Page Prologue

25 1 1
                                    

-Viccas-

Di sebuah dunia yang terdapat pada urutan atas dari urutan alam semesta ini, sebuah nirvana yang kekal abadi. Tempat di mana para Dewa, malaikat, dan makhluk-makhluk suci tinggal.

Namun kali ini, langit tampak tidak dalam keadaan damai karena sebuah kejadian tak terduga. Pada sebuah kerajaan langit, tempat di mana para Dewa agung singgah, salah satu dari mereka berlutut memohon ampun di hadapan para Dewa tersebut.

"Kau telah berbuat dosa, wahai Dewa hujan." Ucap satu Dewi dari kumpulan itu.

"Saya mengakui." Jawab Dewa yang berlutut.

"Sebagai hukuman, kesepakatan kami adalah menurunkanmu ke bumi. Dan tugasmu mencari seorang pengantin dari keturunan malaikat untuk dibawa kembali kemari sebagai penebus dosa."

"Saya mengerti."

"Saksi kami, menurunkan Dewa hujan sebagai hukuman." Ucap lantang Dewi yang memberi hukuman tadi.

Sebuah cahaya pun menyinari sang Dewa hujan yang dimaksud hingga akhirnya ia menghilang.

(Viccas Side)

Kini aku bisa merasakan ragaku mulai membentuk tubuh untukku. Kerangka tubuh, pembuluh darah, daging, hingga kulit dan organ-organ semuanya mulai melekat padaku.

Setelah semua utuh, aku mulai merasakan kalau tubuh ini terjatuh ke bumi dan tenggelam di sebuah danau.

Aku mencoba menggerakkan tubuhku setelah merasa oksigen mulai bertukar dengan air. Berenang menuju daratan dengan tubuh polosku.

"Ah— Uhuk." Aku mengatur nafas dan mengembalikan udara yang hilang.

Aku melihat sekelilingku. Aku benar-benar ada di bumi. Pemandangan yang kulihat hampir sama seperti di langit sana meskipun langit lebih nyaman dibanding di sini.

"Ah astaga, aku butuh pakaian."

-Annari-

(Annari Side)

Aku percaya hidup ini begitu adil. Tapi kenapa aku merasa kalau aku tidak mendapatkannya?

"Dia terlihat cantik." Kagum seorang siswa.

"Kau menginginkan dia? Kalau aku tidak sama sekali!" Jawab temannya.

"Hah kenapa?"

"Kau tidak tahu? Dia wanita jalang. Katanya dia bekerja di klub setiap malam untuk melayani pria tua mesum."

"Sayang sekali, padahal cantik."

Mereka membicarakanku. Aku mendapat gosip baru lagi setelah kemarin mendapat olokan karena dituduh sebagai pencuri.

Padahal aku sama sekali tidak pernah melakukan itu. Aku tidak pernah berada di luar rumah setiap malam dan tidak bekerja di klub.

"Aku pulang." Aku masuk ke dalam rumah sederhana yang sudah tua ini.

Sekeras apapun berbicara, tak akan ada yang menyambutku.

Aku sendirian. Tidak punya siapapun.

Seseorang pernah bilang padaku kalau orang tuaku mengalami kecelakaan saat aku masih bayi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rupa mereka berdua. Foto mereka pun tak aku temukan di rumah ini. Yang kuingat hanyalah kalung berliontin bulu perak pemberian mereka yang terus melekat di leherku.

Mereka bahkan tak punya saudara lain. Jadi setelah kepergian mereka, aku benar-benar sendirian.

Aku merebahkan diri di kasurku dan memeluk bantal. Disaat seperti ini aku hanya bisa mencoba untuk melupakan semua kejadian hari ini dengan cara menangis sampai aku lelah.

Lalu aku akan tertidur untuk mempersiapkan esok hari yang tak pernah aku nantikan. Hujan deras yang turun malam ini semakin membuat hatiku terkoyak. Entah trauma apa yang membuatku membenci turunnya hujan.

"Tuhan, tolong aku."

-Rhys-

Angin berhembus dengan kencangnya malam ini. Membuat orang-orang segan bahkan sejenak saja untuk keluar dari rumah. Apalagi angin musim gugur mulai membawa musim dingin datang.

Tidak untuk seorang pria yang baru saja keluar dari hutan. Lengkap dengan pakaian dan mantel hitam panjang, juga topi lebar yang hampir menutupi wajah, pria itu mengambil sesuatu pada kotak telepon yang terbengkalai.

"Vivian." ucapnya pelan, ia menoleh kemudian tersenyum, memamerkan lesung pipit di pipi kirinya.

Pria tersebut menyimpan kertas dari kotak telepon itu pada sakunya kemudian berjalan pergi. Di tengah perjalanan, ia melihat seorang wanita yang sedang menunggu di bangku trotoar. Ia terdiam dan sengaja memandang wanita itu hingga wanita itu pergi bersama temannya.

Itu bukan kali pertama pria tersebut melihat sang wanita. Ia juga paham betul pukul berapa dan kemana gadis itu akan pergi.

-Gydra-

Jika di dunia ini terdapat langit dan bumi, rasanya tidak lengkap jika tidak ada tempat di mana semua dosa berkeliaran bebas.

Tempat di mana iblis, setan dan makhluk pendosa lainnya berkumpul dan berpesta. Beberapa mencari makhluk bumi untuk membuatnya jatuh kedalam lautan dosa dan tenggelam selamanya.

Kemudian di sebuah singgahan tertinggi, makhluk yang disebut sang Dewa iblis duduk bosan di tempatnya.

"Kau butuh sesuatu, tuan?" Tanya budaknya.

"Ah, aku hanya bosan. Sudah lama aku tidak melakukan apapun. Kapan ya? 19 tahun yang lalu waktu bumi, kah?" Jawab sang Dewa.

"Apa kau butuh wanita lagi? Atau aku buatkan makanan?"

"Bosan." Ia merubah posisi duduknya menjadi setengah berbaring.

Hingga budak iblis lainnya datang dengan terburu-buru.

"Wahai yang mulia, kita harus melakukan sesuatu!" Ucapnya panik.

"Apa?" Ia membetulkan posisi duduknya.

"Keseimbangan bangsa kita mulai goyah. Kita membutuhkan tumbal manusia hampa lagi untuk menyeimbangkan kembali dunia ini."

Dewa iblis itu tersenyum lebar mendengar berita tersebut. Kemudian ia bangkit dari singgasananya dengan bersemangat.

"Akhirnya penawar rasa bosanku datang." Ucapnya pelan, "Baiklah, demi kejayaan neraka ini, aku yang akan pergi mencari manusia hampa itu."

"Apa kau yakin, tuan? Anda tidak perlu repot— "

"Tutup mulutmu." Ia memotong pembicaraan budaknya.

"Kau berani menghalangi Dewamu ini?"

"Tidak, maaf, tuan."

Gydra kembali tersenyum, "Baiklah, sampai jumpa semuanya."

Ia segera menghilang bagai abu. Lalu datang ke bumi dengan wujud manusia miliknya.

"Ah, sudah lama aku tidak menghirup aroma bumi." Gydra mulai melangkahkan kakinya.

Sebuah kota yang tak pernah tidur itu bahkan tak akan menyadari kalau dua Dewa dari bangsa yang berbeda telah menginjakan kakinya di dunia fana tersebut.

Kemungkinan menakutkan pun tak akan bisa terhindari.

.

.

.

For the Sake of Me (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang