Assalamu'alaikum, Ukhty

46 3 1
                                    

***
Bersamamu, segala perbedaan itu seolah raib ditelan bumi. Tak ada kasta, tak ada sekat pemisah untuk memuja-Nya. Sebab kita tahu, Tuhan itu satu. Dan kita pun sama. Sama-sama sebuah ciptaan yang dikaruniai hati untuk merasa.

***

Takbir menggema di setiap sudut semesta. Itulah kemenangan bagi mereka yang melaksanakan kewajibannya dengan benar. Aku merindukan sang sultan. 360 sekian hari yang lalu, beliau masih bersamaku. Duduk di tengah-tengah kumpulan para tetua untuk mengamini sebuah doa, melakukan tradisi tahunan, memukul bedug untuk meramaikan malam takbir dan bersenda gurau denganku, juga para putra mahkota. Namun, kini tak ada lagi beliau. Neo-lah yang menjadi kepala, menggantikan sang sultan yang telah berpulang.

Ketika doa-doa itu menggema di aula kerajaanku, kau datang mengucapkan selamat padaku. Mengirimkan lukisan ketupat yang baru saja kau buat dengan caption 'Selamat Idul Fitri'. Aku tersenyum melihatnya, meski kutahu itu tak hanya untukku. Setidaknya aku masuk dalam list orang yang masih kau ingat.

Kau mengajakku untuk bertemu di ruang bermain kita, kubilang aku tak bisa melakukannya. Karena saat itu acara doa-doa sedang berlangsung dan aku juga tak mau Neo mengetahui tentangmu. Kau tak tahu jika saat itu aku sedang mencuri-curi kesempatan untuk sekadar membalas pesanmu. Keberadaan Neo yang selalu memantau tak bisa membuatku membersamaimu seperti biasa. Maafkan aku untuk hal itu.

Neo tak pernah seperti itu sebelumnya. Berperan dengan benar menjadi seorang kakak, teman sekaligus ayah buatku. Mungkin karena rasa tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin kerajaan membuatnya harus lebih ekstra menjaga kami semua dengan baik. Jadi, apapun yang terjadi padaku, bunda dan juga putra mahkota lainnya, Neo adalah orang pertama yang harus mengetahuinya dengan baik. Seperti yang terjadi antara aku dan dirimu. Aku tak tahu, apa hanya firasatku saja jika Neo tak menyetujui aku berdekatan denganmu. Setiap kalimat yang tersirat dari melodinya, membuatku was-was jika memang itulah yang terjadi. Sebab itu, aku menyembunyikanmu dari mata ajaibnya.

Pada malam itu, ketika aku sedang berkumpul dengan sanak saudara yang memenuhi aula kerajaanku. Kau datang membawa potret meja makanmu yang dipenuhi makanan khas idul fitri, juga kue dengan tulisan serupa. Di sisi dinding kusam itu, kulihat simbol ketuhananmu menempel di sana. Aku menghargai toleransimu. Meski kita berbeda, tapi dirimu seolah ikut merayakan hari besar kami. Kau memang tak mudah untukku. Itulah yang kusuka darimu. Ah, entah sudah ke berapa kali aku mengucapkan hal serupa dengan sebab berbeda. Biarlah. Aku memang menyukaimu. Apapun itu sebabnya. Jadi, nikmati saja apa yang kupunya untukmu. Meski kau tak menyadarinya, atau mungkinkah kau lebih dulu mengetahuinya dan berpura tak tahu?

Kemudian, kau bilang ingin melihat potret keramaian di tempatku berada. Aku mengiyakan dan mengirimimu suasana riuh para saudaraku yang sedang berkumpul menikmati santap malam di aula kerajaanku. Kau protes dan menanyakan di mana aku berada. OK, aku memberikanmu potretku bersama saudariku dengan bibir mengerucut seolah mengejekmu, kau pun masih protes. Ah, kau tiba-tiba banyak bicara, Lucifer. Kukirimkan potretku seorang diri dan jawabanmu membuatku terkekeh di sela-sela mata Neo yang tak pernah lepas dariku. Kau mengucapkan hal yang tak pernah terpikirkan olehku sama sekali sebelumnya. "Assalamualaikum, Ukhty." Karena keasyikanku dengan salam manismu, aku menjawabmu dengan benar. Aku lupa jika kita berbeda. Bukankah seharusnya aku tak melakukannya? Ya, lagi-lagi aku bodoh karenamu.

Hei, Lucifer! Apa karena kau baru pertama kalinya melihatku dengan penutup kepala dan baju kebesaranku, sehingga kau mengucapkan salam itu kepadaku? Bahkan ketika awal perkenalan kita dulu, tak ada salam seperti itu untukku? Ah, kau mengejekku! Tapi, kusadari jika aku tak mengenakan itu semua ketika kita bertemu di ruang bermain. Jadi, bagaimana opini rumitmu tentangku? Aku ingin mendengarnya.

Hari itu benar-benar membahagiakanku. Meski kita tak bisa bertemu di ruang bermain, aku bahagia karena dirimu bisa meluangkan waktu untuk berkirim pesan padaku cukup intens dari biasanya. Jika boleh kupinta. Tetaplah seperti itu. Tetaplah memperhatikanku, dan tetaplah terjaga untukku. Agar kutahu jika aku tak merasakan percikan itu seorang diri. Jangan membuatku bingung dengan aksimu, Lucifer. Sebab aku sudah berjalan di belakangmu, melihat punggungmu, mengikuti aromamu, dan berharap kau bisa memelankan lajumu untuk meraih tanganku, berpegangan dan tersenyum bersama. Itulah harapan bodohku. Jika Tuhan mengabulkan, bahagia tak terkira, dan jika tidak? Akan tetap kujalani. Setidaknya, itulah isi kepalaku.

***

28.800 DETIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang