Petuah Sang Sutradara

38 3 0
                                    

***
Tak ada politik dalam komposisi cinta seorang ayah. Begitu pun cinta kakak laki-laki kepada adik peremuannya.

***

Sore itu aku merasa ada yang salah dengan tubuhku. Tak seperti biasa, aku merasakan kesakitan tak biasa di bagian perutku tapi kuabaikan. Begitulah diriku. Aku tak mengijinkan hal kecil seperti itu mengganggu kebersamaanku bersama keluarga besarku. Jadi, kuputuskan untuk berpura baik-baik saja. Namun, setelah pagi menampakkan senyumnya, kesakitan itu tak kunjung mereda. Dan aku tak berhasil melakukan dramaku dengan benar. Neo yang memiliki mata dewa tak banyak bicara, dan langsung membawaku ke gedung putih itu, bersama ibunda yang bisa kutebak sedang merapalkan doa-doa ajaibnya untukku.

Dalam ruangan berbau khas itu, kupejamkan mataku. Merasakan tubuhku yang tanpa daya dan perut yang melilit. Sampai kemudian, aku tak sadar sudah berapa putaran angka aku lelap di kasur putih itu.

Samar-samar kudengar suara di dekatku. Kubuka mata perlahan dan kutemukan Neo sedang mengobrol di telepon, memanggil nama ibunda kami seraya tersenyum kecil melihatku. Setelah itu Neo mengakhiri panggilannya dan menanyakan kondisiku. Aku bersyukur memilikinya. Di masanya yang sudah hampir setengah abad, dia tak juga berkeinginan untuk memiliki permaisuri. Sejak terakhir dia menjalin takma dengan seorang Putri. Tak ada lagi musim semi dalam hatinya untuk sosok lain. Aku tak mengerti apakah itu yang namanya kesetiaan? Atau kebodohan? Menutup hati rapat-rapat karena gagal dalam sebuah hubungan di masa lalu. Ah, karena aku percaya Tuhan. Sebut saja belum ada jodoh yang menghampirinya. Itu lebih baik.

Kau tahu, Lucifer? Apa penyebab mereka tak bisa bersama? Itu adalah kasta dan cara mereka berdoa. Bukankah itu sama seperti kita? Apakah takdir sungguh mempermainkan? Menanamkan emosi itu di hati manusia hanya untuk membuatnya gila! Ya, gila tak bisa bersama karena alasan klasik. Bukankah tak ada batasan dalam hal mencintai? Bukankah kita sama-sama ciptaan-Nya? Jadi, mengapa harus ada hal semacam itu sebagai penghalang untuk bersatunya dua hati yang saling mendamba? Katakan, Lucifer! Aku ingin mendengar sesuatu darimu.

Baiklah, pada faktanya kau dan aku tidaklah sama dengan kisah Neo. Bukankah mereka saling mencinta? Sementara dalam kisah ini, hanya aku saja yang memilikinya, dan kau tidak. Tak mengapa. Aku tak pernah mengundang musim semi itu singgah di hatiku. Ia datang dengan sendirinya tanpa permisi dan begitu saja sudah menghuni makhluk kecilku.

Aku membuka selulerku. Di sana, namamu muncul pada jam sekian —menyapaku. Aku tersenyum kecil dan hendak membalasmu tapi perkataan Neo menghentikan aksi jemariku.

"Lucifer?"

Satu kata itu sudah membuat jantungku hendak melompat dari tempatnya. Kupikir saat aku terlelap, dia lebih dulu berselancar di selulerku. Saat itu aku tak tahu harus mulai dari mana. Sebelumnya aku sudah bilang kepadanya siapa dirimu, tapi dari melodinya yang menunjukkanku jam berapa kau menyapaku. Dia seakan tak menyukainya. Ya, wajar saja. Kau selalu mengetuk pintu hijauku di waktu-waktu tak wajar sebagai seorang teman. Bukankah Neo patut curiga?

"Kau menyukainya?"

Napasku benar-benar berhenti untuk sepersekian detik setelah mendengar pertanyaan menyeramkan itu. Apa yang harus kukatakan? Jika kujawab iya, kutahu ini tak akan sependek episode drama korea, dan jika kujawab tidak, Neo adalah sutradara, bukanlah lawan mudah yang bisa kutipu dengan dialog basiku. Ya, Tuhan ... situasi macam apa ini?

Berkelit pun tak akan menghasilkan akhir yang bagus. Aku mengenal Neo dengan baik. Jadi, aku hanya bisa bertanya kepadanya; kenapa menanyakan hal semacam itu? Jemariku sudah dingin melebihi hembusan AC yang berada di ruangan itu. Memilin kuku-kuku yang sudah mulai memanjang—tanda jika aku sedang gugup. Kurasa Neo mengerti kegelisahanku. Dia beranjak dari duduknya dan mengambilkanku buah kesukaanku untuk dia kupaskan. Selama proses itu dia hanya membisu kemudian memasukkan potongan kecil apel itu ke dalam mulutku.

"Tak apa, aku hanya ingin memastikan kau bahagia. Tak ada pertemanan antara si biru dan merah jambu. Bentengmu masih lemah. Jadi, jangan bermain api dengan raja api jika tak mau mati sia-sia."

Aku hanya bisa mengangguk. Apa lagi yang bisa kukatakan. Sudah kubilang Neo tak pernah gagal membacaku. Mata dewanya selalu benar menebak apa-apa saja yang tersembunyi dariku. Kalian tak jauh berbeda. Sama-sama membuatku mati kutu. Neo dengan mata dewanya, dan kau dengan mata elangmu. Kurasa setelah ini waktuku denganmu akan sedikit berbeda.

***

28.800 DETIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang