Labirin Ilusi Sang Prajurit

89 6 0
                                    

***
Perbedaan itu hanya ada dalam logika, bukan untuk kita yang keluar dari logika. Jadi, bisakah kita bergandengan? Menapaki labirin ilusi bersama, hingga waktu sendiri yang lelah dan melepaskan tautan kita.

***

Candra suci telah datang. Kusambut dengan suka cita layaknya anak lima tahun yang selalu menantikan hari besar, entah itu untuk baju baru, kue-kue lezat atau bahkan amplop berisi.

"Sudah siap untuk hari ini?" tanyamu.

Aku tersenyum membaca pesanmu, meski kau tak melihatku, dan jangan sampai kau melihatku, karena pesan itu membuatku seperti berada di roller coaster, entah apa sebutan yang tepat untuk menggambarkan apa yang dimaksud hatiku saat ini, yang kutahu; ada sesuatu yang naik seketika, membentuk suatu keindahan yang aku tak bisa mendefinisikannya dengan benar, dan aku bahagia.

Kau bukan makhluk pertama yang memberiku kalimat itu. Sebelumnya, pangeran dari negeri seberang melakukan hal yang sama, bahkan menemani acara santap sepertiga malamku sebelum memulai berangkat ke medan perang, tapi hanya sebatas itu, tak ada yang istimewa meski dia mengistimewakanku. Namun, ketika fajar sudah hendak menampakkan sinarnya, kau datang membawa kehangatan dengan 'selamat berjuang' ala dirimu. Sesederhana itu, dan aku menyukainya. Ah! Sepertinya memang ada yang tidak beres dengan otakku.

Aku bertanya kepadamu sedang apa? Kau menyebutkan sebuah warung sebagai jawaban. Aku terdiam sejenak. Otakku sedang memproses kata itu dengan sedikit lambat. Apa ada arti lain selain yang ada dalam pikiranku atau memang itu yang kau maksud? Kemudian kutegaskan dengan bertanya kepadamu sejenis apakah itu? Dan ternyata jawabanmu sama seperti yang ada dalam kepalaku. Ini lucu, sungguh! Jika mengingat itu aku tersenyum sendiri. Bukankah di mayapada ini dihuni oleh bermacam-macam daging berbeda warna? Jadi, kenapa aku mendadak menjadi gadis bodoh dengan menanyakan apa itu? Menggelikan.

Setelahnya baru kutahu jika aku dan dirimu berbeda baris. Aku dengan tasbihku, kau dengan salibmu. Meski begitu, kutahu jika tak beraturan adalah kita. Kebebasan adalah jiwa kita, dan kegilaan adalah ekspresi kita. Kau pemilik gelar kebangsawanan, kutemukan dirimu dalam tumpukan para raja yang tak meraja. Namamu mengingatkanku pada perkenalan kita kala itu. Hei si merah jambu, sapaku. Namun, Kau menegaskan jika dirimu si biru pasti. Ah, jika diingat kenangan itu membuat kotak kecilku bermelodi kembali. Senyum kecil terbit, dan dirimu muncul dengan mata sendumu.

Apakah sudah waktunya mengakui jika aku sudah menemukan tempat duduk yang nyaman di sebelahmu? Berbincang denganmu membuatku lupa dengan banyak hal. Mengobral dosa-dosa di sepanjang jembatan bersamamu membuatku tak sadar - kita sudah sejauh itu di umur jabat tangan yang masih sebiji sawi. Sungguh aku tak mengerti dengan diriku saat ini. Dunia yang kau ciptakan seperti sebuah labirin indah yang menggodaku untuk terus melangkah lebih dalam lagi. Lebih jauh hingga kutemukan pusat dari keindahan itu. Entah sampai kapan kuharus melangkah, kuikuti aromamu dengan perlahan.

Hei, prajurit bangsawan. Kusapa dirimu dari labirin ilusi. Kibarkan suraimu, tutup matamu, dan rentangkan kedua sayapmu. Sebarkan benih keindahan dari tempatmu berada agar kutahu kau masih bersamaku.

***

28.800 DETIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang