dia memaafkan apa yang telah terjadi dulu. Kemarahan dan kekecewaan masih bersarang dalam relung hatinya, tapi entah mengapa, dengan bodohnya dia merasa harus menolong Banu. Terlebih ini menyangkut nyawa laki-laki itu.
Sejak kemarin, Revia sudah memikirkan segalanya. Segigih apa pun coba mengelak, dia tetaplah seorang Kakak. Revia akan berusaha membantu Banu melewati masa kesakitannya. Menolong sang Adik untuk pulih meski dokter telah menjatuhkan vonisnya.
Mengapa dia begitu sulit menjadi seorang yang egois setelah semua yang telah dia alami? Mengapa dia harus sebaik ini walau hatinya telah sengaja dilukai tanpa ampun? Pertanyaan itu tak henti menggema dalam pikiran Revia. Dan jawaban yang terlintas di otaknya hanya satu. Dia tidak sejahat itu membiarkan Banu bertahan seorang diri dalam melawan penyakitnya. Paling tidak, Revia bisa mengusahakan yang terbaik agar kemungkinan terburuk tidak akan terjadi.
Tanpa terasa, sinar senja datang begitu cepat. Menjadi penanda bagi Revia untuk segera menemui orang yang mungkin saja sudah menunggunya sejak tadi.
Menyalakan mesin Ramason dengan cepat, Revia bergegas membawa mobilnya keluar dari area kantor. Tadi, Revia sudah mengatakan bahwa dia akan menemui Banu pada sahabat-sahabatnya. Mereka terlihat lega dan mendukung keputusan Revia. Gadis-gadis itu juga berjanji akan selalu berada di sisinya terlepas keputusan apa pun yang dia ambil.
Tidak membutuhkan durasi yang lama, Revia akhirnya tiba di tempat yang telah ia janjikan. RTH yang berada tidak jauh dari sekolah dasar Revia dahulu. Netranya langsung menangkap sosok Banu yang tengah duduk di salah satu bangku beton. Ia pun segera menghampiri laki-laki tersebut.
"Banu."
Seruan itu membuat Banu lekas berdiri.
"Kakak," ucap Banu tidak menutup-nutupi raut gugupnya. "Silakan duduk."
Revia mengangguk kecil, ia mengambil napas panjang, lalu memandang pada anak-anak yang tengah bermain dengan menggunakan fasilitas yang tersedia di RTH ini.
"Gimana perkembangan kesehatan kamu?" tanya Revia membuka obrolan.
"Nggak ada perkembangan, Kak. Masih sama. Malah, akhir-akhir ini sakitnya mulai terasa. Dan aku nggak mau ngasih tahu Kak Revo. Aku nggak mau dia merawatku."
"Bodoh, ya, kamu? Kenapa nggak jujur sama dia? Kamu dateng di saat Kakak dalam kondisi seperti ini. Kamu pikir Kakak anak orang kaya yang punya credit card banyak?"
"Kakak masih anak Ayah," ucap Banu retoris.
Mendengar hal itu, Revia mendelik tajam. Dia tidak perlu diingatkan akan sebakir apa seorang Joseph Aritama.
"Katakanlah aku bodoh, tapi aku nggak mau ambil risiko kalau nanti Kak Revo bakal bawa aku untuk melakukan pengobatan di luar negeri, sementara aku nggak mau tinggal jauh dari Kak Revia. Lagi pula, aku udah berusaha sampai sejauh ini dan berhasil menemukan keberadaan Kakak. Tidak mungkin kusia-siakan begitu saja, bukan?"
Revia mendengkus. "Setelah ini, Kakak memang akan membantumu sembuh dan pulih dengan usaha terbaik yang Kakak punya, tapi yang perlu kamu camkan, ini Kakak lakukan semata-mata hanya karena Kakak masih memiliki beban hubungan darah dengamu. Jangan sekali-kali kamu melupakan hal apa yang melatarbelakangi Kakak sampai berlaku seperti sekarang. Perlakuan kalian terhadap Kakak tidak akan pernah Kakak lupakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Copywriter [✓]
ChickLit| Tamat | | Akan direvisi kembali | Revia tidak tahu apa maksud mereka. Ayah, Ibu, Kakak dan Adiknya diam-diam memendam kebencian padanya. Selama ini mereka mengenakan topeng dan bersikap munafik, for god sake! Semua tawa, kasih sayang dan senyum ha...