"An! Kenapa kau terus menyayat tanganmu sayang... tolong jangan lakukan itu." Isak Seon Hee ketika memergoki gadis itu sedang gemetar menatap luka di lengannya.
"—Maaf."
Seon Hee memeluk gadis itu erat seakan tak pernah ingin melepasnya lagi. Tubuh gadis itu berangsur damai. Hatinya mulai hangat. Ia benar-benar butuh kasih sayang ini. Bagaimana bisa gadis rapuh seperti dirinya bisa hidup tanpa kasih seperti ini setelah kelahirannya saja layaknya cerita tragis, di mana ia tak pernah sekalipun mengetahui siapa orang tuanya.
Bahkan di umurnya yang menginjak belasan ini, ia sudah mati-matian bertahan hidup.
Pernah sekali ia memergoki seorang pria samar yang merawatnya penuh kasih. Ia tidak pernah sempat mengetahui identitasnya. Namun yang membuatnya bisa bertahan adalah sosok misterius itu.
Dan semua itu tidak bertahan lama.
Kala malam terlalu gulita untuk terlihat, kala kedamaian sudah tak lagi dapat digapai, dan kala kesadaran terlalu sulit untuk di rangkul.
Dia tak lagi memiliki siapapun. Matahari dan rembulan tak mampu menerangi hatinya. Ia putus asa, benar-benar tak ada harapan untuknya.
Setiap malam mimpi buruk melahapnya, setiap saat darah mengalir keluar dari sayatan yang ia buat di kulit putihnya. Ia hidup, namun menjalaninya seperti orang mati.
Tolong aku.
Annari terperanjat dari tidurnya. Yang dia ingat, sebelumnya ia sedang fokus mengerjakan ujiannya hingga tiba-tiba darah segar mengalir dari hidungnya.
Mungkin itulah alasan dia terbangun di ranjang UKS sekolahnya.
"Kau sudah sadar. Jangan banyak bergerak dulu. Nanti kepalamu semakin sakit." Ucap seorang wanita ramah. Ia dokter jaga di UKS itu.
"T-tapi aku sedang ujian."
"Tenang saja, guru yang membawamu bilang kau sudah menyelesaikan hampir keseluruhan soal ujian. Jadi mungkin nilaimu akan tetap aman."
Annari menghembuskan nafas lega. Setidaknya ia ingin lulus dengan layak walaupun kehidupan sosial tidak pernah sedikitpun memberinya kelayakan itu.
"Tapi, kenapa aku ada di sini?" Tanya Annari.
"Sepertinya kau terlalu banyak berpikir dan itu membuatmu mimisan lalu pingsan. Jangan sampai kau stress karena terlalu keras belajar."
"Ah, iya mungkin begitu."
"Istirahat saja. Kau bisa mengikuti ujian susulan nanti."
"Terima kasih."
Gadis itu memijat keningnya, selalu saja mimpi buruk dan ingatan kelam membunuhnya secara perlahan. Seakan sudah kebal dengan semua itu, ia bertahan hidup dengan berbaring pada duri mimpi buruk.
Ia menatap pergelangan tangannya. Terlihat banyak bekas luka sayatan yang sudah sembuh dan beberapa masih jelas berbekas. Baru tersadar ia sudah tidak melakukan hal menyakitkan itu lagi setelah kedatangan Viccas.
Hidupnya mulai berubah, ia mulai mensyukuri setiap napas yang masuk ke dalam tubuhnya. Bahkan ia juga mengenal banyak kenalan setelah bertemu dengannya walaupun bukan manusia, namun setiap kesan yang diberikan sungguh berbekas.
Rasanya ingin menangis bahagia. Ternyata ia tidak benar-benar sendirian di dunia ini. Dan untuk pertama kalinya, ia membuka hatinya setelah membeku sekian tahun lamanya.
Sepulang sekolah, ia tak sabar ingin sampai ke rumahnya. Menyapa seseorang yang baru gadis itu sadari kalau ia begitu berarti untuk gadis itu.
Saking terburu-burunya, ia tidak peduli dengan pagar dan pintu rumah yang di bukanya dengan kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
For the Sake of Me (✓)
FantasyI want you to choose me. For the sake of me. . . [Semua tempat, nama, organisasi, kelompok, dan agama merupakan fiksi]