***
Bukan ritmeku yang tak beraturan. Dirimu yang mulai membatasi ruang bermain kita***
Neo, putra mahkota dalam kerajaanku, pengganti sang sultan yang sudah kembali kepada Sang Pencipta untuk melindungiku. Hampir setengah abad bernapas di mayapada. Pecinta keindahan sepertimu, berjiwa bebas, dan pengembara sejati, sebelum masa membuatnya harus tertahan di kerajaan untuk meneruskan kepemimpinan dan menjaga ibunda kami yang sudah sampai di senjanya saat ini.
Kau tahu? Saat kau menceritakan sedikit kisah tentang duniamu, ingatanku seketika terkoneksi kepada putra mahkota. Tak ayal, aku pun memperkenalkan sang putra mahkota kepadamu lewat ketikanku, dan kau tertarik untuk mendengar kelanjutannya. Bukankah dunia itu sempit? Mungkin aku mengenalnya, katamu saat itu. Aku mengiyakan, mungkin saja.
Ketika dirimu membawa paragraf yang tak kumengerti, aku berlari kepada Neo, dan kau tahu apa? Putra mahkota itu menjatuhkan rahangnya karena tetiba putri gila ini mengetuk pintu yang tak pernah dimasukinya. Bak seorang guru besar kepada anak asuhannya, Neo menjelaskan dengan baik perihal dunia kalian, dan aku mendengarkan dengan seksama. Kemudian dia berkata kepadaku, sejak kapan putri sultan ini memasang mata pada duniaku? Sepertinya akan ada paragraf selanjutnya untuk dibahas di kemudian hari.
Aku terdiam, tapi dalam hati aku berbicara, sejak aku mengenal si gila yang itu adalah dirimu, dan benar saja, paragraf itu tak cukup hanya dalam satu kisah, di kisah-kisah berikutnya aku masih berguru pada putra mahkota - demi menyinkronkan diri denganmu, itulah caraku, dan berhasil! Kau maju selangkah untuk mengenalku.
Namun, ketika aku memasuki area abu-abumu, kau tampak tak acuh. Tak menjawab apa yang menjadi tanda tanyaku, meski kutahu itu bukan hal yang penting. Mungkin aku belum cukup layak untuk menjelajahi ruangan itu. Tak mengapa. Selain pembahasan mengenai duniamu yang masih belum banyak aku mengerti, kau tak pernah menunjukkan sesuatu yang berarti lagi, tak seperti saat kita masih berada di jembatan biru kala itu, kau lebih mendominasi dan panjang melodi. Sekarang, tidak lagi. Entah itu hanya perasaanku saja atau memang seperti itu.
Kau tahu, aku selalu menuntaskan sesuatu sampai akhir? Tak ayal kusuarakan apa yang bersarang dalam kepalaku tentang perubahanmu, dan kau menjawab, "tidak ada yang berubah, aku hanya mengikuti ritmemu."
Ritmeku yang bagaimana maksudmu? Terkadang, bahasa tulis memang tak jarang menimbulkan gagal paham, dan aku memahami itu. Aku mencoba berpikir positif dan tak melanjutkan obrolan yang mungkin akan membuat sebuah kekesalan atau sejenisnya untukmu. Ah! Disitulah kebodohanku. Ada apa denganku? Kenapa aku yang justru terbawa oleh permainanmu? Hei, prajurit tanpa baju besi, tak tahukah dirimu jika putri gila ini bermahkota? Tak seorang pun bisa mendominasiku apalagi mengendalikanku, dan dirimu? Sudah lancang membuat borgol tak kasat mata untuk merantaiku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
28.800 DETIK
RomanceJika 'aku rindu' saja sudah tak kaupercaya. Bagaimana jika 'aku cinta' mendarat tepat di dadamu? Menghilang bukan berarti melupakan, hanya saja spasi kita butuhkan untuk saling memahami. Membisu bukan berarti tak memedulikan, hanya saja diam lebih t...