09. Andai Aku Menyukaimu

18.5K 2K 250
                                    


09. Andai Aku Menyukaimu

***

Tommy menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang di tengah turunnya hujan. Jalanan kota malam sedikit padat, namun Tommy masih tetap sabar untuk sampai tujuan. Ia memarkirkan mobilnya di parkiran kelab yang tidak terlalu sering ia datangi. Dengan pakaian serba hitamnya ia berjalan memasuki kelab itu dan mencari teman-temannya. Musik berdentum keras membuat beberapa orang menari dengan santai bersama kelompok-kelompoknya. Setelah menemukan teman-temannya, ia menghampiri salah satu meja di sudut yang terdapat dua orang cewek dan tiga cowok.

"Hey, Bro. Lama juga datengnya," sapa salah satu cowok kepada Tommy.

"Iya, hujan. Biasalah agak macet," balas Tommy dengan kekehan kecil.

"Hey, Tom. Sini duduk." Cewek yang tadi mengirim pesan ke Tommy kini menatapnya dan menepuk sebelahnya, bermaksud untuk menyuruh Tommy duduk di sebelahnya.

"Udah dari tadi di sini?" tanya Tommy yang sudah duduk di sebelah Friska.

"Baru sejam, lah," balas Friska. "Lo lagi senggang, ya? Biasa juga gue ajak ketemuan lo nggak bisa."

"Iya, lagi nggak ngapa-ngapain, sih. Kalo gue nggak bisa ketemu lo itu karena gue ada jadwal kumpul sama anak Fatal."

Friska menganggukan kepalanya mengerti. "Mau minum?" tanyanya.

Tommy melihat gelas berisi alkohol. Biasanya ia akan minum, tapi entah mengapa malam ini ia tidak ingin. Seperti ada sesuatu yang menghambatnya untuk melakukan hal yang biasa ia senangi. Dengan ramah Tommy menolak tawaran gadis itu.

"Nggak deh untuk malam ini."

Friska mengernyitkan keningnya karena Tommy terasa aneh malam ini. "Biasanya lo ngerokok, nggak ngerokok lagi?" tanyanya.

"Masih."

Tommy mengedarkan pandangannya. Ia merasa hampa, tidak ada hal bagus yang bisa dilakukannya di tempat ini. Namun, kebisingan di kelab cukup menghibur dirinya yang kesepian dan penat karena aturan dari ayahnya.

Merasa rambutnya seperti ada yang menyentuh, sontak Tommy menoleh ke Friska yang ternyata sedang memainkan rambut pirangnya. Tangan Friska ditepis pelan membuat gadis itu terkejut sekaligus bingung.

"Sorry, gue nggak suka rambut gue disentuh orang." Tommy berujar menatap Friska lalu menoleh ke depan lagi.

"Oh, sorry, Tom. Gue nggak tahu." Friska membalas ragu dan Tommy hanya diam tanpa mengubris.

Ia merasa aneh dengan dirinya. Yang dapat menyentuh rambutnya biasa hanyalah orangtuanya dan tukang potong rambut langganannya. Teman-temannya saja tidak ia biarkan untuk menyentuh rambutnya. Namun, ia teringat kala di mana Ellen pernah menyentuh rambutnya bahkan menyisirnya untuk merapikan. Ia tersenyum kecil, bukan karena mengingat kejadian itu namun karena tanpa sadar ia telah mengizinkan orang baru untuk menyentuh rambutnya.

Tommy melirik arloji hitam di pergelangan kirinya. Sudah pukul 21.05 malam. Ia berpikir akan pulang satu jam lagi. Bosan. Itulah yang ia rasakan jika tidak Fatal bersamanya. Kini pandangannya melihat ke arah bar kecil sebelah kiri. Kedua matanya berusaha melihat dengan jelas seseorang yang sepertinya ia kenal. Bukan, sepertinya melainkan ia memang mengenalnya.

Tanpa diduga, orang yang ia tatap kini menatapnya dengan tatapan terkejut. Tommy tak melepaskan pandangannya dari gadis yang kini melihatnya. Teman gadis itu menunjuk ke arah di mana Tommy duduk dan keduanya melangkah mendekati.

"Tom, lo di sini juga? Wah, kebetulan banget." Teman Ellen menyapa antusias.

Ellen hanya melihat Tommy dengan diam, tak lupa juga ia menatap gadis yang duduk di sebelah Tommy dengan sebelah tangan di bahu cowok itu. Tampak dekat.

TOMMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang