19. Benih yang Tertinggal

42 6 0
                                    


"

Apa yang lebih indah di dunia ini selain dirimu hadir dalam hidupku? Harshita, jangan pergi lagi."

***

Hujan badai dan gemuruh guntur mendatangi dunia Harshita. Tembok besar yang menjadi tamengnya selama ini runtuh di dalam tatapan itu. Benci, dendam dan rindu beradu dalam rasa yang muncul dalam dirinya. Harshita memalingkan wajahnya, berlalu begitu saja menuju RBS (Ruang Bayi Sehat), kemudian di belakangnya disusul Dokter Dermawan serta beberapa perawat sambil mendorong bangkar menuju Kamar Mayat. Isak tangis langsung meledak di saat itu juga. Sebuah kursi roda didorong dari depan Harshita, tergesa-gesa dan berderit. Harshita mengangkat kepalanya untuk melihat, matanya melebar saat melihat Mama duduk di atas kursi roda. Ia pun menoleh cepat, suara tangis semakin pilu saat Dokter Dermawan menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.

Agar bayinya mendapatkan perawatan yang baik, Harshita menyerahkannya pada perawat RBS, kemudian kembali ke ruangannya untuk menenangkan diri dari apa yang terjadi barusan atau lebih baik dirinya segera pulang.

Namun, langkahnya berhenti di depan pintu RBS saat melihat sorot mata coklat yang menggelap tanpa tujuan dan arah sedang menatapnya, Harshita juga dapat melihat ada genangan air bening di sekitar kelopak matanya. Sebelum dirinya terhipnotis kembali, Harshita berjalan begitu saja, seakan tidak pernah mengenal siapa yang sedang menatapnya dengan sorot mata yang menyimpan ribuan tumpuk rindu itu.

"Har, tunnggu."

Dengan cepat Harshit menepis tangannya dan kembali berjalan. Mengabaikan laki-laki yang pernah hadir dalam hatinya.

"Dok, saya pulang lebih awal," ujar Harshita tidak kuat lagi untuk mengangkat kepalanya. Berujar sambil menunduk dengan nada suara bergetar.

"Terima kasih bantuannya hari ini, Dok. Jangan sesali apa yang pernah terjadi, semuanya sudah di rencanakan oleh Tuhan. Sang Ibu meninggal atau hidup bukan bergantung di tangan kita, Dokter Harshita."

Harshita hanya mengangguk dan berlalu begitu saja. Entah kenapa penggalan pertama kalimat Dokter Dermawan seakan sedang memberikan ceramah kepadanya tentang masa lalu yang belum hilang dalam ingatannya, semuanya seakan abadi di dalam memori Harshita. Sungguh, Harshita menyesal karena mencintai Dirandra, kalau tahu akan sesakit ini, ia tidak akan pernah mengenal yang namanya cinta. Sungguh.

Harshita memejamkan kedua matanya sebentar, lalu memberanikan diri untuk melihat siapa yang menghalangi langkahnya. Melawan tatapan itu seakan menantangnya.

"Saya tidak tahu kamu menjadi Dokter di sini." Perlahan roda itu berputar dan semakin mendekati Harshita.

"Bisa kamu bantu saya mendorongkan kursi rodanya? Suami saya sedang menenangkan adik saya yang sedang terpukul karena kehilangan istrinya," suara Perempuan itu bergetar. Air matanya seakan saling mendorong ingin keluar.
"Bukan karena untuk melayani saya, tapi saya meminta sebagai seorang pasien, Dokter Harshita," Mama memohon sambil mengambil tangan Harshita. Dengan cepat Harshita menarik tangannya tanpa ada rasa untuk memalingkan wajah dari perempuan yang pernah menyakiti hatinya. Tatap mata Mama mengingatkan dirinya pada sosok Ibu yang selalu penyabar dan tangguh dimana kini sedang menunggunya di rumah. 

"Tidak baik bicara di lorong," ketus Harshita lalu berjalan ke belakang kursi roda, mendorong dengan pelan menuju taman rumah sakit yang lumayan jauh.

"Padahal saya sering kontrol di sini, kenapa tidak pernah melihat Dokter, ya?" tanya Mama sambil mengangkat kepalanya untuk melihat Harshita.

Harshita tidak menjawab, wajahnya membeku dan sangat datar tanpa ekspresi. Mama menelan air liurnya kuat-kuat lalu kembali melihat ke depan.

Dirandra || Harshita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang