#13 - Maafkan Eomma

2.6K 307 41
                                    

Satu nada sambung. Dua nada sambung. Tiga nada sambung. Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Tidak ada yang tersambung. Jisoo diam. Ia menatap ponselnya dingin. Itu sudah panggilan kesekian puluh hari ini. Sudah beberapa hari ia tidak bisa menghubungi Jeonghan.

Jisoo segera menekan interkom di mejanya. "Cepat ke ruanganku." titahnya. Dalam hitungan detik, Seokmin masuk ke ruangan. Siap seperti biasa.

"Apa kau sudah menemukannya?" tanya Jisoo. Seokmin menunduk dengan tatapan tidak fokus. Keringat dingin mengalir di keningnya. Jisoo hanya menatapnya datar. Namun, tatapan itu artinya adalah tanda bahaya.

Jisoo berdiri. Ia mengitari Seokmin sambil mencoba menatap matanya. Seokmin berusaha menelan ludah. "Terakhir aku melihatnya di stasiun kereta." kata Seokmin.

"Lalu?" Jisoo berhenti di hadapannya.

"Setelah itu aku kehilangan jejaknya." Jisoo menghela napas lelah.

"Lalu? Kau masih bisa berdiri di sini?" tanya Jisoo. Seokmin membungkuk lebih dalam.

"Sajangnim, saya akan segera kembali membawa informasi yang lebih akurat." katanya. Jisoo lalu terkekeh.

"Aku sudah tidak menginginkan itu," katanya mengibaskan tangan. Lalu ia menatap ke arah lukisan bidadari yang tergantung di tengah-tengah ruangannya. "Aku yakin seseorang pasti sudah meracuni pikirannya, padahal tinggal selangkah lagi ia akan kembali menjadi milikku," Seokmin hanya diam menatap belakang kepala bosnya.

"Sudah belasan tahun aku menahan diri, kali ini kalau ia tetap keras kepala..." Jisoo mengepalkan tangannya. Lalu ia menoleh pada Seokmin dan menyeringai, "Kalau dia tidak bisa jadi milikku, maka dia tidak akan bisa menjadi milik orang lain, tidak terkecuali Choi Seungcheol."

Seokmin merasakan kegilaannya. Kalau saja ia tidak berhutang nyawa dengan Jisoo, ia pasti sudah lama meninggalkan kantor ini. Itupun kalau ia bisa pergi. Ia sudah terlalu banyak tahu rahasia-rahasia gelap Hong Jisoo. Tidak akan ada yang menyangka kalau pria dengan senyuman manis ini, hanyalah seseorang yang mentalnya terganggu.

Seokmin hanya bisa berdoa untuk keselamatan dirinya sendiri.

. . .

Doyoon sekali lagi melirik jam tangannya. Ketika ia mengangkat kepala, sesosok wanita dengan potongan rambut sepanjang telinga mengambil tempat di depannya. "Maaf aku terlambat." ucapnya dengan napas tersenggal.

Doyoon menatapnya. Ia tampak berbeda dari terakhir Doyoon lihat. Tulang pipinya terlihat semakin menonjol. Kulitnya semakin pucat pula. Doyoon tidak melihat adanya semangat. Hanya kesedihan dan putus asa yang terlihat di diri Jeonghan. Mendadak rasa penyesalan menghinggapi hati Doyoon.

Meskipun begitu, Doyoon tetap melihat sorot kebencian itu di mata Jeonghan. "Jadi," Jeonghan membusungkan dada. "Apa kau bertemu denganku untuk memberitahu perkembangan hubunganmu dengan Seungcheol? Kalau iya, aku buang-buang waktu saja." ucapnya sambil tersenyum.

Doyoon terkekeh pelan lalu menyesap tehnya sedikit. "Tidak, tidak, aku datang ke sini justru untuk meminta maaf..." kata Doyoon. Pupil mata Jeonghan membesar setelah mendengar ucapan santai Doyoon. Keduanya bertatapan sejenak, Doyoon pun tersenyum tipis. Kemudian ia mulai menceritakan bagaimana Jisoo mulai mempengaruhinya dengan keadaan rumah tangga Jeonghan. Segalanya ia tumpahkan, tanpa sisa, tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Sepanjang mendengar cerita Doyoon, Jeonghan hanya menatapnya lurus. Tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya. Selesai Doyoon bercerita, Jeonghan tersenyum miris. "Aku tahu kalau ia memang berusaha menjauhkanku dari Seungcheol, tapi aku tidak menyangka dia sampai melibatkanmu."

Eomma, Fighting!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang