Cemburu Itu Memakan Banyak Energi

67 2 0
                                    

***

Sesuatu itu mulai mengusik ketenanganku. Percikan yang mulai menjalar hingga ke ulu menyebabkan sebuah kebodohan tercipta.

Kecemburuan tanpa hak adalah kekonyolan. Itu ada padaku, dan itu karenamu.

***

Suatu pagi, kutanya padamu, "hei, coba lihat dalam bola kristalmu, siapa namamu dalam buku besarku?"

Kau menjawab tak tahu dan bertanya kembali padaku, "siapa?"

Aku suka jawabanmu, meski hanya itu yang kau ketik.

Lucifer adalah jawabanku. Aku menanti-nanti akan reaksimu setelahnya. Kau tahu? Menunggu adalah hal yang paling menyebalkan untukku. Sebelumnya, aku tak pernah membuat diriku berada di posisi itu, meski hanya sebentar. Dan dirimu? Menjadi Adam pertama yang membuatku melakukannya. Itu hanya sebuah pesan tapi sudah membuatku menggigit jari seperti seorang terdakwa yang menunggu putusan sang hakim.

Bagaimana jika lebih dari itu? Bagaimana jika dirimu membuatku menunggu sesuatu yang lebih besar dari sekadar sebuah pesan singkat itu? Mungkin saja, kan? Ah, entahlah! Yang pasti aku sudah mulai menggerutu dan merutuki diriku sendiri jika aku mulai bodoh karenamu. Lagi-lagi karenamu. Jangan mendebatku, karena hanya melalui tulisan ini saja aku merasa lepas berbicara denganmu, Lucifer. Ketika di depanmu, aku tak bisa melakukannya. Kau tahu kenapa? Karena dirimu lebih sering gagal dalam memahami apa yang kumaksud, dan pada akhirnya salah paham adalah hasilnya. Aku tak suka itu. Karena entah mengapa, aku ingin menjaga hubungan yang kutak tahu harus menamainya apa - menjadi lebih lama, lebih baik, dan mungkin lebih dekat. OK! Aku sudah mulai tak waras.

Setelah selesai dengan menit ke sekian masa menungguku, namamu muncul pada selulerku. Aku membuka pesan darimu dan menahan senyumku seketika. Kau bilang menyukai sebutan itu dan menyetujui jika Lucifer memang dirimu. Aku semakin menyukaimu, kupikir kau marah padaku karena tak biasanya kau perlu waktu selama itu untuk membalas pesanku tapi kemudian kau berkata jika ada tamu yang bertandang ke rumahmu - menjelaskan jika itu adalah anak dari raja di salah satu duniamu. Kau juga memberikan gambarmu yang berada di sebelahnya dalam sebuah potret.

Aku terdiam seketika. Padahal aku tak menanyakan detail tentangnya tapi kau dengan caramu sudah membuatku merasakan sesuatu yang aneh. Kebodohanku muncul seketika. Kuteriakkan suaraku, "tamumu wanita?"

Ah, pertanyaan macam apa itu? Jelas-jelas kau sudah memberikan potretnya padaku, dan aku masih menanyakan sesuatu yang tak perlu jawaban lagi. Aku merasa konyol setelahnya, padahal aku tak ingin terlihat seperti seorang kekasih yang sedang menyuarakan kecemburuannya. Dan tunggu dulu! Apa kubilang? Kekasih? Yang benar saja! Apa aku se-tak tahu malu itu, menyebut diriku sebagai kekasihmu! Padahal aku dan dirimu taklah seperti itu.

Kurutuki kebodohanku, menggerutu tak jelas dan kesal dengan diriku sendiri. Ada apa denganku sebenarnya? Bukan hanya makhluk kecilku yang sudah tak mendengar perintahku, kelakuanku juga sudah mulai tak terarah seperti biasanya. Dan itu sejak kedatanganmu. Kau pantas untuk kupersalahkan. Iyakan saja untuk kali ini, anggukkan saja ketikanku ini tanpa harus mendebatku dengan ketidak-setujuanmu. Biarkan dirimu yang saat itu kubayangkan sebagai gulingku menjadi sasaran empuk kekesalanku karena kau tak membalas pesan konyolku itu. Sampai sekarang pun aku masih kesal jika mengingatnya.

Kubuka gubuk biruku untuk mengalihkan rasa kesalku tapi ternyata itu bukan pilihan yang tepat. Nyatanya, namamu selalu muncul di mana-mana. Tak hanya cukup menguasai kepala dan makhluk kecilku, saat kuingin berselancar untuk menghindarimu pun, kau dengan segala kebetulan yang ada muncul di depan mataku pada news feed yang baru beberapa kali kugeser. Ah, rasanya aku ingin mengutukmu saat itu juga, untuk terdampar di Alaska bertemankan beruang kutub sebagai bantalmu.

Semenarik itukah dirimu? Hingga satu coretanmu saja sanggup membuat beberapa kumbang hinggap untuk mencari perhatianmu. Kau meladeni mereka dengan caramu, dan aku mendadak seperti berada di gurun pasir, yang membutuhkan setitik kesegaran sebagai pengalihanku akan bagian dari diriku yang terbakar. Entah itu apa, aku tak mau menyebutnya.

Baiklah, kusudahi pagi itu dengan bersikap baik-baik saja, meski tak begitu adanya. Nyatanya, merasakan sesuatu yang hanya ada pada kita sendiri itu tak mengenakkan. Di situlah peran sebuah 'Hak' merajai. Dan sialnya, aku tak memilikinya padamu.

***

28.800 DETIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang