3. Biasan Cahaya

73 10 4
                                    


"Segelap apapun harapanmu, cahaya kecil akan mampu menerangi langkahmu."

***

Kini ujian pun sudah usai dan Dirandra akan kembali berpetualang bersama Harshita. Begitu banyak hal ingin ia lakukan bersama Harshita, meskipun Mama tidak mengijinkan Dirandra bermain bersama gadis yang katanya setengah laki-laki itu, namun Dirandra tidak pedulu dengan larangan Mama.
Kini mereka sudah memenuhi tugasnya sebagai Murid Sekolah Dasar, dan sebentar lagi mereka akan naik ke Sekolah Menengah Pertama yang letaknya di Desa Penglatan, dimana tempat ini adalah tempat Papa bekerja, itulah alasan mengapa Dirandra harus pindah rumah dan belajar mati-matian agar Papa atau pun Mama tidak kecewa.

Dirandra yakin dirinya akan semakin sulit bertemu dengan Harshita jika mereka sudah SMP, maka dari itu ia ingin menghabiskan waktunya bersama Harshita lebih banyak lagi sebelum hal itu benar-benar terjadi.

Seperti saat ini Dirandra harus menaahan dingin yang terus menusuk pori-pori kulitnya. Berusaha untuk mempererat jaketnya agar tubuhnya terasa lebih hangat. Angin terasa sangat dingin, padahal keringat membanjiri pelipis dan lehernya. laki-laki bermata coklat itu masih kedinginan di dalam jaket hitamnya. Beberapa kali ia menggosokkan telapak tangan dan meniupnya untuk menghangatkan suhu tubuhnya, namun percuma saja, ia tetap menggigil. Harshita memperhatikan Dirandra dari samping menatapnya dengan tatapan meremehkan sambil menggeleng. 

Harshita melepas syal abu-abu pemberian Nenek, kemudian melilitkannya di leher Dirandra sambil tersenyum.

"Biar enggak bentol-bentol gara-gara kedinginan."

Dirandra mengangguk dan semakin memeluk tubuhnya di bawah pohon sambil menatap hamparan luas dengan cahaya remang-remang di depannya, meskipun begitu, Dirandra tahu di depannya ada sawah luas yang masih hijau serta pondok kecil terbuat dari bambu di tenaghh-tengah sawah, karena ia sudah pernah melewati tempat ini setiap ke kota bersama Mama atau Papa.

"Kenapa mengajakku ke pohon kembar jam segini?"

Harshita menoleh sebentar menatap wajah Dirandra, hidung Laki-laki itu mulai memerah, kemudian menatap langit malam dengan keindahannya. Gemintag seakan mengitari mereka dan galaksi menampakkan jelas di atas mereka.

"Terlalu banyak alasan kenapa aku mengajakmu ke sini. Tapi, kali ini aku tidak akan memberitahumu." Harshita menghentikan kalimatnya dan kembali melihat wajah Dirandra sedang kebingungan menatapnya juga. Harshita selalu mampu membuat Dirandra penasaran, gadis berambut legam penuh kejutan di sampingnya ini tidak pernah gagal membuatnya gila saking misteriusnya Harshita.

"Dingin ini jangan dipikirkan, semakin kamu pikirkan akan semakin dingin kamu rasakan." Gadis berkulit sawo matang itu mulai melepas jaketnya.

"Tidak semua hal indah bisa aku jabarkan, sekarang giliran kamu mencari alasan kenapa aku mengajakmu ke pohon kembar subuh-subuh." Harshita meletakkan jaketnya di samping sambil tersenyum melihat Dirandra yang sedang menghela napas panjang.

"Aneh," sindir Dirandra. Ia langsung mendapatkan pukulan kecil di bahu kanannya.

"Memang kamu aneh, Har. Apa yang kita cari subuh-subuh begini, coba? Sekarang bulannya berbentuk sabit, trus di depan gelap banget, kalau bulan purnama mungkin lebih terang dan lebih indah untuk dipandang," protes Dirandra semakin erat memeluk tubuhnya sendiri.

"Aku suka heran, kenapa bulan sabit selalu dianak tirikan? Padahal mereka samaㅡsama-sama bulan."

Dirandra berdecih sambil melihat bulan sabit menggantung di langit. Cahaya kecil dengan ujung yang runcing tidak ada keindahan yang dikeluarkannya. Sangat berbeda dengan bulan purnama yang cantik dengan sinar rembulan penuh dan tentunya sangat sakral.

Dirandra || Harshita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang