***
Aku tak tahu bagaimana caramu memaknai sebuah kenangan. Aku juga tak tahu bagaimana caramu menenangkan hati saat ia berdarah. Satu hal yang aku tahu; cara mencintaimu dengan batu.***
Langit mulai menampakkan pesonanya. Kupandangi kaca jendela kamar yang berembun, tampak basah dan segar. Bertolak belakang dengan kosongnya ruang dalam diri. Jemari mulai merayap dan bergerak asal. Terbentuklah siluet wajah menyebalkan, surai panjang dan dua tanduk—pencipta senyumku.
Pagi ini, aku tak ingin beranjak ke mana-mana. Bergulung dalam selimut, mendengar melodi romansa, sedikit membaca kisah sad ending, sepertinya bukan ide yang buruk. Namun, setelah beberapa pekan tak melewati jembatan biru, ada rasa ingin singgah walau sebentar, dan setelahnya baru kutahu jika kau pun melakukan hal yang sama—menghilang dari peradaban, entah mengapa; sibuk, sengaja menghilang atau kau kehilangan gawaimu? Entahlah. Kuharap kau selalu baik.
Jemariku bergerak dengan sendirinya, membuka galeri. Padahal tak pernah kulakukan hal itu sebelumnya. Di satu sudut, kulihat potretmu dengan peri kecilmu. Entah siapa namanya. Kalian begitu mirip. Mata kesukaanku, kulit beningmu, dan senyummu, menempel pada dirinya. Senyum kecilku pun terbit melihat kebahagian yang terpancar dari dua pasang mata itu. Pemandangan yang menghangatkan.
Ada juga dirimu yang beraksi di panggung peragaan, karya-karya, petualangan, dan masih banyak lagi lainnya. Kendati demikian, ada satu potret yang menjadi perhatianku agak lama, yaitu dirimu dengan seorang wanita. Kupikir itu adalah ibu peri kecilmu, tapi entahlah. Tak ingin berspekulasi lebih jauh. Sebab ada sesuatu yang mulai mengganggu kenyamanan hatiku ketika di bagian selanjutnya ada kau dan dia sedang melakukan ritual. Sungguh, itu hanya masa lalu, seperti aku yang juga berlalu, entah sebagai apa kau mengingatku.
Melihat cincin tersemat di jari manismu tidak membuatku murka, tenang saja. Sekali lagi, itu hanya masa lalu, kupahami itu. Sekilas, kepala bodohku berimajinasi—pasangan dari cincin itu berada di jemariku. Tertawa kecil dan menggeleng, bahkan burung di balkon kamar seakan bermelodi mengejekku. Ini sungguh gila. Hanya karenamu aku bisa melawan kewarasanku. Sedang apakah dirimu saat ini? Kurindukan mata kesukaanku.
Kututup pintu galeri lalu melirik sepenggal jejakmu. Kubaca berulang-ulang jejak yang terukir untukku. Terciptalah musim semi dalam hati ketika mengingat saat itu. Kau cukup membawa penyakit menular. Hanya dengan mata dan kegilaannmu membuat virus erotomania tingkat empat menyerangku. Padahal baru dua purnama kita ada, dan dua purnama itu pula kita sudah berlalu. Kau tahu apa yang paling kutakuti di dunia ini? Ialah waktu yang terus berjalan tanpa bisa dicegah dan tanpa bisa diulang. Seperti ketakutan yang pernah singgah di hati ketika pikiran kehilanganmu mendominasi. Bagaimana jika 'iya' dan bagaimana jika 'tidak'. Kata 'jika' yang saat itu menjadi sebuah pengandaian tanpa makna, kini menemukan hasil akhirnya, 'jadi'.
Jadi, inilah aku.
Jadi, itulah dirimu.
Jadi, matamu adalah kesukaanku.
Jadi, bahasa batumu adalah gelisahku.
Jadi, kegilaanmu adalah canduku.
Jadi, inilah kisah kita versiku.
Jadi, inilah akhirku denganmu.
Jadi, inilah rinduku padamu.
Jadi, inilah hariku tanpamu.
Jadi, diamku adalah doa untukmu.
Jadi, tetaplah baik-baik saja untukku.Kenangan ada karena kita memiliki sesuatu yang terjadi di masa lalu. Kemudian, sesuatu itu mencoba untuk singgah di masa sekarang. Sebenarnya bukan hal menyakitkan yang membuat air mata meleleh, melainkan masa indah yang tak bisa terulang. Cukup indah hingga membuat rongga dalam dada tak cukup menampungnya, meledaklah menjadi sebuah nestapa dan berakhir di atas bantal dengan tetes bening membasahi. Apa kita punya kenangan seperti itu hingga semestaku tak henti-hentinya berotasi dengan namamu? Ataukah ini hanya euforia sesaat karena aku belum mendapatkanmu menjadi milikku? Entahlah! Biarlah apa yang ada dalam hati ini berbahasa dengan caranya. Waktu yang akan menjawabnya. Ia juga yang mungkin akan mengubahnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
28.800 DETIK
RomanceJika 'aku rindu' saja sudah tak kaupercaya. Bagaimana jika 'aku cinta' mendarat tepat di dadamu? Menghilang bukan berarti melupakan, hanya saja spasi kita butuhkan untuk saling memahami. Membisu bukan berarti tak memedulikan, hanya saja diam lebih t...