Perempuan itu duduk di seberangku. Di sebelah Adi. Kepalanya menunduk dalam diam. Penampilannya tidak seperti yang kubayangkan; ia terlihat polos dengan pakaian serba panjang dan tertutup, benar-benar seperti gadis baik-baik.
Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang janggal. Meski kami belum berinteraksi, aku bisa merasakan aura yang aneh sejak pertama kali ia datang. Aku tidak bisa menjelaskannya, namun aura itu membuatku sangat tidak nyaman.
"Jadi, kamu ada hubungan apa sama Adi?" Aku memulai dengan nada sedatar yang kubisa. Adi benar-benar bungkam seribu bahasa, ia bahkan tidak mau adu pandang dengan salah satu diantara kami.
"Kamu tanya aja sama dia." Ia menunjuk Adi dengan dagunya.
Aku mencoba mengendalikan diri. "Saya sudah tanya Adi. Sekarang saya mau dengar semuanya dari mulut kamu. Karena itu saya minta kamu datang kesini."
Perempuan itu tidak menjawab.
"Kamu Gita, kan? Saya Jasmine. Kamu kenal saya kan?" tambahku lagi. "Saya yakin kamu masih ingat. Dulu sekali saya pernah menghubungi kamu karena saya gak nyaman sama chat-chat kamu ke pacar saya."
Ia hanya mengalihkan pandangannya, lagi-lagi tidak menjawab.
"Dulu saya percaya sama kamu, waktu kamu bilang kamu janji gak akan ganggu hubungan kita lagi. Sekarang begini ternyata?"
"Kamu gak bisa sepenuhnya nyalahin saya." Akhirnya Gita bersuara.
Aku menarik nafas. "Saya tahu, ini bukan sepenuhnya salah kamu. Saya tahu pacar saya juga emang gak bisa dipercaya." Aku mendelik tajam ke arah Adi yang masih menunduk. "Tapi saya kecewa aja sama kamu. Kamu sudah janji sama saya, tapi kamu gak pegang janji kamu."
Bisa kulihat pundak Gita menegang dan bibirnya mengerucut, seolah ia sedang menahan tangis.
"Kalian udah pernah jalan bareng?" tanyaku. Gita mengangguk pelan. Sesuatu berdesir di hatiku. Aku menahannya kuat-kuat. "Berapa kali?"
"Tanya aja sama dia." jawab Gita.
"Sekali lagi saya tanya sama kamu." Aku memberi tekanan kepada setiap kata yang kuucapkan. "Lebih dari dua kali, ada?"
Gita mengangguk lagi. "Iya."
"Ngapain aja kalian?"
Air muka Gita seketika berubah. "Jadi kamu pikir aku udah ngapa-ngapain sama dia?!"
"Loh, kok kamu marah? Maksud saya, ya selama jalan bareng itu kamu ngapain sama pacar saya. Makan bareng kah, nonton kah? Sesimpel itu kok pertanyaan saya."
"Nonton dan makan juga." Bisa kurasakan Gita menahan emosinya.
Aku tersenyum sinis. "Maaf, ya... maaaaf sekali kalau saya bilang begini," kataku seraya menatap matanya lekat-lekat. "Kamu ini kelihatannya seperti perempuan baik-baik, ya. Pakaian kamu juga sopan dan tertutup. Tapi sepertinya penampilan kamu ini tidak cocok, ya, sama perilaku kamu."
Detik itu juga Gita langsung berdiri. Suara derit meja dan kursi yang serentak bergeser tidak hanya mengagetkanku dan Adi, tapi juga beberapa orang yang duduk di sekitar kami. Air mata jatuh menuruni kedua pipinya. Wajahnya memerah dan bergetar. Matanya melotot, menatapku penuh kebencian. Seketika aku berpikir, apa aku salah bicara? Aku hanya mengungkapkan apa yang ada di benakku. Kenapa malah dia yang bersikap begini?
"Cukup!" jari telunjuk Gita menunjuk kearahku. "Kamu boleh hina saya, kamu boleh caci maki saya. Tapi tidak usah kamu hubung-hubungkan perilaku dengan cara berpakaian saya!"
"Loh, kapan saya menghina ka—"
"Lihat aja," geramnya. "KAMU LIHAT AJA APA YANG BAKAL SAYA LAKUKAN SAMA KAMU!"
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYUNI
Horror-BASED ON A TRUE STORY- Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa dia tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat...