Bahasa Batu di Musim Gugur

69 5 0
                                    

***
Ada pepatah; diam itu emas.
Tapi, apakah dengan bahasa batu itu setiap maksud bisa tersampaikan? Untukmu, mungkin iya. Bagiku, yang buta akan warnamu, tidak! Karena yang bisa kulihat hanya hitam dan merah yang ada padamu. Jadi, harus bagaimanakah aku?

***

Aku baru saja menyelesaikan coretanku ketika namamu terpampang di layar seluler. Fajar bahkan belum manampakkan senyum, dan dirimu mendahuluinya. Kurapikan surai panjangku dan bercermin untuk memastikan tidak ada yang salah pada wajahku. Ah! Ini konyol. Hanya karenamu aku melakukan hal yang sebelumnya tak begitu kupedulikan. Jangankan berhias, menggeser tombol hijau untuk kaum sebangsamu saja tak kulakukan, apalagi pada waktu-waktu tak wajar untuk seorang lelaki dan perempuan yang berada pada zona pertemanan.

Ini masih pekan pertama di candra suci, dan dirimu semakin gencar menyapaku. Padahal sudah kucoba untuk tak membalas pesanmu ketika dirimu memintaku untuk bertemu di ruang bermain kita, tapi dasar dirimu. Bukankah memang dirimu tak pernah mendengar perintah? Seperti makhluk kecilku yang pecicilan, tak mau mendengar perintahku untuk menjaga sedikit saja pandangannya padamu.

Tak ayal, kugeser si hijau itu. Di sana, seperti biasa, kau tersenyum kecil dengan surai merah jambumu yang berantakan. Aku selalu menyukainya. Meski ada seseorang yang mengatakan ada yang salah dengan mataku. Dia adalah temanku, yang selalu menjadi tempat pembuangan dongeng-dongengku, dan kali ini dia benar-benar menyerah untuk tak mendebatku tentangmu. Katanya aku memang sudah gila dan tak mau berdebat dengan orang gila. Baiklah, sepertinya dia memang benar. Logikaku menyetujuinya, tapi tidak dengan hatiku.

Tak ada suara yang keluar dari bibirmu. Kau hanya memandangku dengan bahasa batumu. Aku pun melakukan hal yang sama, tapi kekuatanku untuk bertahan dalam bahasamu tak setangguh dirimu. Aku mulai menggerutu dalam hati, sungguh jantungku berlari dari tempatnya karena pandanganmu terus tertuju padaku, entah apa yang sedang kau lihat. Aku mulai tak fokus, seperti sedang berusaha menyembunyikan wajahku dari mata elangmu. Tunggu! Sejak kapan kau melihatku dengan mata itu? Di mana kau sembunyikan mata itu kemarin-kemarin? Aku tak takut, justru terhipnotis dan semakin tenggelam dalam ilusimu. Hanya saja aku malu, entah kenapa.

Sesekali kau pejamkan matamu. Bahkan kupikir saat itu kau sedang tertidur. Aku berdehem dan kau membuka matamu kemudian.

Kau satu-satunya makhluk yang bisa membuatku salah tingkah hanya dengan tatapan itu. Bahasa batumu semakin membuatku tak tahu harus bagaimana, hingga akhirnya kutenggelamkan wajahku pada bantal dan kau mulai berirama.

"Lihatlah aku," katamu. Apa kau sedang bercanda! Memang apa yang kulakukan sedari tadi?

Menit-menit berlalu dan kau hanya membatu dengan tatapan yang membuatku panas dingin. Tak tahukah dirimu jika aku sedang menyelamatkan hatiku dari serangan bom mendadak akibat ulahmu?

Aku melihatmu kembali, dan kau bilang, "begini lebih baik."

Sungguh aku tak mengerti apa yang sedang coba kau sampaikan lewat mata itu. Jangan suruh aku menerka karena sudah kubilang jika kesaktianku mendadak menghilang ketika berhadapan denganmu. Jadi, katakan apa maksudmu? Sebelum aku dan imajinasiku salah dalam memahaminya.

Ya, Tuhan. Aku bahkan lupa kalau saat itu aku masih harus menahan segala negatifku dalam satu bulan. Kau datang seperti sosok setan penggugur imanku. Warna merahmu semakin pekat dan aku sudah bersiap untuk tidak tenggelam bersamamu. Pada akhirnya kau memintaku untuk berendam di telaga dengan hidangan yang sudah disediakan.

Kau berkata, "hari sucimu sudah gugur untuk hari ini. Jadi, pergilah! Bersihkan dirimu dari noda merah yang tak kau sadari menempel pada makhluk kecilmu."

Aku tersentak. Apa maksudmu? Kau tak menjelaskan lebih dan pergi begitu saja ke telaga yang kau sebutkan tadi dan menikmati pagi itu dengan hidangan yang sudah terpampang di sudut tendamu.

Setelah pertemuan yang membuatku ingin menyumpahimu untuk tenggelam itu, aku mengganti namamu menjadi Lucifer. Entah dari mana kepalaku mendapat nama itu, jariku berjalan dengan sendirinya untuk memberi tahu mataku jika dirimu memang pantas dengan nama itu.

***

28.800 DETIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang