Page 23

0 0 0
                                    

Satu pekan berlalu. Semakin hari, udara semakin dingin saja karena sudah memasuki pertengahan musim dingin. Semakin dekat dengan musim semi, akan semakin dingin udara yang diberikan. Tak lain itu adalah permainan Dewa.

"Chioni, bagaimana jika Viccas benar-benar tidak kembali?" Tanya Xiri, menghampiri Dewi salju yang sedang memainkan saljunya agar turun ke bumi.

Chioni menoleh tak acuh, "Entahlah, aku sudah melaporkannya pada Dewi Sofia. Lalu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu."

"Wah, bagaimana ini? Bisa-bisa semesta ini binasa jika hujan tidak turun."

"Huhu, aku tidak mau memulai semua ini dari awal. Begitu banyak yang sudah aku lakukan selama ini." Chioni kemudian terisak sambil memeluk lututnya.

"Sebenarnya, apa yang membuat dia dikutuk?"

Alih-alih menjawab, Dewi salju itu memilih untuk menggeleng dan menghentikan obrolan mereka.

Turun ke bumi, Dewa hujan yang sedang dibicarakan itu sedang duduk melamun di tebing kuil. Sebenarnya kuil itu sudah dirubuhkan karena akan di renovasi. Ia amat sangat bersyukur, noda menjijikan bekas pemujaan setan kala itu akhirnya disucikan kembali.

Semalam ia juga beristirahat di sana setelah minum-minum bersama Gydra, walaupun tidak sampai benar-benar mabuk karena sedang tidak berselera. Apalagi mereka berdua mengetahui bahwa kerabat manusia mereka memilih untuk menghentikan waktunya di dunia bersama dengan perempuan yang paling ia cintai dalam pelukannya.

Meski baru sebentar mengenalnya, mereka berdua mengakui kalau pria Rhys itu adalah manusia pertama yang membuat keduanya kagum.

"Wah tuan, kita bertemu lagi."

Panggil suara bocah dari belakangnya. Viccas menoleh dan sedikit terkejut pada bocah yang menghampirinya itu. Seorang bocah gelandangan yang pernah bertemu dengannya, tepat di tempat itu.

"Kau masih mengingatku?" Tanya Viccas sambil tersenyum, ia menyuruh bocah itu duduk di sebelahnya.

"Bagaimana bisa aku lupa dengan rambut putih dan kulit pucatmu itu, tuan. Tapi ada yang berubah, kau lebih lesu. Apa ada masalah?"

"Kau benar, aku punya sedikit masalah yang tak bisa kuselesaikan."

"Begitu, ya? Teman malaikat mautmu tidak bisa membantu?" Bocah itu terkekeh.

Viccas tersenyum kecut, "Hentikan."

"Ceritakan saja, mungkin aku bisa membantu. Kau tahu, waktu luangku lebih banyak dari siapapun."

"Baiklah, mungkin memang satu-satunya yang bisa menolongku adalah bocah sepertimu."

Viccas membetulkan posisi duduknya, sedangkan bocah itu bersiap dengan keluh kesah dari Dewa hujan tersebut.

"Bagaimana menjelaskannya agar sederhana, ya? Pokoknya, aku baru saja membuat seorang gadis menangis. Aku menghancurkan kebahagiaannya, dan aku datang kembali padanya, menuntut padanya untuk menjadi milikku untuk kepentinganku sendiri."

Bocah itu menghentakkan kakinya, "Itu sungguh tidak baik, aku yang bocah seperti ini saja paham!"

Viccas sedikit terkejut dengan sentakan itu, "A-aku tau! Tapi, kalau aku tidak melakukan itu, semesta mungkin akan binasa."

"Begitu, ya? Sungguh malang nasib gadis itu. Tapi tuan, sungguh apa yang membuatmu melakukan hal keji dengan merebut kebahagiaannya?"

Viccas menunduk, "Aku dibutakan oleh bisikan iblis, yang merupakan sahabatku sendiri."

Bocah itu mengangguk paham, "Ini memang rumit. Lagipula aku percaya, iblis adalah sahabat terdekat. Sangat bisa dimaklumi."

"Bagaimana? Apa bocah seperti dirimu bisa membantuku?"

For the Sake of Me (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang