Sekali lagi aku kembali ke sini.
Ini tempat yang sudah kuketahui—lapangan luas dengan tanah kering berkerak berwarna kemerahan. Tidak ada pepohonan. Apalagi sinar matahari dan cerahnya warna biru langit.
Aku sadar benar ini adalah mimpi. Pasalnya, beberapa kali mimpi yang sama kerap menyambangiku.
Aku menengadah. Suasana sama gelapnya seperti saat terakhir. Selama satu menit yang panjang aku memerhatikan—awan-awan hitam itu menutupi langit, tapi tak ada satu pun yang bergerak.
Aku mengangkat tangan ke udara dan merasakan kehampaan. Tidak ada desauan angin yang melewati sela-sela jariku. Rasanya seolah tak ada udara di tempat ini—tapi anehnya, aku tidak merasa sesak. Seolah tubuh ini tidak membutuhkan udara sama sekali.
Apa aku sudah mati?
Pikiran itu hanya hinggap sejenak di benakku. Sejujurnya, aku sudah tidak peduli lagi.
Aku menggoyang-goyangkan kaki sambil bersenandung. Seperti saat terakhir berada di sini, aku masih duduk di bangku kayu panjang yang merupakan satu-satunya pemanis di lahan luas dan sunyi senyap itu.
Aku menyadari, dua orang anak kecil yang biasanya ada disana—di tengah lapangan dan bermain bolatidak terlihat lagi. Tapi tak apalah.
Karena, kali ini pun aku tidak sendirian.
Aku merasakan kedua tangan itu merambat dari belakang bahu. Alih-alih merasa takut, hati ini malah diserang gelombang kesedihan yang luar biasa. Kurang lebih karena aku tahu tak ada yang bisa kulakukan untuk merubah semua ini. Namun, tidak juga aku ingin pasrah.
Aku hanya terjebak di dalam kebingungan dan rasa putus asa. Sulit sekali rasanya keluar dari sana.
"Kenapa kamu datang lagi?" bisikku padanya lirih.
Tidak ada jawaban. Suara napasnya pun tak terdengar. Namun, helai-helai rambutnya yang panjang menjuntai melewati bahuku.
"Aku capek," akuku. "Kalau kamu masih mau mengikuti dan ingin aku nerima kehadiran kamu, aku gak mau. Aku gak nyaman."
Masih tidak ada jawaban. Namun, dekapan tangannya di bahu ini semakin erat.
"Suatu saat kamu akan pergi, kan?" Aku masih ngotot bertanya. Tahu lama-lama ia akan terganggu dengan betapa cerewetnya aku, terus kudesak dirinya sampai nanti mau menjawab. "Kapan kamu akan pergi?"
Masih tak ada tanggapan. Aku berusaha memalingkan wajah ke arahnya. Namun, cengkeraman lengannya di area leher ini terlalu kuat sampai-sampai sulit bagiku melakukannya.
Aku meletakkan tangan di lengannya—lalu terkesiap karena sensasi sedingin es yang kurasakan. Dengan kekuatan penuh tangan ini berusaha melepaskan pelukannya, tapi sia-sia. Ia tentu saja jauh lebih kuat dariku.
Seketika aku sadar, ternyata selama ini, inilah alasan dibalik leher dan bahuku yang sering pegal.
Tentu saja, karena ia terus menempel dan tidak mau melepaskan.
"Hei, a—"
"Akan kuikuti kau sampai mati." Akhirnya ia menjawab.
***
Aku terbangun dengan kaget. Bisa kurasakan seluruh tubuhku yang terguncang juga mengagetkan seseorang yang tengah duduk di ujung kasur, di sebelah tempatku berbaring.
"Bu, Jeje udah bangun!" teriak orang itu. Suara Adi.
Kenapa Adi ada disini? pikirku sambil mengerjap-ngerjapkan mata, menatapnya dengan bingung. Tepat pada saat itu, sesuatu seperti suara gong seakan bergaung kencang di dalam kepala ini, membuatku kaget dan memekik sambil memegang kedua telinga, "Aaaaahhhh!"
"Je? Kamu kenapa? Kamu gak apa-apa?" Air muka Adi terlihat panik.
"Je, kamu sudah sadar, Nak?" Aku tak tahu dari mana ibu muncul, tapi tiba-tiba saja ia sudah menggantikan posisi Adi di sebelahku. Suaranya terdengar gemetaran karena khawatir. Kurasakan tangannya yang hangat membelai-belai puncak kepalaku. "Ya Allah, Nak ... kenapa kamu harus kayak gini?"
Mulut ini begitu ingin menjawabnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Aku hanya bisa menatapnya dengan mata setengah terbuka—entah kenapa kelopak mataku masih berat sekali, bobotnya terasa seperti satu kilo. Tangan ibu menyeruak ke balik punggung untuk membantuku duduk. Disodorkannya segelas air putih dingin langsung ke bibirku.
Aku menyesapnya pelan-pelan sambil berusaha menahan tubuh lemas ini agar tidak limbung ke kasur. Teguk demi teguk air putih rasanya sungguh menyegarkan, seperti rasa oasis di tengah padang pasir.
"Bu." Suara yang dengan susah payah kukeluarkan itu membuatku terkejut. Kenapa aku terdengar selemah ini? Kedengerannya seperti suara orang sekarat. "Aku ... kenapa ...?"
Ibu tidak langsung menjawab, malah memandangiku dengan mata berkaca-kaca, lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Seolah pertanyaanku tadi begitu sulit baginya untuk dijawab.
Adi yang sedang berdiri di samping tempat tidur membantu. Tangannya terjulur ke kotak obat di meja. "Kamu minum itu ... dalam dosis yang berlebihan," Adi menghentikan penjelasannya sebentar, mungkin berpikir kalau daya terimaku belum berfungsi dengan baik karena baru saja siuman, jadi ia harus menjelaskan pelan-pelan. "Obat itu membuat kamu sulit bernapas, tubuh kamu terkena shock lalu pingsan. Syukurlah Ibu keburu menemukan kamu sebelum keadaannya jadi lebih buruk lagi."
Benar saja, daya terimaku sedang tidak cukup baik hingga aku tak terlalu menangkap maksud dari perkataannya. Apa katanya tadi? Aku pingsan kenapa?
"Kamu sudah pingsan selama beberapa jam. Kita sempat bawa kamu ke klinik terdekat—kata dokter kamu sudah gak apa-apa," lanjut Adi.
Tanpa berepot-repot menanggapi perkataannya, aku kembali ke posisi berbaring. Kepalaku kelewat pening hingga mau pecah rasanya. Aku menyerah, sepertinya lebih baik mencoba tidur lagi saja sampai kondisi tubuh ini benar-benar pulih—baru aku akan menanyakan semua pertanyaan yang berkecamuk di benakku kepada mereka.
Bisa kurasakan seseorang membuka pintu kamar dan menimbulkan suara berderit. Saat ia masuk, terdengar Ibu berbisik pelan, "Ssshhh ... pelan-pelan, Yah, nanti Jeje bangun."
"Loh, bukannya dari tadi ditunggu-tunggu supaya cepat bangun?" jawab Ayah dengan bisikan juga.
"Barusan sudah siuman, tapi dia masih lemas kayaknya, jadi tidur lagi."
Suasana sunyi sesudah itu, tak ada siapapun yang berbicara. Aku jadi merasa seolah mereka sedang memandangiku tidur. Kesenyapan itu terjadi selama kurang lebih tiga menit lamanya.
Diri ini belum sepenuhnya pergi ke alam mimpi ketika kudengar ibu memecah keheningan, "Nak Adi ... apa yang harus kita lakukan?"
"Bu, bisa kita bicara sebentar? Adi punya sesuatu yang harus disampaikan pada ibu dan bapak," pinta Adi.
"Nggak bisa disini saja? Ibu masih trauma meninggalkan Jeje sendirian."
"Iya, ndak apa-apa. Ceritakan disini saja, Nak Adi." Ayah menimpali.
Adi sempat terdiam sebentar sebelum menjawab, "Baik, Bu, Pak, tapi Adi mohon, semoga Ibu dan Bapak bisa mendengarkan dulu saran Adi dengan pikiran terbuka." Meski dengan mata tertutup, entah mengapa aku tahu Adi sedang menatap ke arahku. "Ini tentang usaha pemulihan Jeje. Ada sedikit cerita yang Adi rasa Ibu dan Bapak belum tahu ...."
Ingin sekali hati ini untuk menghentikan Adi. Namun, aku memutuskan tidak melakukannya. Maka, sambil terbaring lemas aku pasrah, aku mendengar Adi menuturkan cerita dan rencananya terkait kondisiku pada Ayah dan Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYUNI
Horror-BASED ON A TRUE STORY- Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa dia tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat...