***
Semakin kucoba untuk melupakan, semakin kuat rasa itu bertumbuh. Jadi, tetaplah di sana jika itu maumu. Biarlah waktu yang mengantarkanmu kembali tanpa perlu kusiksa hati.Ini adalah hari ke sekian aku merindukanmu.
***
Aku tak ingat dengan pasti kapan pertama kali kau menyapaku. Dalam ingatanku hanya ada 'selamat tinggal' darimu yang tersisa. Seperti halnya mimpi, kau adalah yang tergila. Aku tak sedang membual, jangan berdecih. Jika kukatakan kau adalah yang terindah, itu baru bualan. Kau tidak seindah itu. Aku memang lebih suka menyebutkan gila untukmu. Sebab yang indah hanya ilusi, hanya imajinasi, dan dirimu tidaklah begitu. Kau nyata, meski tak bisa aku menyentuhmu, setidaknya kau hadir dalam rasaku, menjelma menjadi sebuah estetika dan mendekam dalam lara.
Hariku tanpamu biasa saja. Tak ada hal yang aku tunggu setiap pagi atau tengah malam untuk sebuah 'hei'. Melakukan repetisi harian seperti ketika dirimu belum hadir, mengenyangkan dunia dan berimajinasi. Bedanya, kaulah yang menjadi sumber imaji dalam setiap lembar coretan abstrakku. Semestaku masih berputar dengan namamu. Kerinduan yang sembunyi-sembunyi justru menyiksa untuk tak pergi. Menciptakan ruang tersendiri agar tak ada yang bisa mengusiknya— termasuk logika milikku.
Untuk pertama kali dalam tidurku. Kau hadir, bersama kibaran rambut dan mata kesukaanku. Namun, tak ada senyum kecil di sana. Kau hanya membatu dan memandangku. Dalam dunia nyata, aku tak paham arti diammu. Dalam mimpi pun aku hanya bisa menjawabmu dengan sama diamnya. Aku cukup bodoh untukmu dan bahasamu. Jadi, tidak bisakah kau memberiku sedikit saja petunjuk? Ini bukanlah permainan. Kenapa kau masih saja suka menyiksa? Kendati demikian, terima kasih telah hadir dalam mimpiku. Meski aku lupa apa yang terjadi selanjutnya.
Semenjak kepergianmu, ada beberapa 'hei' yang singgah di jembatan biru. Mencoba menyapa dan memasuki duniaku. Namun, kuasamu masih saja berjaya. Ketiadaanmu tidaklah berarti meniadakanmu. Kau masih sama—pemilik hatiku. Jadi, bagaimana bisa aku menikmati 'hei' mereka sementara keberadaanmu masih mendominasi. Mencoba melupakanmu adalah hal yang tak ingin kulakukan. Biarlah kau tetap ada di tempatmu berada. Sebab 'mencoba' itu adalah sebuah usaha, sementara hatiku tak ingin mengusahakannya.
Aku tak tahu sejak kapan rasa ini mulai menyusup ke dalam ruangku. Kapan aku jatuh padamu atau kenapa aku tiba-tiba merasa patah karenamu. Aku tak punya jawaban untuk itu. Jadi, jangan tanyakan apa pun tentang itu. Bahkan untuk kenapa harus dirimu. Waktu yang telah mengantarkanmu padaku, ia pula yang akan memulangkanmu entah pada siapa. Soal apa-apa yang masih tertinggal dalam ruangku, biarlah menjadi milikku. Aku masih menikmatinya. Di titik inilah kalimat 'Cinta itu menyebabkan menjadi bodoh' berperan. Ya, bodoh karena diri sendirilah yang mengurung nestapa itu untuk tinggal. Padahal logika sudah berteriak untuk sadar, tapi ... menikmati kehilangan dan kerinduan masih menjadi pilihan.
Bukan salahmu jika kesakitan ini masih menancap. Bukan juga salah waktu yang telah menghadirkanmu padaku. Salahkan saja aku yang tak bisa mengendalikan diri untuk tak merindukanmu. Salahkan saja aku yang masih saja mengendap-endap memikirkanmu. Salahkan saja aku yang tak bisa jujur kepadamu tentang apa yang kupunya untukmu. Salahkan saja aku yang memilih jalan pengecut untuk menyelamatkanmu. Salahkan saja aku ....
Jika diberi pilihan. Pilihanku tetaplah sama—dirimu. Hanya saja, pintaku; semoga kau hadir lebih dulu dari apa pun yang menghalangi. Hadir lebih lama untuk mengukir sejarah kehidupan bersama, dan hadir lebih keras kepala untuk tetap mempertahankanku di sisimu. Akan tetapi, bisakah takdir itu berubah? Aku memiliki rasa yang hebat untukmu tapi ketika dihadapkan oleh sebuah konsekuensi, pilihanku tak sehebat itu. Nyaliku tak cukup kuat untuk tetap berada di dekatmu. Kau membuatku ragu, seperti apa hatimu padaku. Seolah hanya ada ejekan ketika pertanyaan 'apa kau merindukanku?' terucap dari bibirmu. Egoku tak cukup terbiasa dengan sebuah ejekan. Ia selalu punya cara untuk berjaya, tapi ... lagi-lagi ia tak bekerja dengan baik ketika sedang bersamamu.
Seperti remaja yang sedang kasmaran, aku masih suka berlama-lama ketika membaca pesan-pesanmu. Melihat dengan seksama, siapa tahu ada maksud tersembunyi dari setiap ketikanmu. Menerka-nerka apa ada hal rumit yang kau sembunyikan dariku untukku.
Untukmu pemilik senja ....
Semua masihlah sama, di tempatnya.
Rasaku tetaplah cinta.
Kesukaanku tetaplah mata.
Doaku tetaplah baik-baik saja.
Hanya satu hal yang tak sama.
Kerinduanku yang semakin meraja.
KAMU SEDANG MEMBACA
28.800 DETIK
RomanceJika 'aku rindu' saja sudah tak kaupercaya. Bagaimana jika 'aku cinta' mendarat tepat di dadamu? Menghilang bukan berarti melupakan, hanya saja spasi kita butuhkan untuk saling memahami. Membisu bukan berarti tak memedulikan, hanya saja diam lebih t...