#01 - Tiga Puluh Hari Mulai dari Besok

3.7K 409 71
                                    

Setelah kejadian itu, Seungcheol baru berani kembali ke rumah dua hari kemudian. Jeonghan menyambutnya dengan berdiri sambil bersedekap. Ia menatap sengit (juga rendah) Seungcheol yang sedang melepas sepatu.

"Oh, Wasseo?" sahutnya tapi dengan nada yang ketus. Dalam hati Seungcheol mencibir. Ia benar-benar tidak suka nada bicara Jeonghan. Tapi kalau tidak mau sumpit yang sedang di pegang Jeonghan tertusuk ke matanya, Seungcheol memilih diam.

"Eum." Seungcheol setidaknya bergumam. Jeonghan berbalik meninggalkan Seungcheol untuk membalik daging yang sedang ia panggang. Bau daging itu membuat perut Seungcheol meronta minta di isi. Seungcheol segera mandi dan berganti baju. Rumah tampak sepi. Seungcheol tahu mereka pasti sedang di titipkan di suatu tempat. Jeonghan selalu melakukannya kalau hubungan mereka sedang tidak baik. Dengan begitu mereka bisa bertengkar sesuka hati tanpa harus menahan diri.

Mungkin Seungcheol terlalu berharap banyak. Iya, mungkin alkohol dan kemaluan wanita murahan sudah merusak akal sehatnya sampai ia berpikir istri yang sudah memergokinya selingkuh akan memberikannya lauk daging panggang. Seungcheol hanya bisa menatap nanar Jeonghan yang dengan lahap menyuap daging berbungkus daun selada lalu menyuap nasi. Sementara dirinya hanya disediakan semangkuk kecil nasi juga sebiji telur mata sapi.

Seungcheol menjilat ludahnya sendiri. Ia sesekali melirik daging panggang milik Jeonghan. Jeonghan yang menyadari hal itu langsung menarik piring dagingnya menjauh dari Seungcheol. Seungcheol mendecak. Ia pun mengumpulkan semangatnya sendiri.

"Terlalu banyak makan daging juga tidak baik, bisa kena hipertensi." kata Seungcheol dengan kasar menyuap makanannya. Tapi Jeonghan menganggapnya angin lalu. Jeonghan menyelesaikan makannya dengan cepat. Lalu meninggalkan cucian piring begitu saja. Ia tidak mengatakan apa-apa kemudian masuk ke kamar.

Sementara Seungcheol berjuang menyikat teflon yang penuh lemak daging dan mengeras, Jeonghan mengeluarkan sebuah selimut dan bantal, juga sekoper pakaian milik Seungcheol. Seungcheol ternganga begitu melihat barang-barang tersebut di ruang tengah. "Sofa itu terlalu kecil untuk aku tiduri!" protes Seungcheol.

"Dada perempuan itu juga terlalu kecil tapi kau masih bisa menidurinya!" Sahut Jeonghan berhasil membuat Seungcheol mengerucutkan bibir.

"Tapi,"

"Kalau kau tidak suka tidur di sofa, masih ada kamar pembantu." kata Jeonghan menunjuk pintu yang ada di belakang dapur dengan dagunya. Yang dimaksud Jeonghan kamar pembantu itu adalah lain tidak lain adalah gudang. Karena mereka sudah lama tidak mempekerjakan pembantu rumah tangga, kamar kecil itu kini dipenuhi barang-barang tak terpakai. Pakaian-pakaian bayi misalnya. Dan di sana memang ada satu kasur kecil yang entah kapan terakhir diganti spreinya. Seungcheol menatap sofa dan pintu gudang bergantian. Jeonghan bersedekap di ambang pintu kamar sambil menatapnya sinis.

"Eish!" kesalnya meraih selimut, bantal, juga koper besar itu. Jeonghan akhirnya berbalik dan menutup pintu.

"Penyihir!" bisik Seungcheol di depan pintu kamar.

"Aku bisa mendengarmu pak tua genit." sahut Jeonghan. Seungcheol semakin sebal tapi ia hanya bisa bungkam sebelum disiksa lebih gila oleh yang mulai Yoon Jeonghan.

. . .

Seungcheol terbatuk-batuk ketika ia menarik kain penutup ranjang. Serangga-serangga laknat membubarkan diri ketika Seungcheol melempar kain itu ke sudut ruangan. Ia menatap sebal ruangan itu. Harga dirinya benar-benar direndahkan sampai ia harus tidur di tempat mengerikan seperti ini.

"Setidaknya lebih baik daripada sakit punggung di sofa." Seungcheol menghibur diri. Ia kemudian membenarkan letak bantal dan berbaring di sana. Seungcheol menatap langit-langit yang banyak jaring laba-labanya.

Eomma, Fighting!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang