Aku dan Adi bergegas keluar, menghampiri Bu Wati yang masih berdiri mematung di ujung balkon. Ketika sampai disana, suara-suara teriakan kembali terdengar lagi. Kali ini lebih jelas dan melengking.
Kulihat bahu Bu Wati gemetaran. Matanya terpaku ke arah kamar perempuan itu.
"Bu? Kenapa dia teriak-teriak?" kataku setengah berbisik. Tidak enak juga kalau sampai ada yang dengar. Bagaimanapun aku orang baru disana, aku masih belum tahu apa-apa.
"Nggak... gak apa-apa, neng ..." jawab Bu Wati. Suaranya lebih pelan dariku. "Biarkan saja, nanti juga berhenti sendiri."
"Tapi..."
"Kang, sudah selesai kan lihat2-lihatnya? Neng masih mau lihat-lihat?" potong Bu Wati. Dari nada suaranya yang terkesan buru-buru, aku merasa kalau dia berharap aku bilang tidak.
Aku melirik ke arah Adi, ia menjawab pertanyaan tak tersiratku dengan gelengan kepala. "Tidak, Bu. Saya sudah cukup lihat sekilas saja. Lagipula sudah sore juga."
"Kalau begitu... kita lanjut bicara dibawah saja yuk, Neng? Kang?"
Tanpa banyak bicara lagi kami mengangguk. Bu Wati menutup pintu cepat-cepat, bahkan tidak berepot-repot untuk menguncinya kembali. Dengan seribu pertanyaan di benak, kami mengikuti Bu Wati turun ke bawah. Suasana tiba-tiba jadi aneh. Terutama karena sampai saat kami turun kebawah pun, suara teriakan itu masih terdengar.
Bu Wati membawa kami ke rumahnya, lalu mempersilahkan duduk. Kami mencoba mengabaikan sebentar soal perempuan itu, dan mengobrol tentang teknis kos disana—harga, peraturan, dan lain-lainnya. Bu Wati benar, tak lama suara teriakan itu tidak terdengar lagi.
"Bu, maaf kalau saya ikut campur ... dan maaf kalau keluar jalur ... tapi, itu cewek diatas beneran gak apa-apa?" tanya Adi tiba-tiba di tengah pembicaraan kami, ternyata masih sama penasarannya denganku. Aku tahu Adi khawatir padaku, ia harus memastikan kalau keadaan di rumah kos ini aman dan nyaman untukku; baik tempat dan para penghuninya.
"Dia memang seperti itu Kang ... saya juga gak ngerti kenapa. Mungkin sakit, atau stress. Tapi ini jarang terjadi, dan sebentar juga berhenti sendiri. Saya berani jamin gak ada apa-apa kok, semua penghuni kos sini juga sudah tahu." Bu Wati menjelaskan panjang lebar, lalu memaksakan senyum.
Kalau memang tidak apa-apa, lalu kenapa saat itu ia gemetaran?
Aku tahu Adi tidak mempercayai kata-katanya, sama denganku. Pasti ada sesuatu yang ibu ini sembunyikan dari kami. Namun, sebelum kami sempat bertanya lagi, ia menambahkan lagi. "Jadi bagaimana Kang, Neng? Mau diambil kamarnya?"
Aku dan Adi saling pandang lagi, lalu berdiskusi dengan suara pelan. Bu Wati memutuskan untuk menjaga kesopanan dengan meninggalkan kami berduaan sebentar dengan dalih mengambilkan minum.
Kalau diperhitungkan dari harga sewa pertahun, kamarnya yang cukup besar dan posisinya yang strategis, sebenarnya aku dan Adi sama-sama setuju kalau rumah kos ini lebih baik daripada beberapa kandidat yang sebelumnya kami temui.
Masalah salah satu penghuninya yang aneh, kurasa itu bukan sesuatu yang tidak bisa ditoleransi. Selain itu, Bu Wati mengatakan kalau sudah cocok, aku bisa langsung pindah mulai besok. Ini benar-benar nilai plus karena di tempat lain aku harus menunggu paling sedikit 3 sampai 4 hari baru aku bisa mulai memasukkan barang-barangku. Sedangkan aku ingin sesegera mungkin tinggal di Bandung.
"Aku sih cocok," kataku mantap pada Adi. Ia juga menyampaikan pendapat yang sama. Tanpa pikir panjang aku langsung memberikannya uang pertama kepada Bu Wati, lalu memintanya untuk bersiap-siap karena aku akan mulai pindah besok.
"Semoga betah disini ya, Neng." senyum Bu Wati padaku.
Mudah-mudahan, batinku sambil mengganguk seraya membalas senyumnya.
***
12 September 2018
Aku mengelap keringatku. Sinar matahari yang terik menembus lewat jendela, membuat kepalaku pening. Capek dan kepanasan—keduanya kurasakan bersamaan. Aku melepas bando merah dengan kedua mata dan hidung Elmo kesayanganku dan melemparnya ke ujung kasur. Bando itu memberi beban di kepalaku dan membuatnya semakin pening.
Sekarang kamarku yang belum terisi banyak barang terlihat jauh lebih bersih dari sebelumnya. Semua debu, kotoran-kotoran di lantai kamar dan serbuk-serbuk hitam yang mengumpul di keempat sudut ruangan sudah bersih.
Aku menatap lemari cokelat di salah satu sisi ruangan. Lemari dengan kedua sisi pintu geser yang kata Bu Wati sejak dulu sudah ada di situ dan tidak pernah dipindahkan. Tinggal lemari itu yang belum kubersihkan.
"Semangat!" bisikku pada diri sendiri, seraya meraih kain basah dan mulai membersihkannya.
Aku menyelesaikannya dalam waktu tiga menit saja. Tapi kurasa lemarinya memang sudah cukup bersih—tinggal kulapisi dengan karton di setiap kompartemennya agar pakaian-pakaianku tidak langsung bersentuhan dengan kayu, lalu selesai.
Aku menutup kedua sisi pintu geser yang terbuka. Lalu berdiri dan menatap bayanganku di hadapan kaca besar milik pintu geser sebelah kiri. Lusuh sekali, pikirku. Aku akan mandi setelah mengepel semua lantai dengan pewangi dua atau tiga kali lagi.
Di dalam kamarku tidak ada kamar mandi pribadi. Tapi kupikir itu bukan masalah karena kamar mandi umumnya terletak persis di sebelah kamarku. Dan yang terpenting, Bu Wati bilang mereka selalu menjaga kebersihan setiap kamar mandi. Jadi nilai plusnya, aku tidak perlu membersihkan kamar mandiku sendiri.
Aku mengambil gagang pel dan ember isi air kotor, membawanya ke kamar mandi. Mataku sempat mendelik sekilas ke kamar perempuan di seberang balkonku. Kamar itu terlihat sepi sejak pagi, seakan tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.
Kemana perginya cewek aneh itu? Batinku di dalam hati.
Namun sesegera mungkin aku berusaha menghapus semua pikiran yang membuatku tidak nyaman. Mungkin Bu Wati benar. Mungkin perempuan itu hanya stress atau apa. Mungkin itu adalah caranya meredakan semua hal yang berlecamuk di dalam dirinya—dan bukan berarti ia sakit jiwa kalau menganggap cara itu normal.
Aku juga pernah melakukannya. Saat itu, di restauran. Di depan semua orang. Di hari dimana aku tahu kalau Adi...
Aku menutup mata dan membuang nafas keras-keras. Berharap ingatan pahit itu ikut terbuang sekalian.
Ini hari pertamaku disini. Aku harus bisa membuat diriku kerasan. Pokoknya aku harus nyaman tinggal disini. Kalimat-kalimat itu kuulang terus di dalam pikiranku saat berjalan kembali ke kamar.
Namun tiba-tiba sesuatu membuatku terkejut.
Lemari itu... sisi lemari sebelah kanan yang tadi menutup kini terbuka. Terlebih lagi, bando kesayanganku yang tadi kulempar ke sisi tempat tidur kini ada di dalam lemari dengan posisi berdiri, bersandar ke dinding lemari.
Seolah-olah ada seseorang yang baru saja meletakkannya disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYUNI
Horror-BASED ON A TRUE STORY- Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa dia tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat...