#04 - Memendam Itu...

2.6K 279 42
                                    


Jisoo buru-buru memasang blazernya ketika mobil yang dikendarai supirnya sampai di depan pintu. Para jejeran direksi sudah menunggunya. Serentak mereka langsung membungkuk sopan saat Jisoo turun dari mobil. Jisoo menegakkan punggung berjalan membawa wibawa dan senyuman manisnya. Ia tersenyum pada setiap karyawan yang bertemu tatap matanya. 

Karyawan-karyawan wanita otomatis meleleh dibuatnya. Siapa yang hatinya tidak terhuru-hara kalau disenyumi oleh pria tampan nan manis nan sukses semacam Jisoo? 

"Wanita yang akan menjadi istrinya kelak adalah wanita paling beruntung di dunia." bisik salah seorang karyawan pada temannya. Si teman mengangguk setuju. 

"Tepat, dan aku punya firasat kalau wanita beruntung itu adalah aku. Oh, osseo osoyo Sajangnim," ucapnya merunduk sopan.  Jisoo mengangguk. 

"Kau sudah sarapan?" si wanita tadi bergeleng manis.  Sementara temannya yang berbisik menatap Jisoo tanpa berkedip juga mulut ternganga. 

"Kau harus sarapan, agar bisa bekerja dengan baik,  aku ke atas dulu." pamit Jisoo meninggalkan senyuman tipisnya. Kedua wanita itu semakin terjerat pesonanya.  Yang dipesani sarapan tadi menjerit tertahan.  

"Ku bilang juga apa! Akulah si wanita beruntung itu," katanya membuat temannya mencibir iri.  

"Jangan terbang terlalu tinggi, nanti jatuhnya sakit!" sergah temannya itu.  Sementara itu, Jisoo menghela napas ketika dirinya sendirian di dalam lift. Masih pagi dan ia sudah merasa lelah. Pada dasarnya ia tidak suka datang kesini. Ia tidak suka pergi ke kantor.  Karena itu ia berpesan pada sekretarisnya bahwa ia hanya akan mengunjungi kantor dua kali sebulan.  

Bekerja dari rumah lebih menyenangkan dan menenangkan. Ia tidak perlu berpakaian rapi. Ia bisa mengerjakan pekerjaannya sambil duduk di kasur atau bersantai di balkon kamarnya.  Jisoo menguap. Dan ia bisa tidur kembali jam segini.  

Lift berdenting. Kalau saja tidak ada rapat penting dengan perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaannya,  Jisoo tidak perlu repot-repot datang ke kantor. Para jejeran direksinya kembali berjalan mengikuti Jisoo. Seokmin, sekretaris pribadinya langsung menghampiri dengan tablet di tangan. Ia menggiring Jisoo ke ruang rapat.  

"Mereka sudah menunggu." kata Seokmin. 

"Sudah lama?" 

"Baru datang." jawab Seokmin.  Jisoo mengangguk dan Seokmin membukakan pintu untuknya.  Beberapa orang yang ada di dalam ruang rapat itu langsung berdiri. Mereka adalah perwakilan dari perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaan Jisoo.  

Lebih tepatnya mereka yang mengajukan permintaan kerja sama itu. Sepenting ini urusan bekerja sama dengan perusahaan Jisoo sampai-sampai presiden direkturnya sendiri yang datang. Ia berdiri paling depan dengan perutnya yang buncit itu tersenyum bahagia melihat Jisoo.  

"Tuan Hong, suatu kehormatan bertemu orang muda dan hebat seperti anda." katanya menjabat tangan Jisoo. Jisoo mengangguk sopan. 

"Anda berlebihan tuan Lee, justru saya yang merasa terhormat bisa bertemu bos besar dari dunia telekomunikasi." ucap Jisoo balas menyanjungnya tambahan untuk basa basi.  Jisoo melepas jabatan tangannya dan beralih pada seseorang yang sejak tadi berdiri membeku ketika melihat Jisoo masuk ke dalam ruangan. 

"Tuan Choi? Lama tidak berjumpa." sapa Jisoo mengulurkan tangannya.  Tuan Choi yang ia panggil tidak lain tidak bukan adalah Choi Seungcheol. Seorang bawahan dari Tuan Lee yang buncit itu. Di sini posisinya Hong Jisoo setara dengan Tuan Lee. Atau bahkan lebih. Disitulah Seungcheol mencoba menelan ludah. 

Selama ini ia selalu meremehkan Jisoo. Tidak pernah terbesit di pikirannya bahwa Jisoo akan membangun kerajaan bisnis yang dulu hanya ada di dalam mimpi dan pikirannya.  Lihat dia sekarang, dengan senyuman menjatuhkan dirinya mengulurkan tangan. Seungcheol perang dengan dirinya sendiri. Antara menjabat tangan itu berpura-pura tidak ada yang terjadi demi kelangsungan karirnya atau tetap menjaga harga dirinya dengan menolak jabatan itu. 

Eomma, Fighting!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang