Surat dariku Untukmu

43 2 0
                                    

***
Lupakan sejenak tentang kasta, usia, jarak, dan kepercayaan. Aku ada untukmu. Tidakkah itu cukup?

Mencintaimu tak perlu rumus pasti. Menyatakannya dengan pasti yang membuat keberanian itu keluar dari jalurnya.

***

Kau datang dengan keindahanmu sendiri. Surai sepekat malam, jendela hati sebening cahaya. Apakah kita berada di gelombang yang sama? Atau ini hanya imajinasiku semata?

Kutarik sudut bibirku, kudendangkan lagu terbaik untuk menyambut euforia yang meletup dalam dada. Jejak yang kau tinggalkan itu menahan kegilaanku untuk menari-nari mengikuti musim semiku. Seolah kau sengaja menuliskannya untuk kuketahui, dan berhasil! Mataku melebar. Oh, tidak! Bukan hanya mataku. Makhluk kecilku pun melompat kegirangan karena hal itu. Sudah kubilang makhluk kecilku keras kepala, bukan? Jadi, detektor dalam diriku mengenali dengan mudah jejak itu pasti untukku. Terima kasih, sudah membuat pagiku kembali bersemi.

Kulakukan hal yang sama. Meninggalkan seberkas jejak di jalan yang sama—untukmu.

Kita berada di ruang yang sama. Hanya tunggu sebentar lagi.

Begitulah kuukir jejakku. Semoga kau memahami dengan baik apa jawabku atas keraguan yang ada padamu. Kini, aku bahagia. Setidaknya bukan hanya aku saja yang memiliki musim semi ini. Kau menyambutnya dengan bahasamu. Meski tak jarang kita salah paham dan berbeda konteks dalam arah pembicaraan kita. Itulah yang membuatku betah denganmu. Kau lawan yang cukup tangguh dalam hal berdebat tentang sesuatu, dan itu membuatmu layak berada dalam kepalaku.

Lucifer, begitulah aku mengingatmu di setiap tarikan napas. Mengenalmu membuat langkahku hanya tertuju padamu. Mendeskripsikanmu tak cukup hanya dengan satu dua alinea. Memasuki duniamu tak semudah kau menemukanku dalam barisan putri raja. Dan mencintaimu ... adalah keindahan tak terkira yang pernah singgah menyapa makhluk kecilku.

Hanya saja, aku bodoh dalam memberimu jalan untuk mengetahuinya. Aku kesulitan untuk mengungkapkannya kepadamu. Sebab itu, akankah warna ini sampai padamu dengan utuh suatu saat nanti? Untuk sejenak saja, biarkan aku menikmati desiran memabukkan ini denganmu. Meski ribuan kilometer memisahkan kita. Dan meski sosok kejam yang disebut takdir masih setia dengan ketegasannya untuk bilang 'tidak' pada kita. Aku ... merindukanmu.

Kuharap ini bukan kekeliruan seperti yang kukira. Biarlah putra mahkota dengan titah tak terbantahkannya. Biarlah takdir dengan caranya mengantarkan kita pada kisah yang entah berujung di mana. Biarlah mereka menganggap kita adalah kemustahilan. Biarlah kaki ini berjalan dengan kekuatannya untuk selalu di sampingmu. Biarlah makhluk kecil ini dengan kekeras-kepalaannya menahanmu di dalamnya. Biarlah mata ini buta akan segala pesona lain yang mencoba mengusikmu dari singgasana di hatiku. Biarlah logika ini mati hanya dengan membayangkan aku mencintaimu dan kau mencintaiku. Biarlah ....

Tak perlu kau jawab. Dengan mengetahui coretan ini saja, aku sudah bersyukur. Entah sampai kapan surat ini akan sampai di sebelah tempat tidurmu. Mungkin besok, lusa, atau bahkan tak pernah sampai. Tidak! Kuharap pilihan terakhir itu tak akan terjadi. Karena aku ingin kau mengetahui dan menyimak baik-baik segala apa yang kutuliskan ini untukmu. Dan karena aku ingin mengingatkanmu jika pernah ada aku dalam perjalananmu. Jika pernah ada dirimu dalam kisahku.

Tak apa jika ekspedisi alam yang akan menyampaikan lembaran ini padamu dengan tertatih. Tak apa jika mungkin pada saat itu kita sudah tak menjadi 'kita' lagi. Asal surat ini sampai padamu dengan selamat. Aku pastikan, saat itu terjadi, namamu masih setia menghuni ruang terdalamku. Meski mungkin sudah terkunci rapat dan tidak untuk kubuka kembali. Terima kasih sudah hadir dalam napasku. Terima kasih sudah pernah menjadi semestaku untuk sekian juta detik.

Ini menyedihkan. Kenapa aku menuliskan sesuatu yang mengerikan seperti bom bunuh diri ini. Seolah aku sudah mengetahui akan seperti apa akhirku bersamamu. Lupakan, Lucifer. Aku tak ingin meramalkan masa depan dengan logikaku yang sudah mati. Kuharap sekarang dan besok, kita masih dengan sebutan yang sama. Aku menyukainya. Sungguh! Ketika kusebutkan 'kita' dalam barisan kisah ini. Tersenyumlah, di bagian ini aku sudah menari di ujung gelisahku. Semoga kegelisahan ini bukanlah pertanda dari Tuhan agarku mengambil posisi siaga untuk berbalik arah darimu. Ingat saja jika aku sudah menggilaimu saat kumulai menggerakkan jemariku pada bagian ke dua puluh dua ini.

***

28.800 DETIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang