Aku membuka mata pelan-pelan. Bisa kurasakan kepala pening dan mata ini berkunang-kunang. Saat kedua mata sepenuhnya terbuka, hal pertama yang kulihat di hadapanku adalah Adi—dengan ekspresi wajahnya yang tidak karuan.
"A... Adi?" sapaku lemah. Aku menyadari kalau aku sedang terbaring di tempat tidur kamar kos-ku dan Adi duduk di atas karpet, di samping kaki tempat tidurku yang rendah. "Kamu... ngapain disini?"
Plaaaak!
Tiba-tiba saja Adi menamparku. Tidak keras, tidak menyakitkan, namun cukup untuk membuat kesadaranku kembali sepenuhnya. Aku memegang pipiku lalu menatapnya bingung.
"A...?"
"Kamu ini apa-apaan, sih?" bentak Adi dengan suara bergetar. Bisa kulihat matanya memerah dan air menggenang di pelupuknya. "Kamu gak tau seberapa khawatirnya aku? Kalau terjadi apa-apa sama diri kamu gimana?"
Adi menarikku kedalam dekapannya. Bisa kurasakan ia gemetaran. Di balik bahunya aku menatap kosong ke arah dinding, masih bingung.
"Nyakitin diri sendiri itu gak akan nyelesain masalah, Je...!" Adi berusaha keras menyelipkan nada marah dalam suaranya yang serak dan lebih terkesan sedih. "Kalau kamu marah, kalau kamu kecewa sama aku lebih baik kamu tampar, kamu pukul aku sekalian! Gak usah kayak gini!"
Saat itu juga, aku mengangkat telapak tanganku yang sejak tadi rasanya janggal—kemudian baru menyadari apa yang baru saja terjadi.
Dibalik perban yang kini menyelimuti telapak tanganku, tepat diatas bagian nadi rasanya perih sekali. Aku kaget sendiri. Apa aku yang melakukan ini? Bagaimana mungkin aku tidak mengingatnya sama sekali?
Dilihat dari reaksi Adi sejak tadi, dilihat dari pintu kamarku yang masih terbuka lebar dan helm Adi yang tergeletak dalam posisi sembarangan di lantai; ia pasti tahu apa yang terjadi padaku, lalu cepat-cepat datang kemari untuk menemuiku. Bahkan bisa jadi nyawaku selamat gara-gara Adi.
Jantungku berdebar kencang. Ingin sekali rasanya aku mengatakan pada Adi kalau aku sama sekali tidak ingat apa yang kulakukan pada diriku sebelum ini, bahkan apa penyebabnya. Namun aku tahu Adi pasti tidak akan mempercayaiku saat ini. Lebih baik aku diam dulu.
Adi melepaskan pelukannya, mencengkeram kedua bahuku dengan tangannya, lalu menatap mataku dalam-dalam. "Janji sama aku, kamu gak akan sekali-sekali ngelakuin hal ini lagi!"
Aku menatapnya selama beberapa detik, lalu mengangguk pelan.
***
Sejak tadi malam setelah Adi pulang, aku banyak sekali berpikir. Aku mulai merasa kalau apa yang terjadi belakangan ini dalam hidupku sedikit tidak biasa—kalau terlalu berlebihan menyebutnya 'aneh'.
Tapi kalau dipikir-pikir, penjelasan logis apa yang bisa kuberikan pada diriku yang sekarang jadi mudah sekali emosi karena hal-hal kecil; seringkali tidak tenang tidur; tidak nyaman saat beribadah; merasakan panas dan perih yang tidak wajar di bagian punggungku setiap waktu dan bahkan bisa menyakiti diri sendiri diluar kesadaran seperti kemarin?
Aku mulai bertanya-tanya apa semua ini terjadi hanya karena aku sedang stress. Tapi... rasanya tidak. Aku telah mengalami berbagai macam hal yang membuat mental dan pikiranku jauh lebih terganggu daripada saat ini—tapi hal-hal aneh yang kusebutkan tadi tidak pernah sekalipun terjadi.
Aku menghentikan lamunanku dan menyadari kalau ojek yang kutumpangi sudah hampir sampai di depan kantor baruku.
Aku menepuk bahu si supir ojek pelan. "Pak, disini saja. Gak usah sampe depannya banget."
"Oke, Neng."
Motor yang kutumpangi menepi. Aku memberikan ongkos lalu mengembalikan helm pada si supir ojek. Setelah ia pergi, rasa gugup mulai hinggap dan rasanya seakan merayap pelan dari dalam perutku.
Aku menatap kantor baruku.
Ini adalah hari pertama aku masuk kerja. Bisa diterima bekerja di kota yang kusukai ini adalah hal yang sudah kuinginkan sejak duduk di bangku kuliah—aku benar-benar bersyukur dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku juga tidak ingin mengecewakan seniorku; sedikit banyak karena dia juga-lah keinginanku ini bisa terwujud.
Aku mengangkat daguku seraya memasang wajah sumringah. Tak akan kubiarkan apapun merusak hari ini, batinku.
***
"Jadi, udah ngerti, ya? Mulai hari ini ruangan ini dan ruangan penyimpanan di sebelah jadi area kamu. Harus dianggap kayak rumah sendiri ya." ujar Kak Farah, senior yang mulai hari telah resmi menjadi atasanku. Ia tidak berubah, masih orang paling ceria yang kukenal hingga saat ini. Aku juga senang dengan fakta bahwa ia tidak memperlakukanku seperti bawahan. Sejak tadi—sejak ia memperkenalkan semua ruangan di kantor dengan orang-orangnya, lalu menjelaskan apa saja tugasku—kami berinteraksi seperti biasa, layaknya teman lama. "Ada pertanyaan gak? Kalau ada tanya aja, ya. Kita boleh pegang hp kok selama kerja. WA aja, oke?"
Aku mengangguk penuh senyum. "Siap, Kak. Makasih banyak ya."
Ia membalas senyumanku, menepuk bahuku sekali. "Yang betah, ya."
"Iya, Kak." jawabku. "Eh... manggilnya Ibu, ya? Atau...?"
"Idiiiih, kaku amat! Gak usah panggil Ibu, geli!" Kak Farah menunjukkan wajah jijik, kemudian tertawa. "Kamu boleh panggil aku, Manda, dan suami aku Irwan kayak biasa aja. Umur kita juga kan gak jauh-jauh amat, gausah panggil Ibu Bapak, lah. Kesannya gimana gitu..."
Saat hendak menjawab, seseorang yang baru-baru ini kukenal sebagai Kak Amanda—salah satu Direktur yang mewawancaraiku di masa-masa lamaran kerja kemarin—masuk. Ia tersenyum, wajahnya seakan meminta maaf karena tidak sengaja memotong pembicaraan kami. Lalu ia berpaling menatap Kak Farah. "Beb, udah selesai kah? Bantuin bentar, dong."
"Oh, okay, okay!" jawab Kak Farah. "Je, kalau ada apa-apa kita di ruang sebelah, ya!" tambahnya lagi sambil berlalu.
Kak Manda melangkah menyusulnya. Namun tepat di ambang pintu, langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia berbalik kepadaku.
"Jasmine... setiap pulang kantor, kamu boleh beres-beres, tutup semua jendela dan matikan lampu sama AC. Tapi jangan pernah matiin lampu di ruangan penyimpanan, ya."
"Memangnya kenapa, Kak?" tanyaku—yang segera aku sesali.
Kenapa sih aku harus tanya-tanya segala! Kalau dia mikirnya aku gak sopan gimana? Kubayangkan aku memukul kepalaku sendiri.
Kak Manda terdiam sebentar, lalu ia menyunggingkan senyum. Air mukanya sungguh tak bisa aku mengerti. "Nggak, nggak apa-apa, kok. Pokoknya turuti saja ya. Ingat, jangan pernah sekalipun kamu matiin lampu ruangan itu. Jangan pernah. Jangan sampe lupa ya, Jasmine."
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYUNI
Horror-BASED ON A TRUE STORY- Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa dia tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat...