***
Sebesar rasa tanpa namaku kepadamu, sebesar itu pula luka yang akan kudapat pada akhirnya.***
Ketika kubuka gubug hijauku, hal pertama yang kusukai sejak mengenalmu adalah mengajak jempolku untuk mencari namamu dalam barisan cerita hari itu. Dan saat mataku menemukannya, segera kupuaskan rasa inginku untuk mereguk dahagaku akan apa-apa yang sedang berada di kepalamu. Biar kuingat dulu ... ada salah satu ceritamu yang kau tulis seperti ini;
Kau seperti candu yang mengalir dalam darahku.
Ketika aku melihatnya, makhluk kecilku seperti berada di musim semi; hangat dan berbunga. Padahal kutahu jika dirimu tak sesederhana itu dalam mengolah kata. Entah apa yang kau maksud dan untuk siapa kalimat itu, hatiku dengan percaya dirinya sudah berbahagia lebih dulu. Lihat, kan? Betapa pecicilannya ia? Selalu bergerak lebih dulu dari pada logikaku yang entah saat itu sedang tenggelam di mana.
Sapaanmu selalu kutunggu di setiap pagiku, tak ada yang lebih menyenangkan dari pada bertukar sapa denganmu sebelum kumulai repetisi harianku - mengenyangkan dunia. Dan pada pagi yang ke sekian itu, jantungku yang sebelumnya naik turun karenamu, menjadi berhenti seketika. Tak hanya itu, mataku bahkan tak percaya pada apa yang kulihat saat itu. Seolah aku sedang bermimpi karena halusinasiku yang cukup kuat menginginkan hal itu terjadi, aku berusaha keras untuk terbangun dari mimpi yang berada di mimpiku.
Aku tak akan melakukan ini jika tak merindukanmu.
Baiklah, jika itu orang lain yang membacanya, kupastikan mereka akan mengatakan dirimu hanya seorang pembual. Apalagi jika si gila yang kusebut teman sebarisanku itu mengetahuinya. Beruntung aku tak menyebutkan hal semacam itu padanya, jika tidak? Celakalah aku dalam rasa malu.
Kau merindukanku? Benarkah?
Itu kali pertama kau membuat semestaku berhenti bergerak. Seolah berada dalam cuplikan sebuah film dengan efek slow motion, aku hampir menjatuhkan seluler karena itu. Berpikir jika ada yang tak beres dengan mata atau halusinasiku yang terlalu kuat, tapi beberapa kali kulihat, kalimat itu memang benar, hingga mungkin kau tak sabar akan jawabanku dan segera mengetuk gubuk hijauku untuk bertandang dan melihatku. Dan kali itu aku benar-benar menjatuhkan selulerku ketika wajahmu sudah mengintipku di jendela gubukku.
Lucifer, kau benar-benar membuatku tak bisa bernapas dengan benar. Lakumu selalu menggiringku ke dalam dunia fantasi. Dunia yang biasanya kuciptakan untuk para pangeran, kini menjeratku. Aku si pencipta sementara dirimu sang pencipta. Tidak! Jangan salah paham! Aku tak sedang menyamakanmu dengan-Nya. Tuhanku bukan ilusi, sementara dirimu? Begitu memabukkan hingga kulupa cara sadar akan efek yang kau taburkan padaku.
Dunia yang kubuat tak seluas ciptaanmu. Dunia yang kubangun tak serumit bangunanmu. Apakah hanya karena aku adalah obyek dan kau subyeknya? Jadi aku merasa aku tak tahu jalan pulang? Sementara kau bisa melihatku dengan leluasanya; tanpa sekat, tanpa susah.
Kau selalu punya cara untuk membuatku tinggal. Hingga aku kehilangan kesadaran dan tenggelam dalam duniamu. Meski begitu, efek yang kau timbulkan memacu hariku menjadi lebih berenergi, lebih bervolume, dan lebih lebih lainnya lagi. Aku takut, karena kapasitas rasa tak bernama itu tak berbatas dan semakin meluas. Karena di sela-sela kesadaranku, aku tahu jika sebesar gelora yang kuciptakan sekarang, sebesar itu juga luka yang akan kudapat pada akhirnya. Jadi, bisakah kau tak membuatku gila memikirkannya? Ketakutanku kehilanganmu sudah mulai merasuk dalam kesadaranku, dan aku tak mau itu terjadi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
28.800 DETIK
RomanceJika 'aku rindu' saja sudah tak kaupercaya. Bagaimana jika 'aku cinta' mendarat tepat di dadamu? Menghilang bukan berarti melupakan, hanya saja spasi kita butuhkan untuk saling memahami. Membisu bukan berarti tak memedulikan, hanya saja diam lebih t...