Seungcheol melonggarkan dasinya dengan gusar. Ia juga membuka pintu kedai dengan kasar. Meski agak takut, barista yang ada di balik konter tetap menyapanya sopan. Belum sempat pria muda itu membuka mulutnya, Seungcheol sudah tegas menyebutkan pesanan.
"Espresso double shot." melihat suasana hati Seungcheol sedang tidak baik maka sang barista meng-iya-kan langsung permintaan Seungcheol. Seungcheol mengeluarkan uang dari dompetnya dengan kasar setelah barista itu menyebutkan jumlah yang harus dibayar. "Kalau suasana hati buruk harusnya ke bar atau kedai soju saja kan?" gumam barista itu sambil membuatkan pesanan Seungcheol.
"Aku sudah berjanji untuk tidak mabuk-mabukan sampai lima belas hari kedepan." sahut Seungcheol menatap punggungnya tajam. Barista itu mendesis menyesal. Telinga bapak satu itu ternyata tajam juga.
"Ini, silahkan." ucapnya berusaha selembut dan sesopan mungkin. Seungcheol menerimanya tanpa mengucapkan terima kasih. Barista itu pun hanya bisa menyabarkan diri.
Akibat masih tergesa-gesa, Seungcheol menyenggol seorang wanita yang baru masuk ke dalam kedai kopi. Kopi di tangannya tersenggol dan sedikit terciprat ke luaran yang dikenakan wanita kantoran itu. Seungcheol hampir membentak wanita itu dan menyalahkannya karena berjalan tidak lihat-lihat. Tapi ia segera mematung setelah melihat wajah orang yang ditabraknya.
"Ah, maaf aku terlalu sibuk dengan ponselku tadi, apakah kopimu tumpah? Biar aku ganti." kata wanita itu tanpa melihat Seungcheol sebab ia masih sibuk membersihkan blazernya dari noda kopi.
"Jang... Doyoon?"
"Bagaimana kau tahu nama-" Wanita itu terdiam menatap Seungcheol. Jelas laki-laki di hadapannya ini tahu namanya. Memori belasan tahun yang lalu pun berputar seperti film di kepala masing-masing. Sejenak bumi seakan berhenti berputar. Waktu pun membeku.
Di dunia ini ada dua hal yang paling sulit untuk dilupakan. Yang pertama adalah kenangan pahit dan kedua adalah, cinta pertama.
. . .
Daegu, 2005
Pada waktu yang ini, Seungcheol masih bukan apa-apa. Dirinya tidak lain hanya seorang pemuda sederhana yang hidup mengikuti nasib. Bukan mengejar nasib. Bahkan di tahun ketiga SMA, Seungcheol masih tidak tahu mau jadi apa dirinya nanti. Menurutnya, semua itu percuma. Kalaupun ia bermimpi untuk kuliah di Seoul, orang tuanya tidak sanggup untuk membiayai. Ayahnya hanya seorang pekerja pabrik. Seperti masyarakat Daegu kebanyakan.
Tetapi, ada satu yang membuatnya mulai berpikir. Semua bermulai ketika cinta pertama dan yang selalu didambakannya menjadi cinta terakhirnya itu mengucapkan satu kalimat singkat, "Aku akan kuliah di Seoul."
"Kenapa?" hanya itu reaksi yang dikeluarkan oleh Seungcheol. Maksud Seungcheol, kenapa harus di Seoul? Kalau mau kuliah, bukannya di Daegu juga banyak universitas?
"Di Seoul itu berbeda, kau tahukan, segala kehidupan ada di sana." Jang Doyoon berucap sambil memandang lurus ke arah deretan pabrik. "Tidak seperti di sini, membosankan." Seungcheol mengerutkan kening. Ucapan Doyoon memang benar. Kota ini lumayan membosankan. Tapi ini tanah kelahirannya, kampung halamannya, keluarganya semua ada disini.
"Cheol, Apakah kau pernah membayangkan akan seperti apa kita lima belas tahun yang akan datang?" jawaban Seungcheol pastilah ia akan menikah dengan Doyoon, punya anak laki-laki dan perempuan, sementara Doyoon mengurus rumah ia akan bekerja di pabrik. Namun, sebelum Seungcheol menjawab, Doyoon melanjutkan.
"Kalau aku melihat diriku lima belas tahun yang akan datang, aku sudah mengelilingi banyak negara, bertemu banyak orang dan mengumpulkan banyak cerita, lalu aku juga akan memiliki perusahaanku sendiri. Semua orang akan tunduk padaku lalu memanggilku 'Jang Daepyo' begitu, kalau kau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eomma, Fighting!
Фанфик[Complete] Seventeen Fanfiction //// Jeonghan tidak tahan lagi menghadapi suaminya yang genit itu. Sayangnya dia harus bertahan demi kedua anak mereka. Demi keutuhan keluarga mereka. Ketika surat itu melayang di hadapannya, disodorkan oleh Seungcheo...