MINA : FIRST PLACE.

1K 82 11
                                    

Sebelumnya saya jangan ditimpukin ya ( kalau pakai uang ndak apa-apa sih ):) Karena saya datang bawa cerita baru lagi. Tapi saya berjuang untuk konsisten menyelesaikan 3 cerita lainnya. Sebab kisah ini justru idenya datang jauh sebelum Contramande series.

Jika teman2 menyukainya saya tunggu taburan bintang dan cinta kalian ya. :)

WARM&REGARDS

*********************************

"Mina, kamu nggak pulang?" tanya Diksya. Reporter NI-TV sekaligus salah satu teman baru yang kukenal sejak hari pertama bekerja di sini.

Aku menggeleng pelan. "Tanggung nih masih banyak kerjaan"

Diksya tampak ragu-ragu. Melirik jam dinding di dalam ruanganku dan berkata. " Tapi udah jam 22.00 loh. Kamu kan pulangnya naik motor. Bahaya jam segini keliaran sendirian. Ini Jekardah non,bukan kota gudeg" suaranya cemas, meski berusaha meringis agar tidak tampak serius.

"Tenang aja, aku sudah terbiasa kok selama tiga bulan terakhir ini pulang malam, buktinya aku nggak kenapa-kenapa kan sampai sekarang? Selain itu Apartemenku letaknya cuma beda dua blok dari sini" jawabku sambil tersenyum tipis. Berusaha meyakinkan Diksya.

"Ya udah deh kalau kamu ngomong gitu. Pokoknya kalau butuh bantuan telpon aku ya" ujarnya sungguh-sungguh.

Aku mengangguk dan mengacungkan jempolku ke udara. "Beres. Makasi ya Diksya cantik"

Diksya tersenyum jahil lalu segera menutup pintu ruang kerjaku. Setelah merasa yakin sahabatku pergi, aku langsung mendesah panjang seraya meletakkan punggung pada sandaran kursi. Mataku menatap lelah ke arah tumpukan naskah yang harus selesai di edit pagi besok.

Yah inilah resiko sebagai seorang Script Editor. Ada lima acara tv yang kupegang penuh, sebuah kebanggaan sekaligus kesedihan.

Betapa tidak, di kala semua orang sudah bisa pulang ke rumah hangat mereka dan bergelung di atas kasur, aku malah baru menyelesaikan setengah dari pekerjaanku. Rutinitas ini sudah menjadi makananku selama tiga bulan bekerja sebagai pegawai tetap di sebuah perusahaan Televisi swasta Nasional ternama di tanah air.

Namun diluar semua itu aku tetap mensyukuri segalanya,dan bekerja dengan riang karena memang inilah duniaku. Cita-cita sekaligus mimpiku. Menjadi Penulis serta bekerja di dunia Broadcasting sebagai orang yang menciptakan sebuah tontonan berkualitas dan bermanfaat. Aku pandai dalam hal ini, disinilah gairah dah keloyalan hidup kuletakkan. Jadi aku nggak bakal mengeluh.

Lagipula, harus kuakui ada kesombongan tersendiri kala mengenakan seragam ungu muda garis perak berlambang peta Nusantara di dada ini. NI-TV terkenal amat selektif dalam memilih pegawai, mereka sangat jarang membuka lowongan pekerjaan dan juga dinilai amat bagus untuk urusan gaji. Tak heran banyak orang dari dunia pertelevisian mengicar posisi di perusahaan ini. Dan aku berhasil menjadi salah satu bagian dari mereka.

Meskipun harus bekerja di luar batas wajar, namun aku bahagia. Ini duniaku. Dan mereka memberikan penghargaan layak untukku.

Pintu di ketuk dari luar,aku nyaris terlonjak dan berkata. "Masuk"

Sesosok pria bertubuh tinggi ramping, berotot, dengan rambut coklat lurus pendek berantakan, mata biru amat gelap, serta perawakan blasteran. Muncul di ambang pintu.

"Syukurlah kamu masih ada di ruangan" Degha Afanjaya mendesah lega.

Kata orang Ayah Degha orang Jerman-Rusia, seorang ekspatriat. Jatuh cinta dan menikahi Ibu Degha berdarah suku Jawa. Hal itu menjelaskan tinggi badan, warna mata,serta ciri fisik Degha, yang tidak sama dengan orang Indonesia pada umumnya.

(COMPLETED!) FIXING ME.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang