Han Jisung memang tidak bisa mendengar sejak kecil. Namun orang tuanya yang memang saat itu belum sadar pun masih memanjakannya. Mereka membawanya tamasya ke taman, pusat perbelanjaan, dan tempat menyenangkan lainnya.
Tak lama hidup bahagia itu berubah menjadi sejarah semata. Karena ketika mengetahui keterbatasan Jisung, pasangan Han langsung mengurung anak lelaki itu di loteng. Dengan cepat mengecapnya sebagai aib keluarga.
Semua bermula ketika Ibu menyadari keterlambatan kemampuan Jisung dalam berbicara.
"Jisung, coba ngomong 'a'." perintah Ibu dengan halus lalu membuka mulutnya, mencontohkan cara mengatakan huruf 'a'.
Tidak ada jawaban. Jisung yang saat itu masih kecil hanya tersenyum sampai kedua matanya membentuk eye smile. "Hehe," tawanya polos.
Reaksi lelaki tupai itu berbanding terbalik dengan ibunya. Sejak saat itu pun Ibu menguji Jisung. Terkadang Jisung dipakaikan headset dengan volume maksimal, sengaja membawanya ke tempat ramai dan melihat reaksinya, juga terus mengajaknya berbicara walau pada akhirnya hanya akan ditanggapi dengan kekehan.
Semakin lama waktu berlalu, Ibu semakin gelisah dengan keterbatasan anaknya. Bukan kegelisahan sebenarnya yang wanita itu rasakan, melainkan rasa kecewa.
Kecewa karena anaknya masuk dalam kategori orang cacat. Ibu pun akhirnya memberitahukan situasinya pada Ayah yang saat itu baru saja pulang dari luar kota.
Mengerikan sekali karena ternyata Ayah memiliki jalan pikir yang sama.
Setelahnya wanita itu meringsut ketakutan karena mendapat tamparan keras dari suaminya. Pasangan Han memang sempat bertengkar hebat hanya karena kondisi Jisung.
Anak mereka cacat dan menjadi aib keluarga Han.
Siapa yang salah disini?
Masing-masing pihak saling berteriak keras dan melemparkan barang. Mereka tidak peduli karena berpikir Jisung tidak akan bisa mendengar keributan itu.
Di luar perkiraan, Jisung yang sebelumnya masih asyik menonton televisi kini berdiri ketakutan dengan kaki gemetaran juga wajah yang basah.
"Eunnggg... Hung... Huh.... Hu!" seru Jisung tiba-tiba berlari ke ruang kosong di antara ayah dan ibunya.
Anak itu menghadang jalan sang Ayah yang kini sudah menggenggam asbak. Pria itu mendengus ketika mendapati niat Jisung ingin melindungi Ibu. "Ah... Eungg... Heu!" gumam Jisung sambil menyilangkan tangannya.
Bahasanya aneh tapi semua orang yang ada di ruangan mengerti kalau Jisung tidak suka melihat seseorang disakiti. Walau akhirnya anak itu kembali diacuhkan karena sang Ayah malah menargetkannya sebagai pengganti ibu dalam menahan rasa sakit.
Hampir saja Jisung terkena hantaman asbak itu kalau Ibu tidak cepat-cepat menariknya. Keduanya bertatapan sebentar, ibu dengan wajah yang kacau dan Jisung yang kini menorehkan senyum lugu khas anak-anak.
"Untuk apa Jisung senyum? Menertawakan keadaan ibu?" tanya wanita itu sarkas.
Baru pertama kali ini Jisung merasa sangat takut di depan ibunya. Tatapan yang menusuk seolah ingin menghancurkannya itu membuatnya membeku di tempat, bahkan ketika ibu sudah mengangkat tangannya pun Jisung masih bergeming.
Plak!
"HUWAAAAAAAA!!!!"
Satu tamparan diiringi tangisan Jisung. Tidak ada yang peduli. Ibu terus saja menampar Jisung sampai pipi gembilnya berubah warna menjadi merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Morning Star | Stray Kids
FanfictionMencari arti kata 'bahagia' dalam keterbatasan hidup. ©Kyrumie, 2019.