***
Jarak bukanlah masalah. Komunikasilah yang menjadi sebab kerinduan itu harus sampai padamu tepat waktu.***
Hari besar pengikut Baginda tinggal menghitung hari. Kutengok lagi ke belakang, dalam barisan sekian hari itu tak lepas dari waktuku bersamamu. Aku tak menampik jika kehadiranmu membuat semestaku berporos kepadamu. Entah apa yang kau lakukan kepadaku hingga kutak bisa keluar dari lingkaranmu.
Pagi-pagiku tak lepas dari sapaanmu. Bahkan di setiap malam kau dengan tidak adilnya masih mendominasiku, muncul begitu saja sebelum kuletakkan kelelahanku. Seolah melalui itu, dirimu mengatakan; istirahatlah ... masih ada hari esok untuk kita bermain kembali.
Akan tetapi, pagi itu untuk pertama kalinya, kau meminta pertolongan padaku. Aku dengan berat hati tak bisa menolongmu karena keterbatasanku. Dan kau tahu? Yang kusesalkan saat itu bukan dirimu tapi peri kecilmu. Aku juga tak mengerti kenapa kepalaku langsung tertuju pada gadis kecil itu. Padahal tak sekali pun kau mengenalkannya padaku. Berjalan berputar-putar di ruang mimpiku hanya karena teringat wajah ayu gadis tujuh tahun yang bahkan aku belum tahu siapa namanya, bagaimana dia, apa kesukaannya dan masih banyak lagi yang ingin kutahu tentangnya. Meski itu bukan areaku, tapi lagi lagi makhluk kecilku bergerak dengan sendirinya.
Kau bilang tidak apa-apa. Meski pada awalnya masih memohon untuk sebuah jawaban 'iya'. Maafkan aku. Bukan karena rasa tidak percayaku kepadamu. Tidak! Aku tak memikirkan hal yang kau risaukan itu. Meski kita masih baru melambaikan tangan, aku tak ragu untuk memberikan apa yang bisa kuberikan jika itu bisa meringankan batu di bahumu. Tapi, Tuhan berkata lain, Dia belum mengijinkanku untuk melakukannya. Maafkan aku. Bergantinya hari tak mampu membuat kepalaku berhenti memikirkan hal itu, sampai kau berkata lagi kepadaku. "Aku tidak apa-apa. Aku kuat."
Baiklah, tak hanya itu saja yang membuatku sedikit gila pada hari itu.
Musim permudikan sudah mulai menyapa, dan itu artinya aku juga harus menyiapkan diri untuk berpulang ke kerajaanku. Aku tak tahu harus mengatakannya dari mana kepadamu, kita tak bisa bertukar sapa setiap pagi sampai aku kembali lagi ke medan perang. Kau hanya menjawab 'iya'. Begitulah dirimu. Tegas dengan ucapan dan tak pernah basa-basi, aku menyukainya. Mungkin karena itu sampai saat ini dirimu masih terpenjara dalam logikaku.Beberapa hari berlalu tanpamu. Kau dan aku tak ada komunikasi dalam bentuk apapun. Sungguh saat itu aku jadi kesal sendiri. Ini kisahku yang paling menguji kesabaranku. Tidak hanya itu, kerinduan yang menumpuk sebab tak tersalurkan dengan benar membuatku hampir gila. Tak pernah bertemu bukan masalah bagiku, sebab jarak kita tak cukup bisa membuat kaki-kaki ini sampai dengan cepatnya. Kesibukan kita pun tak sama. Ketika kau bilang ingin singgah di ruang bermain kita, aku sedang berkutat dengan pekerjaanku. Begitupun sebaliknya. Sebab itulah kuluangkan pagi-pagiku untuk mengenyangkan rasa laparku akan kerinduanku.
Maafkan aku, aku tak bisa menepati apa yang kupastikan untukmu. Kerinduanku yang tak tahu malu akhirnya membuatku menuliskan sesuatu untukmu. Dan kau dengan tepat sasaran mengatakan, "Kau merindukanku? Ini bahkan belum habis masa hibernasimu dariku."
Ah, kau tak tahu jika aku sebenarnya menahan malu untuk itu. Aku tahu jika mulut labil ini yang mengatakan tak ada jembatan dalam bentuk apapun selama kurun waktu yang sudah kujanjikan itu, tapi apa? Aku sendiri yang melanggarnya dengan mendatangimu seolah perkataan kemarin itu adalah lelucon belaka. Betapa lucunya diriku di matamu pastinya. Meski begitu maafkan aku yang tak bisa dengan gamblang menyatakan hal yang kau sebutkan tadi. Aku masih memakai topeng kebangganku; berpura tak begitu.
Kau pasti mengejekku saat itu. Menertawakan perempuan sok tangguh ini dengan keyakinanmu yang selalu benar tentangku. Kau mungkin tahu banyak tentangku, sebab bagimu, membacaku tidaklah sulit. Entahlah. Bersamamu membuatku menjadi bodoh. Terkadang aku merutuki diriku sendiri. Hal bodoh apalagi yang akan kuperbuat di masa depan karenamu? Kau begitu dominan layaknya raja tak bermahkota. Dan aku sebagai dayang yang memujamu tanpa kau tahu. Begitukah? Atau, haruskah aku menempatkan diriku sebagai seorang harem? Penghangat ketika kau kedinginan dan buangan ketika kau sedang bersama permaisurimu. Aku tak ingin memikirkannya terlalu jauh. Bukan diriku jika sesuatu seperti itu menjadi topik untuk kepala bermahkotaku.
Ya, inilah aku. Sudah kutegaskan kepadamu sedari awal jika aku sedikit gila. Berteman denganmu menambah tingkat kegilaannku semakin menggila. Ah, tidak! Aku tak menganggapmu teman. Aku juga tak menganggapmu kakak. Kau sudah lebih dari itu. Meski dirimu menganggapku tak lebih dari gadis kecilmu. Itulah yang kupahami dari setiap panggilanmu kepadaku. Terkadang aku berharap jika sekali saja dalam percakapan kita, kau menyebutkan namaku. Aku penasaran, bagaimana caramu menyebutku, melafalkan namaku dengan caramu. Akan tetapi itu hanya angan belaka. Kau tak pernah memberikan panggilan lain selain; 'Dek'.
Cukup jelas bukan? Apa posisiku untukmu. Namun mengapa tidak bagiku? Kau bukan sekadar 'Kak'. Namamu sudah menjarah ke dalam area terlarangku dengan beraninya. Tak perlu menjadi mereka, tak perlu memakai mahkota seperti mereka, tak perlu merangkai kata indah seperti mereka atau bahkan janji manis untuk meyakinkanku. Aku sudah tertawan olehmu. Oleh kegilaanmu, mata sendumu, dan segala yang ada padamu. Aku menggilaimu, Lucifer. Tanpa kata, semoga kau tak tahu. Doaku kala itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
28.800 DETIK
RomanceJika 'aku rindu' saja sudah tak kaupercaya. Bagaimana jika 'aku cinta' mendarat tepat di dadamu? Menghilang bukan berarti melupakan, hanya saja spasi kita butuhkan untuk saling memahami. Membisu bukan berarti tak memedulikan, hanya saja diam lebih t...