***
Tak apa sekali-kali menangis. Itu hal yang wajar. Tak apa bersikap tak baik-baik saja, itu juga hal yang wajar. Yang tak wajar adalah bersikap baik-baik saja sepanjang waktu.
Itu gila.
***
Menunggu adalah perangai batu, sementara aku bukanlah batu. Dua senja berlalu, dan aku masih setia termenung—memandangi layar gawaiku yang sepi tanpa kehadiranmu. Padahal baru dua senja, bagaimana jika senja-senja berikutnya juga masih sama? Oh, tidak! Jangan lakukan ini padaku, Lucifer! Kemarilah, mari kita bicara dengan kepala dingin —duduk tenang di teras rumahku, bertemankan teh hangat dan cemilan kesukaanmu. Katakan apa yang sedang bersarang di kepalamu, agar aku tahu apa yang kau mau, apa yang kau suka, dan apa-apa lagi yang membuatmu mendiamkanku.
Tidakkah sedikit saja kau mengasihiku? Bahkan setelah sekian hari kita tak bertemu di gubuk hijau, kau masih setia menyembah egomu. Kau masih bertahan dengan aura hitammu yang selalu mendominasi. Apa aku salah? Apa aku keliru jika berkata seperti ini? Selama aku mengikutimu, aku lebih banyak menahan egoku, lebih banyak menahan negatifku, dan hal lain yang membuatku belajar tentang cara bertahan. Kita adalah dua pribadi yang sama kuat. Untuk itu, jika salah satu dari kita tak mengambil nada minor, takkan ada 'kita', setidaknya sampai hari ini.
Namun, beberapa senja berikutnya, pertahananku lebur, kacau tak berbentuk, meninggalkan seberkas rasa sesak yang mengepung. Ya, pada senja ke delapan, aku menyadari jika dirimu sudah tidak ada. Pada pagi ke sembilan, detik ke 28.800 sekian; bulir bening pertamaku jatuh begitu saja. Disusul bulir kedua, ketiga, dan entah sampai ke berapa kujatuhkan air kesedihan itu dari pelupuk mata. Tak ada isakan, tak ada suara. Kubiarkan ia mengalir dengan caranya. Sebab aku tahu, menahannya tak akan berpengaruh apa pun. Sembilan pagi sudah cukup untukku berpura baik-baik saja tanpamu. Sembilan pagi sudah cukup untukku menahan tanda tanya, penantian, dan amarah yang sudah kutekan kuat agar tak menguap kepadamu yang saat itu sedang berada di emosi yang lebih tinggi dariku.
Kini, biarlah bulir itu berbicara dengan bahasanya. Jika kau punya bahasa batu, aku pun memilikinya. Dan inilah bahasaku, ketika kata tak mampu lagi membuatmu paham. Ketika emosi yang menjadi kepala untukmu malakukan aksi. Inilah caraku. Karena aku bukan batu, kulayangkan sebuah kecupan rindu ke jantungmu. Meski kau masih setia dengan bahasa batumu. Maafkan aku untuk hal-hal yang tak bisa kulakukan untukmu. Maafkan aku untuk setiap hal yang belum bisa kupahami. Kau memang apa adanya, tapi apa adanya dirimu terkadang menyakitiku. Apa adanya dirimu membuatku lupa jika dirimu masihlah si biru pasti yang membutuhkan teman berbagi warna merah yang tak mampu kumasuki lebih jauh ke dalam estetikamu. Jadi, sampai di sinikah kisahku bersamamu? Bahkan tak ada epilog untuk cerita kita, padahal kau memulai dengan prolog yang tak begitu buruk.
Lucifer, sepekat ini aura hitammu jika aku sudah menjadi sampah untukmu. Sejahat ini makhluk dalam dirimu hingga membuatku jatuh dan lumpuh seketika karena bahasa batumu. Jika saat ini kau membaca ini dan bertanya kenapa aku tak mengambil alih dan mencarimu sebagai jalan keluar. Maka, maafkan aku. Pada detik kau tak membalas pesan terakhirku dan menghapus jejakmu yang belum kupahami dengan baik di jalan hijau itu, aku menghilangkan namamu dari buku besarku. Sebab kutahu; melihat namamu berkeliaran di jalan-jalan saja membuatku sakit jantung. Dan untuk menghindari aura hitamku yang juga sedang menguar, kupilih melepas namamu dari barisan nama di buku besarku.
Jangan marah dulu! Aku bukan ingin melupakanmu dan menghilang darimu. Aku hanya memberimu waktu untuk menenangkan apimu. Sebab aku ingin lama denganmu. Dan menunggu dirimu menyapaku lebih dulu adalah caraku. Meski itu membuat mulutku komat-kamit, hatiku menggerutu, dan kakiku gatal ingin berlari ke arahmu untuk menjambak rambutmu. Bukankah itu yang selalu kukatakan kepadamu jika aku sedang kesal atau gemas dengan tingkahmu?
Namun, yang kudapat adalah kehampaan dan kehilangan dirimu untuk waktu yang entah sampai kapan. Apakah aku menyesal? Tidak. Aku tak menyesal untuk menghindari bentrok aura hitam kita berdua menjadi lebih tak terkendali. Jangan berpikir jika ini egoku yang berbicara. Tidak! Egoku sudah mengaku kalah dan tunduk padamu entah sejak kapan. Aku hanya memberimu waktu untuk berpikir dan tenang. Meski banyak hari yang kau lalui tanpaku, tak apa. Menepilah jika itu maumu, tapi jangan jauh-jauh, sebab kau belum mengetahui apa yang kusimpan untukmu, Lucifer.
Namun nyatanya, ketangguhanku tak setangguh itu. Kekuatanku tak sebesar itu untuk memberimu waktu yang entah sampai kapan kau akan kembali kepadaku.
28.800 detik dari mimpiku; kulepaskan dirimu. Kunyatakan kau benar-benar menghilang dari mataku. Maka jangan kembali, dan jangan pernah. Karena melepasmu bukanlah hal yang mudah bagiku. Jangan marah lagi, jangan! Bukannya aku tak sabar untuk menunggumu. Namun, makhluk kecilku sudah berdarah-darah karena ulah bahasa batumu yang tak kumengerti.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
28.800 DETIK
RomanceJika 'aku rindu' saja sudah tak kaupercaya. Bagaimana jika 'aku cinta' mendarat tepat di dadamu? Menghilang bukan berarti melupakan, hanya saja spasi kita butuhkan untuk saling memahami. Membisu bukan berarti tak memedulikan, hanya saja diam lebih t...