Ketukan Ajaib di Pagi Itu

82 5 3
                                    

***
Bukannya naif, tapi ketertarikanku pada otak berisi selalu lebih dominan dari pada wajah rupawan tanpa isi kepala. Itulah caraku melihatmu.

***

Setelah kutahu jika kau sudah mulai mendominasi dalam setiap ruang gerakku. Aku tak pernah menyerah untuk mengabaikan lintasan tentangmu; dalam pekerjaan, tulisan, tidur, bahkan sampai ke dalam sujudku. Siapa sebenarnya yang gila di sini? Aku atau bayanganmu? Ah! Kupersalahkan saja dirimu. Bagaimana pun, kau adalah objek satu-satunya yang dengan seenaknya selalu memenuhi otak kecilku, sementara dirimu? Aku tak tahu, karena bola kristalku yang biasa kugunakan untuk mengintai para pangeran, tak bekerja padamu. Kau istimewa, meski dunia berkata tidak.

Kau pernah memberitahuku jika namamu adalah sebuah simbol kemakmuran, seperti Dewi Padi, meski nyatanya tak begitu. Tak apa, itu sebuah doa.

Hidup bukan tentang seberapa banyak kita menggenggam emas, makhkota jenis apa yang kita kenakan atau seberapa besar nama kita melayang di udara untuk sebuah ketenaran. Yang kulihat, kau bersahabat baik dengan alam. Bagimu, apa yang ada di dalamnya lebih baik dari pada melihat retorika yang kian meraja.

Ah! Bicara soal retorika. Kita pernah membicarakannya, bukan? Jika sudah membawa paragraf yang cukup berkarat, kau ahlinya. Sementara aku mendengar dan mencoba mengimbangi setiap penjelasan yang masih tabu untukku, si pemula. Namun, aku menyukainya. Setiap kata yang keluar melalui dua jempolmu, membuatku berpikir ekstra untuk memahaminya. Itu menarik, bahkan jauh lebih menarik dari pembahasan para pangeran yang membosankan.

Bagiku, isi dalam kepalamu cukup menghiburku, meski jam malamku lebih panjang, untukmu aku bisa melebarkan mataku. Padahal, selain topik yang bisa kupelajari sambil berjalan, kau lebih banyak mengeluarkan warna merahmu, dan itu cukup menjadi virus untukku. Aku menyambutmu, meski merahku tak sepekat milikmu, dan meski kegilaanku tak separah dirimu. Aku masih mengikutimu. Kali ini, dengan rasa.

Ketika aku terbangun di pagi hari, senyumku terukir tanpa sebab. Oh tidak! Tunggu dulu, sepertinya ada yang tertinggal. Dirimulah yang membuat lesung pipit itu tercetak. Jika kuingat kembali, malam itu - lebih tepatnya pagi buta, kau bilang ingin bertandang ke ruang bermain kita. Aku tak tahu apa yang harus kuketik sebagai jawaban kala itu. Sudah kubilang padamu jika aku tak pandai berdialog di atas panggung. Akhirnya kuingat jika kau pernah bilang hanya akan sekali saja mengajakku bermain di sana, itulah jawabanku yang kau proses dengan sedikit lebih lama dari biasanya.

Pada menit ke sekian, aksaramu telah sampai padaku. Kau mengiyakan kalimatku dan memohon kembali untuk menemuiku. Ah! Ini konyol. Aku yang masih berpikir dan mencari kalimat apalagi yang bisa menghentikanmu, nyatanya kalah oleh sesuatu yang melesak dalam diriku. Kau tiba-tiba sudah sampai di pintu rumahku dan mengetuknya dengan tidak sabaran. Oh, Tuhan. Jantungku mendadak berirama tak seperti biasanya. Aku takut kalau-kalau aku mengalami gangguan jantung. Bagaimana bisa hanya melihat siluetmu di pintu transparanku membuat jantungku serasa lompat-lompat? Ah, ini gila!

Tak ayal aku membuka pintu dengan sedikit ragu, seperti baru pertama kalinya saja kita bertemu. Kau tak tahu jika aku selalu kelabakan mencari dialog apa yang akan kumainkan ketika kau sudah berada di hadapanku. Meski hanya di atas panggung ilusi, tetap saja otakku mendadak kosong jika itu denganmu.

Selamat! Kau berhasil merayuku dengan ketukan ajaibmu.

***

28.800 DETIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang