9. Terlambat

33 8 2
                                    

"Jauh dari lubuk hatiku masih ada rasa takut. Takut jika kamu tidak ikut berjuang."

***

Kalau saja tidak ada darah Brahmana mengalir di dalam tubuh Dirandra, mungkin ia tidak akan sesulit ini untuk mencari seseorang yang mampu menggertakkan hatinya. Semua sudah terlambat saat Mama memberikan ceramah kepada dirinya waktu itu, karena sebelum itu terjadi Dirandra sudah menyadari perasaan baru pertama kali ia rasakan. Dirandra juga tidak tahu sejak kapan detak jantungnya berdetak berbeda setiap menatap mata indah Harshita.

"Ini yang Mama takutkan kalau kamu berteman dengan Harshita! Si wanita setengah laki-laki itu." Napas Mama naik turun saat memuntahkan rasa kesalnya setalah menyadari bahwa Dirandra satu sekolah dengan Harshita. Kilatan di kedua matanya menunjukkan rasa ketidak sukaan begitu besar.

"Sadar Gus De, kamu ini golongan Brahmana dia golongan Sudra." Mama menatap tajam Dirandra, namun Laki-laki itu hanya menunduk melihat ujung sepatunya yang kini lebih menarik untuk ia lihat

"Bagaimanapun juga, keturunan Sudra tetap keturunan Sudra, hanya masyarakat biasa, jauh dengan kita. Sekarang apa? Kamu menyukainnya?" Mama sadar akan satu hal setiap Dirandra menatap gadis itu. Ketidak sengajaan yang Mama sadari saat anaknya menatap diam-diam gadis itu pulang sekolah dan bertemu di gerbang sekolah walau gadis itu tidak menyadari hadir mereka, tatapan kedua mata Dirandra benar-benar berbeda. Mama sangat yakin bahwa anaknya sudah jatuh cinta pada orang yang salah dan itu tidak boleh terjadi.

Dirandra mengangkat kepalanya, melihat wajah Mama yang memerah. Perempuan cantik dan anggun itu terlihat berbeda saat marah seperti ini, keriput pun sangat jelas terlihat di bawah matanya yang indah seperti Dirandra berwarna coklat, giginya berbunyi seakan bernyanyi di dalam bibirnya yang tipis.

"Salah kalau Diran menyukainya?" Ingin rasanya Dirandra tertawa sekencang-kencangnya. Menertawakan Mama marah seperti ini. Begitu banyak pertanyaan ingin Dirandra lemparkan kepada Mama, seperti: apa salahnya mencintai orang yang berbeda derajatnya? Memangnya cinta harus sesuai tahta? Apa cinta itu bisa direncanakan? Atau apakah sebuah rasa bisa dicegah? Dirandra yakin, bahwa cinta itu tidak ada kata membedakan saat ia hadir.

"Salah besar. Banyak hal akan terjadi kalau kamu benar-benar menyukainya, apalagi sampai menikah dengannya,"geram Mama mengepalkan kedua tangannya kesal. Sejak dulu ia sudah was-was tentang hal ini bisa terjadi, segala sesuatu sudah ia lakukan, tetapi anaknya selalu berontak.

"Apa yang akan terjadi? Kiamat?" Dirandra berujar tenang. Berusaha untuk tidak menaikkan volume suaranya di depan perempuan yang sudah merawatnya selama ini. Tetapi Mama sangat tersinggung mendengar ucapan anaknya sendiri.

"Dirandra, Mama serius. Kamu akan menderita, orang-orang akan memandang kita berbeda selama kamu bersama gadis itu."

"Sudahlah, Ma. Diran capek. Lagian Diran dan Harshita belum tentu berjodoh, kalau pun berjodoh nantinya, pasti sudah ditentukan oleh leluhur kita. Kata Ajik, kita tidak boleh menentang leluhur."

Mama yang mendengar kalimat Dirandra merasa darahnya naik turun dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun. Laki-laki yang dulu kecil di dalam dekapannya, kini sudah remaja dan memiliki keinginannya sendiri. Mama hanya diam melihat kepergian Dirandra dari ruang tamu menuju kamarnya. Laki-laki itu kini lebih sering berada di dalam kamar daripada bercengkrama bersama orang tuanya semenjak larangan itu ada.

Dirandra menghela napas panjang, ingatan perdebatan waktu itu bersama Mama tiba-tiba melintas di otaknya. Ingin rasanya ia berlari dan menjauh dari lingkaran belegu ini, mungkin dirinya tidak akan tersiksa seperti ini. Sayangnya Dirandra tidak pernah berhasil. Dilihatnya buku sejarah yang ia rebut dari tangan gadis hitam manis yang tak pernah hilang dalam ingatannya. Mengedarkan pandangannya pada ruangan sunyi penuh buku di depannya, berharap gadis yang kini banyak berubah itu ada di dalam perpustakaan.
Setelah melihat setiap jengkal rak buku, dan benar saja, seorang gadis tinggi, kurus, dan berambut pendek keluar dari rak buku sejarah yang tidak jauh darinya berdiri. Sama-sama mematung saat pandangan mereka bertemu beberapa detik. Jantung Dirandra kembali berdetak tidak menentu, memburu seakan ia sedang berlari berates-ratus meter jauhnya. Langkah kaki Dirandra mendekat walau rag uke hadapan gadis yang masih membeku.

Dirandra || Harshita ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang