Page 13 (♪)

3 1 3
                                    

Annari membuka matanya ketika suara berisik alarm dari ponselnya berbunyi. Ia mematikan alarm kemudian berusaha untuk bangun. Ia memandang keseluruhan ruangan kamarnya.

Lagi-lagi sunyi.

Ia pun bangkit dan mulai bersiap untuk pergi ke sekolah. Tak ada lagi yang menyiapkan sarapan di dapur, ia hanya makan selembar roti dengan selai coklat kesukaannya.

Dalam lubuk hatinya, ia tak bisa mengelak kalau ia tak ingin kesunyian seperti ini lagi, ia rindu dengan suasana hangat yang Dewa hujan itu berikan padanya.

"Kemana orang itu?" Batin Annari.

Bahkan Mark yang semalam menemaninya tiba-tiba hilang juga. Ia mengira kalau Mark kembali bekerja sebagai malaikat maut, tapi bagaimana dengan Viccas yang sedang dikutuk? Ia tidak mungkin sampai tidak pulang untuk mencari pengantinnya itu. Atau mungkin dia sudah menemukannya dan sudah kembali ke langit? Itukah alasan kenapa hujan turun kemarin malam?

Annari menghembuskan napas, ia pun kembali berjalan menuju sekolahnya. Tempat yang paling enggan Annari datangi.

Walaupun ia tidak punya uang sebanyak itu untuk sekolah, Annari bisa melanjutkannya karena beasiswa hingga SMA, dan ini tahun terakhirnya. Intinya, Annari baik-baik saja dalam bidang akademik, namun ia sangat tidak baik dengan kehidupan sosialnya.

Bahkan saat sampai di sekolah pun, ia sudah dijahili dengan menghilangkan meja Annari.

"Di mana mejaku?" Ucap gadis itu pada teman sekelasnya yang sedang mengobrol. Tidak ada yang menghiraukan. Membuat Annari mendengus kesal.

Ia pergi ke tempat pembuangan sekolah. Ia yakin sekali kalau mejanya akan berada di sana. Dan benar saja, meja beserta kursi itu sudah di coret-coret dan diberi tumpukan sampah basah.

Gadis itu ingin sekali menangis, namun percuma saja jika ia melakukan itu. Tidak akan ada orang yang iba padanya, justru akan lebih menghinanya.

"Kau tidak apa? Sedang apa di sana?"

Annari menoleh pada seseorang yang tiba-tiba bicara padanya. Seorang pria tinggi yang lumayan tampan menghampirinya.

Bukannya tertegun, Annari malah takut dengan sosoknya itu.

"Ah, ini bukan urusanmu." Ucap Annari pelan mencoba untuk menghiraukan.

"Eh? Kenapa?" Pria itu terkekeh, ia pun mencoba untuk membantu Annari membersihkan mejanya.

Namun lagi-lagi Annari menjauh, "Kubilang bukan urusanmu. Permisi."

Selesai membersihkan mejanya, Annari pun mengangkut meja itu masuk kedalam kelas.

"Ugh, kamu menghirup bau sesuatu, tidak?"

"Iya, bau sampah."

"Astaga, tidak sopan sekali membuat kelas ini bau sampah."

"Aku jadi tidak bisa konsentrasi."

Annari mendengus, mencoba menghiraukan semua ocehan mereka. Ia merasa sudah kebal dengan penindasan oleh teman sekelasnya itu. Rasanya aneh kalau mereka tidak melakukan sesuatu untuk menjahili Annari.

Jam pelajaran selesai, waktunya istirahat. Annari berencana pergi ke toilet untuk kembali membersihkan mejanya itu. Namun lagi-lagi, ia bertemu dengan pria yang di dekat tempat pembuangan.

"Namaku Fran. Kalau tidak salah kamu Annari, ya?" Ucap pria itu.

Annari menghiraukan Fran dan mencoba melewatinya, namun pria itu masih belum menyerah dengan menangkap lengan Annari.

"Apa masalahmu? Jangan ganggu aku!" Geram Annari.

Fran mendekatkan mulutnya dekat dengan telinga gadis itu, kemudian berbisik, "Aku tahu rahasiamu."

For the Sake of Me (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang