4. Pelangi

63 12 0
                                    

"Hidup itu tidak hanya ada hitam dan putih saja, melainkan sejuta warnanya."

***

Langkah kaki tak beraturan, atmosfir terasa berbeda dari biasanya, suara bising memenuhi satu ruangan. Semua memiliki kesibukannya masing-masing. Ada yang membagikan sebuah kertas yang sudah berisi tulisan yang tersusun rapi, sudah dijilid dengan jumlah halaman lima belas lembar, ada pula sibuk memakai kamen, bahkan ada yang mulai mempraktekkan apa yang kiranya ada di dalam kertas itu sambil tertawa.

Denyutan jantung terasa berbeda, kericuhan yang mereka buat seolah tidak bisa dihentikan oleh siapapun. Sang Guru pun hanya fokus pada tujuannya.

"Naskahnya sudah semua dapat?"

Jawaban riang menggema di dalam kelas. Sangat jelas terlihat semangat yang menggebu membara di dalam tubuh para siswa.

"Ibu duluan permisi. Harus ke tempat menjahit untuk mencari orang agar besok kalian bisa mengukur baju. Pak Swastika yang akan menjelaskan untuk sementara." Guru muda nan cantik dengan rambut bergelombang sepinggang yang di kuncir polos merapikan beberapa kertas yang tadinya berantakan. Baju kaos putih yang digunakannya membuat kulit sawo matangnya terlihat bersih dengan senyum manis di akhir kalimatnya.

Setelah mengucapkan itu, Guru muda itu pun pamit. Tidak lama kemudian Guru tari datang ke dalam kelas membuat semua orang bingung, disusul Pak Swastika di belakangnya dengan langkah mantap, perut buncitnya memimpin di depan serta kaca mata tebal dan kumis hitam membuat semua siswa bergidik ngeri melihatnya.

"Selamat siang semuanya," sapa Guru tari yang memiliki nama Tari Astarina, Tari sudah berkeluarga dan memiliki dua anak yang sudah berkuliah, namun wajah Ibu Tari tidak berubah, tetap cantik dan anggun dengan tubuh tinggi kurus, percis seperti gadis Bali jaman dulu.

Semua siswa membalas dengan sopan, banyak pertanyaan terbesit di otak mereka, tak terkecuali Harshita di bagian belakang yang duduk bersila bersama Indri Si Gadis kuncir dua, tidak jauh darinya ada Dirandra duduk bersama yang lainnya.

"Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan. Aku sangat ingin berperan menjadi Layonsari." Dalam hati Harshita was-was. Harapannya sedikit demi sedikit memburam saat pertama melihat Tari masuk ke dalam kelas. Dirandra menoleh ke arahnya, melihat wajah Harshita yang berubah khawatir membuatnya ikut khawatir tentang perubahan wajah Harshita. Dirandra sangat ingat bahwa Harshita sangat ingin mengambil peran Layonsari, gadis polos hitam manis itu ingin membuktikan kepada semua teman-temannya kalau dirinya juga bisa melakukan peran itu. Namun, sedikit demi sedikit harapannya pupus.

"Bapak sudah membicarakan tentang ini kepada semua guru termasuk Bapak Kepala Sekolah, Beliau sangat mendukung acara ini. Untuk terakhir kalinya, kalian mempersembahkan Sendratari kolosal sederhana dengan cerita Jayaprana dan Layonsari yang berjudul Cinta suci, tulus dan abadi."

Harshita langsung tertunduk, harapannya benar-benar pupus di telan bumi. Kesempatan mendapatkan peran Layonsari sangat minim, karena dirinya tidak bisa menari sedikit pun.

"Selama liburan, kalian akan latihan bersama Ibu Tari dan Bapak, serta Ibu Ida yang ikut menggarap semua keperluan dramanya. Pokoknya, kalian harus bisa bekerja sama untuk mempersembahkan karya terakhir kalian di Sekolah ini, agar terkenang sampai kalian tua nanti." Pak Guru berkumis lebat itu menjelaskan begitu semangat. Seperti tahun-tahun sebelumnya, anak-anak kelas enam mempersembahkan pentas seni Angklung Bambu yang diselingi musikalisasi puisi sampai sukses membuat semua penonton menangis. Kali ini, acaranya harus lebih sukses dan meriah sampai air mata terkuras habis.

"Sekarang siapa disini yang bisa menari?" Kini Ibu Tari bertanya. Harshita semakin menunduk lemah, semangat sebelumnya memuncak kini turun drastis disaat beberapa teman-temannya mengangkat tangan.

Dirandra || Harshita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang