***
Tidak ada yang bisa menebak dengan pasti; dengan siapa, kapan dan bagaimana kita akan menjatuhkan hati kita. Menepisnya? Coba saja. Menerimanya? Sepertinya itu lebih masuk akal.***
Jalanan begitu sesak sore ini. Dari dalam kemudiku, kulihat lelaki dan perempuan sedang bercengkrama di atas kuda besinya, entah apa yang sedang dikatakan sang lelaki hingga membuat si perempuan itu terlihat kesal dan memukul punggungnya. Kemudian, lelaki itu tertawa, terlihat dari punggungnya yang bergerak.
Ketika kuarahkan pandanganku ke sisi lain, hal yang tak jauh berbeda tertangkap oleh penglihatanku, muda mudi yang sedang bercakap-cakap -membunuh kebosanan si merah yang tak kunjung berubah warna. Ah, aku baru ingat jika ini adalah sabtu sore. Pantas saja jalanan dipenuhi dengan aura merah jambu.
Aku tersenyum kecil entah mengapa. Tiba-tiba bayanganmu melintas begitu saja. Ada apa denganku? Apakah pertemuan pertama itu sudah mulai meracuniku? Dan aku penasaran apa yang kau pikirkan tentangku.
Sembari menunggu lampu hijau itu, kunyalakan melodi pada frekuensi favoritku -melepas penat setelah bergumul dengan pekerjaan harianku. Mulai bernyanyi dan menikmati sabtu sore yang cerah meski tanpa seorang yang spesial. Bukankah bahagia itu sederhana? Sesederhana mengucapkan rasa syukur dan berbagi senyuman. Apa aku tak kesepian? Apa aku tak ada keinginan untuk memiliki kekasih atau semacamnya?
Aku tak pernah merasa kesepian atau membutuhkan sosok lain untuk sembuh dari sayatan terakhir yang masih membekas. Luka yang diberikan oleh Raja itu masih bisa kurasa, dan lagi -aku memiliki sosok yang biasa kusebut dengan teman-teman untuk membunuh rasa sepiku. Meski mereka semua sudah memiliki belahan hatinya masing-masing. Namun, kami masih satu dalam takma.
Tak lupa, keluargaku yang selalu mendukung setiap langkahku, ibu dan kakak-kakakku yang kesemuanya berjenis kelamin lelaki. Mereka menjadi penopang terbesarku untuk selalu semangat dan tak mengenal apa itu kesepian. Akan tetapi, kehadiranmu menambah warna dalam lorongku. Selamat pagi yang kau usung dengan hanya sebuah 'Hei' mulai menjadi hal yang aku tunggu di sudut-sudut tertentu. Ah, apakah aku baru saja mengatakan jika 'Hei-mu' menjadi hal yang aku tunggu? Oh, Tuhan, pikiranku sudah mulai hilang kendali jika iya.
Apa yang sebenarnya kurasa aku juga tak tahu. Yang aku tahu; aku mulai suka berinteraksi denganmu. Padahal tak ada yang istimewa dalam setiap pembicaraan kita. Bertemu denganmu dengan perantara aksara sudah lebih dari cukup untuk membuatku tersenyum sendiri. Meski aku yang lebih banyak menarik topik sebagai bahasan, dan itu menjadi keabu-abuanku tetiba. Ada apa denganku? Kupikir aku sudah mematenkan diriku sebagai penjawab pasti, tapi kenapa denganmu menjadi berbeda? Seolah aku ingin menahanmu untuk tetap bersamaku lewat aksara yang coba kurangkai dengan sedikit kepayahan.
Apa yang kau miliki? Sehingga aku dengan bodohnya mengganti peranku untuk seorang 'kamu' yang masih baru untukku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
28.800 DETIK
RomanceJika 'aku rindu' saja sudah tak kaupercaya. Bagaimana jika 'aku cinta' mendarat tepat di dadamu? Menghilang bukan berarti melupakan, hanya saja spasi kita butuhkan untuk saling memahami. Membisu bukan berarti tak memedulikan, hanya saja diam lebih t...