"Min...? Jasmine!"
Aku terhenyak dari tempat dudukku. Lalu terhenyak lagi melihat sosok yang tiba-tiba berada di hadapanku, sambil melambai-lambaikan tangannya.
"Loh, Kak Farah? Kapan dateng?" Aku langsung berdiri, menyodorkan tanganku untuk salam sapa.
Kak Farah terlihat heran. "Sumpah demi apa kamu baru nyadar aku ada disini?"
Aku mengangguk malu-malu. "Maaf, akhir-akhir ini aku suka keasyikan ngelamun." kataku. "Kakak tumben kesini? Acaranya gimana? Lancar kan?"
"So far so good kok, aku cuma mau ngambil barang-barang kantor yang diperluin disana, bentar lagi juga caw lagi." Kak Farah meletakan satu keresek barang yang sedang dijinjingnya di lantai. Lalu ia mendudukkan dirinya di sofa kecil di sebelah mejaku. Bibirnya menyunggingkan senyum meledek. "Mikirin apa sih, kamu tadi? Pacar?"
Aku langsung menggeleng. "Bukan, kok!"
"Terus apa?"
"Hmm..." aku berpikir keras. Sepertinya bukan saat yang tepat bercerita padanya tentang hal-hal yang kelewat pribadi, jadi lebih baik kuceritakan yang umum saja. "Lagi ada kejadian gitu di kosan... gak penting, sih, tapi bikin aku kepikiran aja, Kak."
"Hah, emang kosan kamu kenapa? Orang-orangnya gak asyik?"
Aku menggeleng.
"Oh... angker ya?"
Aku terdiam sebentar. "Dibilang angker sih, nggak juga, Kak. Cuma ada salah satu tetanggaku yang kerjaannya teriak-teriak terus. Dan kalau ketemu aku, sikapnya langsung aneh banget," ceritaku. Aku dan Kak Farah lalu membuka mulut bersamaan—ia hendak bertanya, aku hendak lanjut menjelaskan—namun ia membiarkanku bicara dulu. "Nah... baru aja kemaren, diluar kamarnya ramai banget sama orang. Sebagian wajah aku kenal karena mereka penghuni kosan situ juga, tapi sebagian besar lagi asing. Mereka semua kayak lagi pengajian gitu... terus aku denger itu cewek teriak-teriak, menggeram-geram gitu dari dalem kamarnya."
"Beb, kok serem amat sih itu cewek?" Kak Farah memasang wajah serius. "Terus? Kamu gak nyamperin? Nanya ada apa gitu?"
"Boro-boro, Kak, pas aku dateng, mereka semua serentak ngeliatin aku dari aku jalan dibawah sampe masuk kamar."
Kak Farah menaikkan alisnya. "Ngeliatin gimana?"
"Hmmm... kayak ketakutan gitu. Gak nyaman pokoknya diliatin gitu. Jadi ya aku langsung masuk aja, kukunci pintunya."
"Loh, kok mereka liat kamu sampe ketakutan? Kayak liat orang gendong kuntilanak aja." Kak Farah tertawa.
Aku tahu ia bercanda—tapi ia tidak tahu betapa aku merinding membayangkan seandainya perkataannya tadi itu benar.
"Saat ini, ada makhluk jahat yang lagi ngikutin lo kemana-mana."
Kata-kata Kak Bimo terngiang-ngiang lagi di benakku. Aku berusaha menepisnya dan kembali memasang air muka senormal mungkin di hadapan Kak Farah. "Aku juga gak tahu, Kak... mungkin mereka ngeliatin aku karena aku orang baru dan mereka gak pernah lihat."
"Terus-terus, si cewek ini kenapa? Kamu udah tanya Ibu atau Bapak kos? Mereka pasti tahu sesuatu, kan?" Kak Farah mulai terdengar antusias.
"Belum, sih, Kak. Kemaren suasananya
kayak gitu. Aku mau keluar kamar juga gak enak.""Ih, gaboleh gitu! Kamu harus tanya, daripada penasaran terus!" saran Kak Farah. "Lagian kamu berhak tahu dong apa yang terjadi, kan kamu juga penghuni rumah kos itu."
Aku mengangguk pelan. "Iya juga, sih."
"Pulang kerja kamu tanya, ya!" Kak Farah memegang bahuku. "Aku penasaran nih!"
"Iya, iya, Kak." senyumku.
***
Hari ini sepulang kerja, dengan sengaja aku tidak mampir ke tempat makan. Aku ingin segera sampai di rumah kos dan mencari Bu Wati, menanyakan apa yang terjadi kemarin.
Namun saat sampai di rumah kos, anak Bu Wati bilang ia belum pulang kerja. Aku melirik arlojiku. Iya juga, ini masih pukul setengah tujuh malam. Biasanya ia pulang sekitar pukul tujuh atau delapan.
Aku pamit ke atas dan memutuskan untuk mandi dulu. Tidak begitu banyak yang kukerjakan di kantor hari ini, tapi otakku panas karena terlalu banyak berpikir.
Selama di kamar mandi, aku memikirkan kata-kata yang akan kupilih untuk bertanya kepada Bu Wati.
'Bu, perempuan yang tinggal di depan kamar aku itu sebenernya kenapa, sih? Kemaren, kenapa banyak orang di depan kamar dia?' Apa pertanyaan seperti ini akan terdengar wajar? Aku tidak ingin terkesan terlalu ingin tahu. Tapi semua rasa penasaranku juga harus terjawab.
Ketika selesai mandi dan sedang melilit handuk di rambutku, tiba-tiba aku terkejut dengan suara ketukan.
"Ada orang! Sebentar, ya!" teriakku.
Dalam hati aku merasa aneh, jarang sekali ada yang sampai mengetuk pintu saat kamar mandi sedang terisi. Karena jumlah kamar mandi disini banyak sekali. Biasanya kau tidak harus mengantri karena kamar mandi lainnya selalu kosong.
Namun karena ada orang diluar, dengan buru-buru aku memakai baju dan merapikan alat-alat mandiku ke keranjang. Baru saja hendak membuka kenop pintu kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar ketukan lagi.
"Gak sabaran banget." gerutuku dengan suara berbisik. Dengan sedikit kesal kubuka cepat-cepat pintunya. Sudah bersiap hendak meminta maaf kepada siapapun yang mengantre meski dengan wajah ketus.
Tapi... tidak ada siapa-siapa disana.
Di hadapanku, dan di lorong kanan dan kiriku kosong. Tidak ada tanda-tanda ada orang baru saja melintas disana. Lagipula jarak waktu antara ketukan terakhir dan aku membuka pintu hanya sepersekian detik saja. Bagaimana mungkin seseorang dapat menghilang dalam sekejap begitu?
Jantungku mulai berdebar-debar. Bulu kudukku merinding. Semenjak perkataan Kak Bimo, sulit rasanya untuk berpikiran positif lagi saat hal-hal seperti ini terjadi. Aku ambil langkah seribu dan segera masuk ke dalam kamar.
Setelah masuk, aku masih terdiam di balik pintu. Nafasku terengah dan degupan jantungku terdengar sampai ke telinga.
Tak lama setelah itulah, langkah yang sebenarnya terdengar. Kali ini, diikuti dengan suara dua orang yang sedang mengobrol. Aku mengenal suara Bu Wati sebagai salah satunya.
Aku pun segera berbalik memegang kenop pintu, hendak menghampirinya untuk mengobrol sedikit tentang apa yang selama ini membuatku penasaran.
Namun, apa yang dikatakannya menghentikanku.
"Iya, Neng. Kemarin Pak Ustadz udah usaha," kata Bu Wati. "Tapi sulit... katanya, terlalu kuat itu Jurig..."
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYUNI
Horror-BASED ON A TRUE STORY- Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa dia tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat...