"Oke, Nu, kalau gitu kamu istirahat saja. Maaf Kakak enggak bisa nemenin kamu check up, again. Di kantor kedatangan bos baru, jadinya Kakak agak sibuk."
"Not a big deal, Kak. Aku ngerti kesibukan Kakak, tapi jangan jauhin aku, ya? Aku kira Kakak mau pergi lagi dariku karena sejak kemarin nggak bisa dihubungi," cicit Banu pada penghujung katanya.
Akhir-akhir ini dia sempat khawatir karena mengira Revia menjauhinya. Padahal, nyatanya sang Kakak benar-benar tengah memiliki kesibukan yang segunung sampai jarang menemaninya check up.
Revia berdehem, kemudian bergumam tak kalah pelan, "Iya."
"Kakak istirahat juga, gih. Atau mau aku beliin makanan? Tadi katanya belum makan, 'kan?" tawar Banu hati-hati. Berharap Kakaknya bersedia untuk dia belikan makanan. Setelah bertahun-tahun lamanya, paling tidak sekali saja, dia ingin menjadi orang yang dapat diandalkan oleh Kakaknya.
"Enggak usah. Kakak beli sendiri aja, Nu. Lagian ini juga masih jam satu, pasti abang-abang sate masih mangkal kok," tolak Revia halus yang langsung memudarkan raut penuh harap di wajah Banu. Sebagai gantinya, senyum kecut perlahan terbit di bibir si bungsu Zachary itu.
Menyadari bahwa kakaknya masih memasang batas tak kasat mata di antara mereka, tak pelak membuat dada Banu bak dirajam. Mendapatkan kepercayaan Revia tidak akan pernah mudah. Jalan yang harus dia lalui masih sangat terjal.
"Oke, Kak. Aku tutup dulu, ya? Nanti kalau misalnya ada apa-apa, secepatnya akan aku sampaikan ke Kakak."
"Iya. Kalau ada apa-apa bilang aja. Kamu juga jangan sungkan minta bantuan sama Kakakmu yang satunya lagi. Biar dia ada gunanya dan nggak pacaran mulu. Masa kamu sakit gak dia bantuin. Kakak macam apa dia?"
Banu sangat suka mendengar Revia mulai mengomel seperti sekarang, berbicara panjang lebar hanya demi menceramahi dirinya dan Revo, sama seperti dulu. Perasaan getir yang tadi sempat merajai hati Banu, segera digantikan dengan secercah kelegaan. Setidaknya, kebiasaan mengomel tidak pernah hilang dari Kakak yang amat dia sayangi ini. Sungguh, Banu tidak berbohong ketika mengatakan bahwa dia lebih suka mendengar omelan Revia dibanding semua jenis musik yang ada di dunia.
"Tenang, sekarang Kak Revo udah jinak kok. Kalau kusebut nama Kak Revia sekali aja, dia langsung kicep. Terus tatapan dia berubah sendu. Kayak anak gadis gitulah bawaannya. Sensitif, tiap malam dia nggak absen meluk guling kesayangan Kakak. Itu lho, yang motifnya polkadot hitam putih. Malah beberapa kali, aku sempat rebutan bantal itu sama Kak Revo. Inget, 'kan sama guling kesayangan Kakak?"
Revia tersenyum kecil. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa setelah mendengar aksi kekanak-kanakan sulung dan bungsu Zachary itu.
"Kak?" Banu memanggil Revia karena tidak adanya sahutan.
"Eh? Iya Nu? Maaf-maaf lagi nggak konsen."
"Kalau gitu, Kakak istirahat sekarang. Habis makan nanti langsung tidur. Nggak usah begadang."
"Iya, Nu."
"Beneran, Kak. Istirahat setelah ini."
Banu tahu betul Revia keras kepala. Bisa jadi, Kakak perempuannya ini tidak akan segera tidur dan malah asik chattingan dengan teman-temannya selepas mereka berbicara. Lekat dalam ingatannya ketika Revo dan dirinya tidak absen mengunjungi kamar Revia untuk mengecek apakah saudara keras kepala mereka sudah tidur atau belum. Dulu, mereka bahkan selalu melakukan dua kali pengecekan karena tahu akal bulus Revia begitu licin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Copywriter [✓]
ChickLit| Tamat | | Akan direvisi kembali | Revia tidak tahu apa maksud mereka. Ayah, Ibu, Kakak dan Adiknya diam-diam memendam kebencian padanya. Selama ini mereka mengenakan topeng dan bersikap munafik, for god sake! Semua tawa, kasih sayang dan senyum ha...